Bukan satu dua kali, diselenggarakannya konser di Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah dan mengundang antusias masyarakat, khususnya kaum muda. Meski pengumuman konser digelar akhir tahun 2023, rupanya ada yang menyiapkan jauh-jauh hari sebelum akses masuk atau penjualan tiket ditutup hingga rela merogoh kocek untuk sang Idola.
Tak tanggung-tanggung, harga tiketnya melebihi harga penjualan konser Blackpink pada April lalu, yakni Rp 800 ribu hingga Rp 11 juta.
Ramainya antusias masyarakat, khususnya pemuda dianggap sesuatu hal yang wajar, terlebih idolnya adalah grup musik atau band asal luar negeri. Bukan karena jarak dan jarangnya, namun euforia semacam ini sudah menjadi biasa saja.
Bahkan tak ketinggalan juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno melalui laman Instagram resminya menyampaikan pandangannya bahwa konser Coldplay akan menjadi peluang untuk meningkatkan wisatawan hingga membawa berkah ekonomi bagi Indonesia, khususnya pelaku event dan ekonomi kreatif.
Di Indonesia khususnya, fenomena semacam ini sudah tak asing bahkan menjadi kewajaran atau menganggapnya hiburan semata. Namun di sisi lain, tanpa memperhatikan dampak biologis atau adanya unsur eksploitasi biologis melalui musik atau gerakan-gerakan yang ditunjukan oleh idol/vokalis, adanya konstruksi paradigma terselubung di balik lirik maupun gaya hidup sang idola.
Pasalnya, di fase pencarian jati diri, pemuda biasanya cenderung melihat secara praktis saja atau memuaskan keinginannya.
Jika ditelisik lebih jauh, dibandingkan dengan semangat juang pemuda pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, maka sangatlah memprihatinkan potret generasi masa kini.
Adanya patronase paradigma struktural membuat pemudanya rapuh, artinya sistem pendidikan yang seharusnya membentuk pemahaman pemudanya dan merawat semangat juang mempertahankan napas Indonesia, mudah disusupi gaya hidup liberal.
Antusias masyarakat untuk
war tiket konser agar tak ketinggalan menunjukkan gagalnya sistem pendidikan hari ini yang seharusnya membentuk karakter atau paradigma yang berfokus pada perbaikan, malah sebaliknya membentuk karakter yang tidak mementingkan nilai-nilai yang ditanamkan oleh pejuang kemerdekaan sebagaimana yang termaktub dalam kelima sila: Bahwa kesenjangan sosial dan kehidupan hedonistik bukan menjadi tujuan utama pembentukan karakter anak mudanya.
Harga tiket yang di bandrol hingga Rp 11 juta ini menunjukkan orientasi kehidupan hedonisme sudah menjadi konsumsi masyarakat hari ini, abai terhadap kesenjangan sosial. Akibatnya, ketika pemudanya kurang peka lebih-lebih enggan menjadi penggerak penuntasan kesenjangan sosial atau mengubah paradigma atau cara pandang secara sistematis.
Mulai dari sistem pendidikannya, maka Indonesia akan mudah dimasuki berbagai kepentingan yang materialistik seperti halnya zaman penjajahan dahulu.
Indonesia dengan nilai-nilai keislamannya dan penduduk yang mayoritas muslim sudah sebagaimana mestinya menjadikan aturan-aturan Islam sebagai tindak-tanduk dalam berperilaku, bahkan kita tak lupa bagaimana napas-napas Islam yang membawa kemerdekaan di negeri ini.
Potret pemuda hari ini, terjebak dalam arus sekularisme (pemisahan antara aturan Islam dan kehidupan), sehingga enggan diatur dan hidup dalam kebebasan (liberal). Terbukti, adanya konser hingga rela
war demi tiket, pemuda hari ini lebih mencintai idola mereka daripada perintah pencipta mereka, Allah SWT.
Padahal, dalam paradigma pendidikan Islam sendiri, hasil belajar (
output) sistem pendidikannya difokuskan untuk menghasilkan generasi yang kukuh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (
tafaqquh fiddin).
Pengaruhnya (
outcome) adalah setiap individu akan memahami keterikatan dirinya dengan syariat Islam. Hingga berdampak (
impact) pada terciptanya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketakwaan, tegas untuk ber-
amar ma’ruf nahi mungkar.
Islam memiliki visi yang jelas dalam cita-cita pendidikannya yakni mewujudkan
khairu ummah (umat yang terbaik), membentuk kepribadian Islam yang mengutamakan ketakwaan terhadap Allah SWT.
Dalam bertingkah laku, kokoh
aqidah (keyakinannya) yang dengan
aqidah ini akan membentuk karakter yang baik. Materi ajar mengenai
tsaqofah Islam maupun ilmu sains sehingga tercipta generasi yang unggul dalam iptek, sekaligus memiliki ketakwaan individu yang tidak berfokus pada kepentingan material saja.
Namun, penerapan ketakwaan individu tidak hanya sebatas peran masyarakatnya saja seperti yang terjadi saat ini. Namun, pemikiran (
fikrah) pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan dari metodologi penerapan (
thariqah)-nya, yaitu sistem pemerintahan yang didasarkan pada akidah Islam.
Oleh karena itu, dalam Islam, penguasa sebagai
junnah (perisai) bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan warganya. Sebabnya, pendidikan adalah salah satu di antara banyak perkara yang wajib diurus oleh negara.
Rasulullah SAW bersabda,
“
Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Mahasiswi Universitas Muslim Indonesia, Makassar
BERITA TERKAIT: