Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Matinya Resolusi Khartoum

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/trias-kuncahyono-5'>TRIAS KUNCAHYONO</a>
OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
  • Rabu, 07 Oktober 2020, 11:25 WIB
Matinya Resolusi Khartoum
Ilustrasi/Net
PERANG tahun 1967 antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya, berakhir dengan lahirnya peta baru Timur Tengah. Israel merebut Tepi Barat dan Jerusalem Timur (Yordania), Dataran Tinggi Golan (Suriah), Jalur Gaza (Mesir), dan Semanjung Sinai (Mesir). Inilah perang ketiga antara Arab-Israel (1948–49, 1956, dan 1967) dan di kemudian hari pecah perang pada tahun, 1973 (Perang Yom Kippur), 1982 dan 2006 (Perang Lebanon I dan II), dan 2008 (Perang Gaza).

Hanya dalam tempo enam hari, dimulai 5 Juni hingga 10 Juni 1967—maka disebut Perang Enam Hari—negara-negara Arab mengalami kekalahan telak. Saat perang berakhir, korban di pihak Mesir mencapai 11.000 orang, Yordania, 6.000 orang, dan Suriah, 1.000 orang; sementara Israel hanya 700 orang.

Perang ini menandai dimulainya fase baru dalam konflik antara Israel dan Palestina. Karena akibat konflik ini ratusan ribu orang Palestina terpaksa harus mengungsi, antara lain ke Yordania dan Lebanon. Dan, lebih dari 1 juta orang Palestina harus hidup di bawah kekuasaan Israel di wilayah pendudukan, Tepi Barat.

Beberapa bulan setelah perang berakhir—22 November 1967—Dewan Keamanan (DK) PBB menerbitkan Resolusi 242. Resolusi ini pada intinya menyerukan penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah yang direbut pada Perang 1967.

Setiap kesepakatan antara Israel dan Arab—mulai dari Perjanjian Damai antara Israel dan Mesir tahun 1979 sampai Kesepakatan Oslo tahun 1993—mengacu pada Resolusi 242.

Resolusi juga menyerukan pengakhiran semua klaim atau keadaan perang dan penghormatan dan pengakuan atas kedaulatan, keutuhan, dan kemerdekaan politik dari setiap negara di wilayah tersebut dan hak mereka untuk hidup damai dalam batas-batas yang aman dan diakui bebas dari ancaman atau tindakan kekerasan. Ini berarti negara-negara di kawasan saling mengakui kedaulatan dan kemerdekaan mereka.

Resolusi Khartoum

Kurang tiga bulan setelah Perang 1967 berakhir, dan satu setengah bulan sebelum DK PBB menerbitkan Resolusi 242/1967, Liga Arab mengadakan KTT di Khartoum, Sudan, yang tidak terlibat dalam Perang 1967.

KTT dimulai 29 Agustus hingga 1 September 1967. KTT ini dihadiri delapan kepala negara: Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon, Irak, Aljazair, Kuwait, dan Sudan sebagai tuan rumah.

Fokus utama KTT keempat ini adalah terkait dengan Perang Enam Hari. Karena itu, KTT menyepakati untuk melakukan semua langkah merebut kembali wilayah yang diduduki Israel. Para kepala negara sepakat “untuk mempersatukan usaha-usaha politik guna mengeliminasi akibat agresi Israel” untuk menjamin penarikan pasukan Israel.

Langkah tersebut diwujudkan dengan meningkatkan kekuatan militer. Dana untuk meningkatkan kekuatan militer akan ditanggung oleh Arab Saudi, Libya, serta Kuwait. Yang paling penting dari KTT Khartoum ini adalah disepakatinya sebuah resolusi berkait dengan Israel.

Resolusi tersebut dikenal dengan nama “Three No’s Resolution”, Resolusi Tiga Tidak. Yakni: tidak berdamai dengan Israel, tidak mengakui Israel, dan tidak mengadakan perundingan dengan Israel.

Dalam KTT juga diumumkan sejumlah negara—Aljazair, Bangladesh, Brunei, Iran, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Malaysia, Oman, Paksitan, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman—tidak menerima paspor Israel.

Sebuah Pengingkaran

Dua belas tahun kemudian, Mesir menjadi negara pertama yang “mengkhianati” Deklarasi Khartoum. Pada 1979 Mesir menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel, dimediasi oleh AS. Israel dan Mesir menandatangani Perjanjian Camp David. Sebelum tercapai perdamaian, pada November 1977, Presiden Anwar Sadat mengunjungi Jerusalem.

Sebelumnya, pada 17 September 1978, Persetujuan Camp David yakni kesepakatan antara Israel dan Mesir ditandatangani oleh PM Menachem Begin dan Presiden Anwar Sadat dengan Presiden AS Jimmy Carter sebagai perantara. Perjanjian perdamaian inilah yang menjadi alasan penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Menachem Begin dan Anwar Sadat pada tahun1978.

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Camp David, maka berakhirlah sudah status perang antara kedua negara. Israel menarik pasukannya dari Sinai, dan Mesir berjanji akan menjalin hubungan diplomatik normal dengan Israel, dan membuka Terusan Suez bagi kapal-kapal Israel.

Liga Arab menolak perjanjian damai tersebut demikian pula PLO. Akibat dari menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel, Mesir dikucilkan dan dikeluarkan dari Liga Arab.

Selama 10 tahun, Mesir berada di luar Liga Arab, dan baru masuk lagi pada 1989 di zaman Hosni Mubarak. Harga yang harus dibayar Sadat juga sangat mahal karena berdamai dengan Israel. Ia dibunuh pada tanggal 6 Oktober 1981 dalam sebuah parade militer.

PLO yang semula sangat keras menentang perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir, pada 1993, berunding dengan Israel di Oslo, Norwegia. Perundingan ini yang menghasilkan Kesepakatan Oslo.

Perundingan menghasilkan “Letter of Mutual Recognition,” yang menetapkan “Deklarasi Prinsip tentang Pengaturan Pemerintahan Sendiri Sementara”, yang membentuk Dewan Legislatif Palestina (pada dasarnya, parlemen yang dipilih secara bebas) dan menetapkan parameter untuk penarikan bertahap Pasukan Israel dari Gaza selama periode lima tahun.

Kesepakatan ini diratifikasi di Washington DC, AS pada 1993 (Oslo 1). Pada ahun 1995 di Taba, Mesir diratifikasi Olso II, yang antara lain membahas tentang masa depan Jerusalem.

Lima belas tahun setelah perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir, dan setahun setelah Kesepakatan Oslo, pada 1994, Yordania menandatangani perjanjian damai dengan Israel.

Pada 26 Oktober 1994, PM Israel Yitzhak Rabin dan PM Yordania Abdul-Salam Majali menandatangani Perjanjian Perdamaian antara Israel dan Kerajaan Yordania. Mulai 27 November 1994, kedua negara secara resmi menjalin hubungan diplomatik. Perjanjian perdamaian ini mengakhiri era perang antara kedua negara.

Kesepakatan Abraham

Kepentingan nasional masing-masing negara anggota Liga Arab, pada akhirnya lebih kuat ketimbang mempertahankan sikap untuk tetap setia pada Deklarasi Khartoum. Setelah Mesir, disusul Yordania, 26 tahun kemudian, Uni Emirat Arab (UEA) berdamai dengan Israel.

Kedua negara, pada 13 Agustus 2020, dimediasi Presiden AS Donald Trump, menandatangani apa yang disebut sebagai Abraham Accord, Kepakatan Abraham (Ibrahim). Kesepakatan ditandatangani pada tanggal 14 September 2020, di Gedung Putih, AS. Berdasarkan kesepakatan ini, Israel dan UEA akan menjalin hubungan diplomatik secara penuh. Yang artinya saling mengakui eksistensi, kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing negara.

Secara simbolik Abraham Accord mengakhiri sebuah era dan paradigma “Israel versus negara-negara Arab” yang telah mewarnai hubungan internasional di Timur Tengah selama ini, bahkan dunia.

Apalagi, Abraham Accord didukung sejumlah negara Arab, seperti Mesir, Yordania, Bahrain, dan Oman, sementara Arab Saudi masih menjaga image, meski tak keberatan. Akhir era itu akan menjadi lebih jelas lagi kalau, misalnya, Bahrain dan Oman, menyusul UEA.

Selama ini, menurut National Review (14/8/2020) Israel diam-diam mengupayakan hubungan tingkat rendah dengan Maroko, Tunisia, dan negara-negara Teluk lainnya seperti Oman, Qatar, Bahrain, dan UEA sebelum bersepakat menjalin hubungan diplomatik. Israel dan Qatar sering melakukan kontak untuk meredakan ketegangan di Gaza yang didanai Qatar, yang dikelola Hamas.

Mendekati Akhir

Deklarasi Khartoum yang ditandatangani 53 tahun silam, kini mulai ditinggalkan negara-negara penanda tangan. Bukan tidak mungkin, negara-negara anggota Liga Arab lainnya akan menyusul langkah UEA. Bisa Bahrain atau Qatar. Bahkan Sudan, “pemilik Khartoum” pun kini mulai melakukan pendekatan-pendekatan dengan Israel.

Namun, banyak yang berpendapat bahwa hubungan dengan Sudan adalah berbahaya. Pertama, mengingat negara itu baru dalam masa transisi, yakni setelah tumbangnya pemerintahan Presiden Omar al-Bashir–disingkirkan pada tahun 2019, setelah berkuasa selama 30 tahun sebagai diktator. Sudan kini ada di bawah pemerintahan kohabitasi sipil dan militer, namun belum stabil.

Selain itu, lanskap politik di Sudan begitu lebar, mulai dari kelompok komunis, Baathis hingga kekuatan sekular liberal sampai berbagai kelompok Islamis.

Dengan kondisi seperti itu, sejumlah kalangan di AS berpendapat bahwa Israel jangan mengulang perjanjian perdamaian dengan Lebanon (1983) yang ditandatangani pemerintah yang tidak mempunyai legitimasi rakyat. Perjanjian itu hanya berumur setahun.

Meski demikian, seperti di atas sudah disebutkan bahwa kepentingan nasional menjadi landasan pertama dan utama dalam menjalin hubungan dengan negara lain.

Dalam peta pertarungan pengaruh di Timur Tengah saat ini—antara Arab Saudi dan Iran—maka ngara-negara lain pun akan harus ikut berhitung. Mereka juga harus juga memperkuat diri, selain untuk mengatasi persoalan dalam negeri juga menghadapi kekuatan luar.

Maka, dengan menjalin hubungan dengan Israel—yang juga memiliki keunggulan teknologi mesin perang—akan terbuka akses untuk mendapat senjata dari AS, dan menjalin kerja sama ekonomi. Sudan, misalnya, negara yang selama ini menghadapi persoalan berat baik keamanan maupun ekonomi, sangat membutuhkan hal itu. Bagi mereka, kerja sama ekonomi menjadi fokus utama.

Sehingga pada akhirnya, masalah Palestina pun akan “tersisihkan”, meskipun negara-negara Arab masih menyatakan mempunyai komitmen untuk mendukung mewujudkan perjuangan bangsa Palestina. Maka dengan demikian, Deklarasi Khartoum pun mendekati babak-babak akhir. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA