Lima ketum partai hadir kala itu. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Hanya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang tidak hadir dalam acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo itu. Mungkin karena PDIP dan Nasdem sudah menyiapkan jagoan, yang berbeda dengan pilihan Jokowi.
Usai silaturahmi, muncul ide untuk membuat Koalisi Besar. Isinya, penggabungan dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Dalam penggabungan itu, hanya PPP yang kini tidak ikut bergabung. Sementara sisanya seperti tegak lurus ikuti “perintah” Jokowi. Walau kemudian dibantah oleh Zulhas bahwa koalisi pendukung Prabowo bukan atas arahan Jokowi.
Jalan GibranZulhas memang telah membantah kabar bahwa Koalisi Besar dibentuk atas arahan Presiden Joko Widodo. Begitu juga dengan Prabowo yang memastikan Jokowi tidak ikut cawe-cawe.
Tapi pola yang terjadi jauh berbeda dari apa yang disampaikan tersebut. Pertama, mereka yang merapat adalah bagian dari partai koalisi pendukung Jokowi. Bahkan 3 dari 4 ketum partai tersebut adalah pembantu Jokowi di kabinet. Hanya Cak Imin yang tidak menjadi menteri, walaupun kakaknya hadir sebagai Menteri Desa.
Artinya sulit mengatakan bahwa para ketum tidak mendapat arahan langsung dari Presiden Joko Widodo saat rapat di Istana. Artinya lagi, Jokowi kini tampak lebih condong mendukung Prabowo ketimbang Ganjar Pranowo.
Kedua, deklarasi dukungan disampaikan secara bersamaan. Lazimnya, setiap partai memiliki waktu dan tempat masing-masing untuk menyampaikan deklarasi koalisi. Apalagi, Prabowo tampak tidak terlalu menghiraukan map berisi perjanjian yang telah ditandatangani Zulhas dan Airlangga Hartarto. Seolah baginya perjanjian itu hanya formalitas saja.
Lalu apa yang dimaui Jokowi?Selamat. Penting bagi Jokowi menyelamatkan keluarganya usai nanti menjabat presiden. Atas alasan itu juga, dia terus menyampaikan ke publik untuk tidak salah dalam memilih jagoan. Jangan sampai yang dipilih rakyat nanti justru mengungkit masa lalu dan membuat Jokowi terus-terusan bermasalah hukum.
Dengan mendukung Prabowo, maka Jokowi bisa memegang sosok yang bisa mengendalikan partai. Bukan justru dikendalikan partai. Prabowo memimpin Partai Gerindra yang bisa menggaransi Jokowi untuk tetap aman usai menjabat. Beda jika kemudian Jokowi mendukung petugas partai, yang untuk mengendalikannya harus melalui kepala ketum partai terlebih dahulu. Ribet dan sulit diandalkan.
Apakah cukup dengan mengandalkan Prabowo? Jawabannya tentu tidak. Jokowi adalah orang yang pandai berhitung dalam politik. Dia memiliki strategi jitu dan tidak pernah kalah dalam bertarung politik. Tentu dia perlu menyiapkan banyak opsi agar tidak ditinggal Prabowo di tengah jalan.
Apa opsinya? Gibran Rakabuming Raka, sang putra sulung jadi jawabanMahkamah Konstitusi (MK) masih menguji Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu, yaitu mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden. Gugatan dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dengan harapan pemuda berusia 35 tahun bisa menjadi capres atau cawapres. Kader Partai Gerindra belakangan ikut membela gugatan tersebut.
Jika gugatan dikabulkan, maka peluang Gibran yang lahir di tahun 1987 terbuka lebar menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Sepertinya gugatan itu dikabulkan. Terlebih jika melihat fakta bahwa Ketua MK Anwar Usman merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo.
Gayung bersambut, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA langsung merilis survei yang hasilnya menyebutkan bahwa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan mendapat dukungan 38,8 persen jika berduet. Pasangan ini akan mengalahkan Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno (33,1 persen) dan Anies-AHY (16,4 persen).
Dengan data di atas, sulit rasanya untuk mengabaikan kehadiran nama Gibran. Para ketum koalisi sudah pasti tegak lurus dengan Jokowi, sementara Prabowo dipastikan tidak akan menolak.
Lalu bagaimana caranya Gibran diterima dalam koalisi besar?Di dalam Koalisi Besar, masing-masing partai sudah menyodorkan nama cawapres. PKB meminta Cak Imin dan PAN menginginkan Erick Thohir. Nyaris hanya Airlangga Hartarto yang belum menyebut siapa nama yang akan diusung cawapres. Sementara akar rumput Golkar telah memandatkan kepada Airlangga dalam penentuan cawapres.
Singkatnya, Airlangga tidak akan dihujat para kader beringin jika yang maju nanti adalah kader Golkar. Artinya, jika Gibran bersedia memakai jaket Golkar, maka jalan menuju cawapres Prabowo terbuka dengan sangat lebar.
BERITA TERKAIT: