Kampanye yustisi bahkan dilakukan aparat penegak hukum agar masyarakat benar-benar mematuhi imbauan itu. Bahkan ada denda bagi mereka yang membandel menaati protokol kesehatan.
Namun publik terhenyak saat Rabu (23/9) lalu kerumunan massal terjadi di Kota Tegal, Jawa Tengah. Wakil Ketua DPRD Kota Tegal menjadi pihak penyelenggara acara yang digelar di Lapangan Desa Tegal Selatan itu. Alasannya, karena sedang merayakan hajatan keluarganya.
Acara berlangsung meriah. Tampak dalam sejumlah foto dan video beredar para pengunjung berdesakan atau mengabaikan jaga jarak. Sebagian mereka juga terlihat tidak mengenakan masker.
Sedangkan acara dangdut berlangsung “lancar†dari pagi hari hingga tengah malam. Panggung hanya berhenti saat jelang adzan Ashar dan dimulai kembali usai adzan Isya. Kondisi ini tentu miris karena tidak ada pembubaran acara.
Teranyar publik dikagetkan dengan pembubaran deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia di Surabaya, Senin (28/9). Acara deklarasi yang dilakukan Presidium KAMI, Gatot Nurmantyo itu sebelumnya mendapat penolakan dari sekelompok orang yang menamakan sebagai Koalisi Indonesia Tetap Aman (KITA).
Sorotan dalam tulisan ini bukan tentang tudingan makar dari KITA ke KAMI yang menjadi dasar penolakan. Juga bukan tentang hak KAMI untuk berkumpul dan menyatakan pendapat yang dijamin UUD 1945.
Namun lebih pada keprihatinan karena masih kurang pedulinya rakyat Indonesia akan bahaya berkerumun. Termasuk tentang upaya aparat yang lagi-lagi kurang antisipatif dalam melihat potensi kerumunan.
Padahal di satu sisi aparat melakukan operasi yustisi atau menjaring satu per satu rakyat yang tidak taat protokol kesehatan. Sementara di satu sisi, justru membiarkan kerumunan orang digelar oleh KAMI dan KITA.
Penanganan berbeda justru terlihat saat aparat menghadapi para petani yang memperingati Hari Tani di Solo, Kamis (24/9). Dengan alasan menimbulkan kerumunan, para pengunjuk rasa langsung dibubarkan secara paksa dan sebagian ditangkap paksa saat pembubaran.
Berkaca dari kasus-kasus ini, hendaknya pemerintah dan aparat penegak hukumnya konsisten dengan apa yang disuarakan. Jika memang berkerumun tidak diperkenankan, maka semua harus dilarang tanpa terkecuali. Bagi mereka yang tidak taat, harus ada denda sebagai efek jera.
Jangan sampai ada penindakan yang pilih-pilih. Sebab, nantinya rakyat akan menjadi kurang peduli dan kasus corona yang sudah 7 bulan menjangkit negeri ini tidak kunjung berlalu.
Ujian sebenarnya akan datang saat nanti para pasangan calon kepala daerah melakukan kampanye. Jangan sampai aparat dan pemerintah kendor. Mereka yang ngeyel mengumpulkan massa wajib disanksi tegas.
Sanksi tegas juga merupakan konsekuensi yang harus diambil karena nekat melaksanakan pilkada di tengah pandemik yang masih meroket.
BERITA TERKAIT: