Di balik hadirnya vaksin Covid-19 AstraZeneca tersebut, ada tim peneliti yang bekerja keras bahkan sejak awal pandemi untuk membuat vaksin itu efektif, serta bisa dijangkau oleh masyarakat dunia.
Adalah Profesor Sarah Gilbert, seorang ahli imunologi berkewarganegaraan Inggris yang menemukan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Dia merupakan profesor vaksinologi di Jenner Institute & Nutrifield departement of Clinical Medicine, Universitas Oxford.
Dalam sebuah wawancara dengan
Deutsche Bank beberapa bulan lalu, Gilbert mengatakan bahwa dia bersama tim peneliti berhasil mengembangkan vaksin Covid-19 dengan efektif selama 11 bulan.
"Saat kita mendengar ada kasus pneumonia misterius yang pertama kali muncul di Wuhan, China, kita menyadari bahwa ada respon yang bisa kami lakukan," ujarnya dalam video wawancara tersebut yang diunggah di YouTube.
"Lalu kita mengetahui bahwa ini adalah virus jenis baru dari virus corona. Di situ kita tahu kita bisa membuat vaksin untuk melawannya," sambungnya.
Meski bengitu, mengembangkan vaksin dalam waktu cepat dan efektif tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
"Untuk membuat vaksin dengan cepat dan efektif, kita butuh orang-orang dengan banyak kemampuan yang beragam. Baik di bidang imunologi, kualifikasi medis, keperawatan, orang-orang yang bisa
engineering dan bagaimana memproduksi vaksin, serta mereka yang mampu melakukan
quality control serta tes," papar Gilbert.
Di antara sederet orang dengan kemampuan yang mumpuni di dalam tim Gilbert, terdapat seorang pemuda asal Indonesia. Dia adalah Indra Rudiansyah. Indra merupakan mahasiswa doktoral asal Indonesia jurusan Clinical Medicine dari Oxford University yang juga terlibat dalam pengembangan vaksin AstraZeneca.
Dalam video yang sama yang diunggah Deutsche Bank, Indra menjelaskan perannya.
"Saya berasal dari Indonesia," kata Indra.
"Sebagian besar dari penelitian saya fokus pada pembangunan vaksin untuk melawan sederet penyakit menular, seperti HIV, Ebola dan penyakit yang berpotensi menjadi pandemi seperti SARS, MERS dan sekarang Covid-19," jelasnya.
Sementara itu, dalam wawancara terpisah dengan
CNN beberapa waktu lalu, Indra menuturkan bahwa dia tidak terlibat sejak awal. Saat pandemi baru melanda, Oxford hanya melibatkan orang-orang di balik tim
Emerging Pathogen Disease.
"Awalnya Covid-19 muncul awal Januari. Rekan-rekan saya sudah memulai proyek ini. Tapi, ini khusus untuk tim
Emerging Pathogen Disesase. Kalau saya di tim Malaria, bukan tim khusus Covid," kata Indra.
Namun kemudian, tim khusus vaksin corona terbuka. Pemimpin proyek pengembangan membuka kesempatan bagi semua mahasiswa, staf, atau mahasiswa pasca doktoral untuk terlibat.
Indra pun mendaftar dan dengan keterampilan yang saya miliki, dia berhasil ditugaskan ke tim respons antibodi untuk membantu ujicoba.
Indra pun berhasil menjadi salah satu di antara lebih dari 200 ilmuwan di Oxford yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan vaksin kandidat Covid-19 pada saat itu.
Dia mengambil tanggungjwab untuk memantau respons antibodi orang yang telah diberi vaksin. Ini merupakan tugas yang krusial, karena bagian pengujian menilai seberapa efektif vaksin potensial dan efek sampingnya.
Sementara itu, dalam wawancara lain dengan
Jakarta Post beberapa waktu lalu, Indra yang memiliki gelar sarjana di bidang bioteknologi dan gelar master di bidang mikrobiologi dari Institut Teknologi Bandung itu mengaku bahwa pembuatan vaksin berpacu dengan waktu.
“Tekanan datang dari virus itu sendiri, bukan dari masyarakat,†kata Indra.
“Kami berpacu dengan waktu di sini karena tingkat penularan (Covid-19) di Inggris mulai menurun, yang berarti kami pada akhirnya dapat kehilangan kesempatan untuk menguji vaksin kami," sambungnya.
BERITA TERKAIT: