Istilah ini saya pakai karena Daniel adalah
muallaf setelah menikah dan KTP-nya masih mencantumkan Islam. Sebagai individu sangat toleran dan boleh saya memnyebutnya sebagai intelektual egaliter. Bahkan dia minta diantara teman-temannya tidak memanggil Bapak karena keseharian dengan panggilan Bapak merefleksikan hierarki dan itu dekat dengan feodalisme.
Itu yang ditekankan kepada saya sambil tertawa tertahan dan menganjurkan memanggilnya Bung karena egaliter dan ada semangat juang kepahlawanan.Intinya dia mengajarkan lingkungannya dengan pikirannya di dalam mesti dengan kultur egaliter, bukan feodal yang dilawannya sebagai biang kemunduran bangsa.
Kaena itu, fodalisme gaya aorde baru sangat dibencinya sehingga dia menjadi intelektual yang keras terhadap pemerintahan Orde Baru. Tidak hanya itu, dalam diskusi kesehatian dia kritis terhadap pemerintahan apa pun dan berdiri sebagai intelektual yang menjaga jarak bahkan sangat jauh dengan kekuasaan.
Daniel bersama saya, Wijayanto, Nasir Tamara sudah sejak tahun lalu menengarai kok demokrasi dan kekuasaan sekarang tidak berjalan lurus, tapi justru “
turning aroundâ€. Istilah yang dipakai dalam diskusi kecil di ruang rapat Prisma.
Intinya saya ingin membedakan Daniel dengan bintang-bintang intelektual yang ada dan bergembira ria di sekitar dan di dalam kekuasaan.
Bagi saya pribadi, kepergian DD adalah kehilangan besar, karena dia teman diskusi di Kantor LP3ES-Prisma. Beberapa minggu ini DD memang sakit, tetapi selalu berkomunikasi dengan saya, minta tidak berbicara karena suaranya parau tapi saling berkata tulis lewat WA.
Yang dia bicarakan adalah minta bersama-sama mempersiapkan 50 tahun LP3ES dan Prisma. DD sedang mempersiapkan edisi Prisma 50 tahun 19 Agustus 2021 ya, tapi sedikit mengeluhkan biaya kurang dan yang ada belum memadai sehingga perlu “
out of the box†untuk merealisasikannya.
Daniel memang tidak bisa dileppaskan dari
Prisma. Setelah pensiun dari
Prisma, dia kembali lagi memimpin
Prisma sehingga meski berbeda dari zaman keemasannya, di tangannya
Prisma bisa tetap terbit selama setengah abad meskipun dengan banyak keterbatasan.
Prisma, LP3E adalah legenda intelektualisme pada zamannya. Mengapa? Karena seluruh pemikir terbaik di negeri ini menulis di majalah ini. Mulai dari Sumitro Djojohadikusumo, Emil Salim, Subroto, Taufik Abdullah, Frans Magnis, Dorodjatun Kuntjorojakti, Yuwono Sudarsono, dan lain-lain.
Arsip Prisma dari tahun 1971 sampai 2021 lebih dari layak untuk menjadi bahan disertai arus sejarah pemikir dan pemikiran Indonesia selama setengah abad dalam bidang sosial politik.
Jadi Daniel menjadi besar sebagai intelektual karena bergumul dengan arus pemikiran besar tersebut di
Prisma. Pergumulan intelektual Daniel tidak lain adalah pergumulan intelektual Prisma LP3ES di mana dia menjadi motor dari kehebatan
Prisma pada waktu itu, palig tidak hampir selama tiga dekade 1970-an akhir, 1980-an dan 1990-an, bahkan sampai sekarang di mana dia bertahan hanya dengan beberapa temannya saja menebitkan
Prisma tersebut.
Saya sebagai pribadi mengenal Daniel Dhakidae sejak tahun 1980-an ketika manjadi bagian dari LP3ES. Daniel menjadi bagian dari
Majalah Prisma yang menjadi bagian jurnal para intelektual di Indonesia dan saya berada di Divisi Riset LP3ES.
Setelah itu Daniel diminta membantu Litbang Kompas dan sebagai peneliti LP3ES berpindah ke Litbang Kompas. Di tangan Daniel, Litbang Kompas berkembanag dan mempunyai tradisi
polling seperti yang dilakukan LP3ES.
Usai pensiun di
Kompas, Daniel kembali ke
Prisma, saya pun habis melalanglang berbagai arena kembali menjadi Ketua Dewan Pengurus LP3ES.
Didik J RachbiniKetua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.