Kami berdua kerap berdebat tentang agama secara leluasa, sebab kebetulan seagama. Agar terkesan lebih keren, maka kami sebut debat kami berdua sebagai adu harapan.
Setelah berduka atas wafatnya Gus Dur, saya bertanya kepada sahabat saya yang pendeta Nasrani mengenai apakah arwah Gus Dur masuk surga. Setelah terdiam beberapa saat, dengan berat hati sahabat saya menegaskan bahwa meski Gus Dur orang baik namun arwah beliau tidak bisa masuk surga.
Tentu saja saya merasa kecewa, sebab saya sangat mengharap Gus Dur masuk surga. Maka saya lanjut bertanya kenapa sahabat saya tega untuk merasa yakin bahwa Gus Dur tidak bisa masuk surga, padahal jelas Gus Dur orang baik sebab terbukti gigih berjuang merukunkan para umat beragama maupun menghapus diskriminasi ras di persada Nusantara.
Sambil tersenyum ramah sahabat saya yang pendeta Nasrani lanjut secara religius menegaskan bahwa telah tersurat secara hitam di atas di dalam Alkitab bahwa hanya terbatas mereka yang percaya kepada Jesus Kristus yang boleh masuk surga.
Maka dengan perasaan makin kecewa saya mengambil kesimpulan bahwa jika arwah Gus Dur tidak bisa masuk surga, berarti secara logika dapat disimpulkan bahwa arwah Gus Dur terpaksa masuk neraka.
Sambil masih tersenyum ramah, sahabat saya yang pendeta Nasrani itu tidak menjawab demi tidak meladeni kesimpulan saya yang rada-rada bernuansa
reductio ad absurdum.
Sambil tidak tersenyum ramah saya nyeletuk “
Kalau begitu saya memilih masuk neraka saja!â€. Sahabat saya terkejut maka bertanya “
Loh kenapa kamu malah pilih masuk neraka?â€. Langsung saya jawab “
Lebih baik saya masuk neraka agar arwah saya bisa bersama Gus Dur yang menyenangkan sehingga neraka terasa surgaâ€.
Sahabat saya makin heran, maka bertanya “
Lalu kenapa kamu tidak mau masuk surga?â€. Dengan ketus saya menjawab “
Arwahku gak mau kumpul sama arwahmu yang menjengkelkan sehingga surga terasa neraka!â€.
Sejak perdebatan masuk surga atau neraka itu, persahabatan saya dengan sahabat saya yang pendeta itu menjadi tidak terlalu akrab. Naga-naganya teman saya merasa tersinggung akibat saya lebih memilih masuk neraka agar arwah saya bisa bergabung dengan arwah Gus Dur ketimbang bersama arwah teman saya itu masuk surga.
Secara alasanologis sepenuhnya saya dapat memahami alasan teman saya tidak suka saya. Meski pada saat sengit berdebat masuk surga atau neraka itu sebenarnya saya dan sahabat saya sama-sama masih belum menjadi arwah.
BERITA TERKAIT: