kita sentuh layar pintar, setiap saat
berdebar membuka pesan-pesan
WhatsApp pun jadi mahkamah hisab
dalam rutinitas ucapan senyap
inna lillahi wainna ilaihi rajiun...
: siapa lagi yang mati?
dan kita menghitung-hitung siapa saja
di mana, kapan, dan bagaimana
jiwa demi jiwa yang pergi
inikah ayat-ayat tentang virus laknat
yang tak berhenti menebar petaka
lalu petaka
lalu duka
dan kita habis-habisan dicehkannya
kau bayangkankah laknat dari alam maya?
kuasa jahat menertawakan perdebatan kita
tentang lockdown atau PSBB
tentang pilihan vaksin mana
tentang ketergopohan refocusing anggaran
tentang mereka yang melawan protokol
kesehatan
tentang mereka yang sinis terhadap masker
tentang mereka yang tak peduli kerumunan
ribuan nyawa tak sempat pamit pergi
jiwa-jiwa itu berebut waktu
lelah bersikutat mengantre ruang perawatan
tak mampu menunggu jatah tabung oksigen
tak betah mencari tempat isolasi
seperti inikah alam yang kau bayangkan
sepanjang inikah waktu yang kau perkirakan
sedahsyat inikah wabah yang kau kalkulasi
corona datang menguasai bumi
kerasan bertahan
menikmati perselisihan kita
yang mempertentangkan cara-cara perlawanan
dengan pidato-pidato tak bermutu
dengan pernyataan bersilangan
dengan kebijakan tak konsisten
dengan kental wajah politisasi
ke mana mereka yang suka berapi-api
membusakan janji-janji
mengembuskan angin sorga
menyerang siapa pun yang tak sesuara?
dengan unjuk gaya seperti apa
kalian memberi keyakinan
bakal mampu menenangkan anak negeri
memberi jaminan kami masih punya tempat
berlindung?
atau kalian belokkan perhatian kami
dengan isu-isu dan ekspresi nafsu menguasai
mencoba bermain-main dengan konstitusi
tahukah kalian: kami tak bernafsu lagi
terserah kau apasajakan negeri ini
kami hanya ingin tenteram
aman dari kepung kejam kematian.
(2021)
Dalam Benderang Pun Pepat Menguasaijangan salahkan kami curiga kepada apa saja
menjadi paranoid terhadap siapa saja
semilir angin pun mendatangkan tanda tanya
apa yang dialirkannya ke pori-pori kulitku?
jangan salahkan kami memandang penuh tanya
sunyi masker tak bisa mengekspresikan jiwa
senyum ikhlas tenggelam di balik tirai
hanya mata yang bicara
dengan bahasanya
jangan salahkan kami tak mampu menata hati
mengubah perilaku beradaptasi
pada tiap titik harus kutilik
pada tiap ruang harus kuyakin
dalam benderang pun pepat menguasai
dalam cahaya pun gelap menertawai
dalam terang pun hitam mewarnai.
(2021)
Amir Machmud NS, wartawan, penyair, dan penulis buku. Puisi-puisinya terbit di sejumlah media dan antologi bersama. Dua buku kumpulan puisinya yang sudah terbit adalah Tembang Kegelisahan
dan Percakapan dengan Candi
.
BERITA TERKAIT: