Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Horeeeee UNESCO Menghormati Gamelan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Jumat, 17 Desember 2021, 19:05 WIB
Horeeeee UNESCO Menghormati Gamelan
Jaya Suprana/Ist
MENJELANG akhir tahun 2021 saya merasa terkejut ketika mendengar berita UNESCO sebagai lembaga Pendidikan dan Kebudayaan Persatuan Bangsa Bangsa akhirnya sudi mengakui gamelan sebagai warisan kebudayaan tak benda milik dunia berasal dari Indonesia.

Rasa terkejut saya tentu saja sama sekali bukan berarti tidak setuju, sebab bagi saya gamelan bukan hanya merupakan mahakarya kebudayaan namun sudah merupakan mahakarya peradaban.

Gamelan bukan terbatas kebudayaan namun sudah merambah masuk ke kawasan lebih luhur ketimbang kebudayaan. Maka sudah seharusnya UNESCO mengakui, demi menghormati gamelan sebagai warisan kebudayaan dunia tak benda jauh sebelum tahun 2021.

Namun memang lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali. Saya sendiri sempat keliru menilai gamelan ketika saya masih kanak-kanak.

Semua saya anggap musik adalah musik yang diwariskan oleh kaum penjajah yang datang dari Barat yaitu musik diatonik dengan alat musik dawai (biolin, biola, violoncello, kontrabas), tiup (flute, klarinet, basun, trompet, tuba), gamitan (pianoforte, orgel), perkusi (timpani, glockenspiel).

Maka semula musik gamelan dengan segenap peralatan musiknya sempat saya anggap tidak termasuk ke dalam jenis musik yang kaidah dan kategorinya ditetapkan oleh kaum penjajah.

Namun setelah saya justru belajar dan mengajar musik di Jerman barulah saya menyadari bahwa gamelan justru merupakan mahakarsa dan mahakarya bangsa Indonesia yang mandiri dan berdaulat sebagai musik yang setara alias berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan musik bangsa lain mana pun termasuk bangsa-bangsa Eropa.

Bagi saya pentatonik slendro dan pelog justru memiliki unsur penggetar sukma dan kalbu saya secara lebih dahsyat ketimbang ketimbang diatonika maupun dodekatonika besutan peradaban Barat atau bangsa manapun juga.

Pada saat saya mendengar alunan lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang atau Jenang Gelo atau Tak Lelo Lelo Lelo Dung sukma dan kalbu saya tergetar tidak kalah tergetar seperti ketika saya mendengar Die Kunst Der Fuge, Simfoni VII Beethoven, La Mer Debussy, Also Sprach Zarathustra Strauss, Pierot Lunaire Schoenberg , Atmospheres Ligeti, atau Threnody Penderecki.  

Akibat apabolehbuat secara subjektif selera serta sukma dan kalbu saya sejak dilahirkan memang sudah terpengaruh oleh gamelan Bali dan Jawa. Lalu kesemua keyakinan saya diperkokoh dan dimantap oleh almarhum mahaguru filsafat gamelan dan wayang saya, Ki Nartosabdho.

Saya tidak menyalahkan UNESCO terlambat mengakui gamelan sebagai warisan kebudayaan dunia tak benda. Karena UNESCO bekerja secara bukan proaktif namun propasif sekedar menunggu masukan dari ratusan negara anggota sementara tidak semua warga Indonesia menganggap gamelan layak masuk kategori warisan kebudayaan tak benda.

Bahkan rawan dikhawatirkan bahwa setelah gamelan diakui oleh UNESCO akan ada pihak yang merasa berkuasa menentukan kebudayaan di Indonesia akan sibuk membuat pembatasan berdasar peraturan bahwa gamelan harus begini dan begitu yang dikuatirkan alih-alih mengembangkan justru akan membakukan serta membekukan gamelan secara dogmatis seperti agama dan sains.

Maka selanjutnya dengan penuh harapan di lubuk sanubari, saya mengharapkan bahkan mendambakan bahwa akhirnya UNESCO akan mengakui demi menghormati jamu, kroncong, dangdut, kolintang, sambal, rendang, krupuk, kripik, kearifan pemikiran alias filsafat leluhur Nusantara sebagai warisan kebudayaan dunia yang berasal dari Indonesia. Merdeka! rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA