Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Makna Politik Di Balik Keputusan Hagia Sophia Sebagai Masjid

Minggu, 12 Juli 2020, 07:33 WIB
Makna Politik Di Balik Keputusan Hagia Sophia Sebagai Masjid
Direktur Eksekutif Cakramandala Institute, Adhe Nuansa Wibisono/Ist
KEPUTUSAN Turki untuk menetapkan Hagia Sophia kembali menjadi masjid menimbulkan respon beragam baik di domestik Turki sendiri maupun publik internasional. Presiden Recep Tayyip Erdogan melalui siaran televisi nasional mengumumkan keputusan itu setelah pengadilan Turki membatalkan satus museum Hagia Sophia pada Jumat (10/7).
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pengadilan administratif Turki membatalkan dekrit pemerintah dari era Mustafa Kemal Ataturk pada 1934 yang menjadikan Hagia Sophia sebagai museum. Erdogan menjadikan momen ini sebagai bentuk glorifikasi dan kemenangan kaum Islamis dengan menyatakan kebangkitan Hagia Sophia merupakan pertanda awal pembebasan Masjid Al-Aqsha. Sebuah pesan politik yang ditujukan kepada para pendukungnya terutama sebagai bagian dalam pemenuhan janji kampanye pemilu presiden 2018 silam.

Dalam proses keputusannya di pengadilan, Dewan Negara kemudian menyatakan bahwa Hagia Sophia merupakan properti kepemilikan dari Sultan Mehmed II yang menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Sultan Mehmed II kemudian mendaftarkan Hagia Sophia sebagai wakaf abadi yang hanya diperbolehkan untuk digunakan sebagai masjid.

Negara dianggap bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan bangunan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf. Dengan demikian keputusan kabinet pada tahun 1934 yang menjadikan situs itu sebagai museum, otomatis menjadi batal demi hukum.
 
Keputusan ini membawa sentimen negatif di kalangan negara-negara Kristen Ortodoks dan juga dari kelompok oposisi Turki. Hagia Sophia merupakan bahasa Yunani untuk “Holy Wisdom” yang dibangun pada abad ke-6 di masa Kekaisaran Bizantium.

Yunani sebagai rumah bagi jutaan pengikut Ortodoks menyebutkan keputusan itu sebagai “provokasi terbuka”, sementara Gereja Ortodoks Rusia menyesalkan keputusan tersebut. AS melalui Departemen Luar Negeri-nya juga menyatakan kekecewaan, tetapi semua kritik terhadap sikap Turki ini dijawab Erdogan dengan mengatakan bahwa ini adalah urusan domestik dan Turki akan bersikap independen dari tekanan pihak asing.

Tentu saja sikap Turki ini akan mempengaruhi hubungan Turki dengan Yunani yang akan semakin memperkeruh isu eksplorasi gas di Laut Mediterania. Selain itu juga akan berpengaruh pada hubungan Turki-Rusia yang cukup dinamis dalam beberapa front konflik seperti Irak, Suriah dan terakhir Libya.
 
Selain itu penentangan terhadap isu Hagia Sophia juga muncul dari kelompok oposisi Partai Rakyat Republik (CHP) terutama dari Walikota Istanbul, Ekrem Imamoglu yang memberikan pernyataan pada Forum Ekonomi Delphi pada bulan Juni 2020 silam.

Imamoglu menyatakan bahwa dia tidak melihat adanya kebutuhan mendesak menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid. Imamoglu menyatakan bahwa rezim kepresidenan jangan menggunakan isu ini sebagai isu politik domestik. Masalah Hagia Sophia adalah urusan pemerintah kota Istanbul dan bukan menjadi tanggung jawab dari lembaga kepresidenan (Takvim, 2020).

Terlihat dari pernyataan ini bahwa kelompok oposisi melihat Presiden Erdogan memainkan isu Hagia Sophia ini sebagai bentuk dari pergeseran isu yang menarik perhatian rakyat Turki dan digunakan untuk memperkuat dukungan politik kepada Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Erdogan, terutama dalam pemilu Presiden 2023 mendatang.
 
Sejarah Perkembangan Hagia Sophia


Sejarah kompleks Hagia Sophia dimulai pada tahun 532 ketika kaisar Bizantium Justinianus memerintahan pembangunan gereja besar yang menghadap ke pelabuhan Golden Horn dan diresemikan pada tahun 537.

Dengan kubahnya yang menjulang lebih dari 160 kaki, bangunan itu diyakini sebagai gereja dan bangunan terbesar di dunia Kristen selama berabad-abad. Hagia Sophia dirancang oleh arsitek Anthemios dan Isidoros yang merupakan arsitek terkenal di zamannya.

Pembangunan gereja ini menggunakan bahan-bahan siap pakai agar mempercepat prosesnya, jadi Kaisar Justinianus mendatangkan bahan-bahan bangunan ke Konstantinopel dari kuil-kuil, tambang marmer dan batu dari seluruh Anatolia. Materi tersebut berasal dari kuil-kuil Efesus di Izmir, dari Aspendos di Antalya dan dari Baalbek di Lebanon (Hurriyet Daily, 2019).
 
Pada tahun 1453 dalam sebuah serangan telak kepada Dinasti Bizantium, Sultan Mehmed II menaklukkan Konstantinopel dan merubah namanya menjadi Istanbul. Sang penakluk kemudian melakukan shalat Jumat di dalam Hagia Sophia setelahnya Kekaisaran Ottoman segera mengubah bangunan tersebut menjadi masjid.

Sultan Mehmed II memberikan penambahan menara kayu di bagian luar, lampu gantung besar di tengah ruangan utama, mihrab untuk imam shalat dan mimbar. Dia juga menutupi ikonografi Kristen dan mosaik-mosaik emas dengan tulisan-tulisan kaligrafi Islam berbahasa Arab.

Sultan Bayezid II kemudian mendirikan menara merah di sisi tenggara bangunan dan menara putih di sisi timur laut menggantikan menara kayu. Di masa Sultan Selim II atau Sultan Murad III kemudian dibangun menara identik di sisi barat dan dibangun oleh arsitek terkenal Ottoman, yaitu Mimar Sinan pada tahun 1500-an (BBC News, 2020).  
 
Keputusan Dewan Menteri untuk mengubah status masjid Hagia Sophia menjadi museum dibuat pada tahun 1934 di era Republik sekuler Turki yang didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Kemudian pada tahun 1985 Hagia Sophia ditetapkan menjadi komponen dari situs Warisan Dunia UNESCO yang disebut dengan Kompleks Bersejarah Istanbul.

Sebenarnya apa pukulan mendasar bagi kaum Kemalis terkait perubahan status Hagia Sophia kembali menjadi masjid? Kaum Kemalis terutama yang diwakili oleh CHP merasakan “tamparan” keras dari Erdogan dalam isu ini karena warisan Ataturk yang berupaya mensekulerkan Turki, juga simbol-simbolnya relijius utamanya seperti Hagia Sophia akhirnya mendapatkan kekalahan telak dimana akhirnya Erdogan berhasil mengembalikan bangunan ini sebagai masjid seperti di zaman Ottoman.

Bisa dikatakan kelompok Kemalis kali ini gagal mempertahankan kebijakan Ataturk dalam mensekulerkan Hagia Sophia, sebuah turnback politik yang positif bagi AKP yang mengalami kekalahan dalam pemilihan walikota 2019 di Istanbul dan Ankara.
 
Strategi Pengalihan Isu?

Sebenarnya saat ini Turki sedang mengalami krisis ekonomi yang cukup parah di mana nilai tukar lira terhadap dolar AS mencapai 6,87 lira Turki (per 11 Juli 2020). Titik terendah yang dihadapi oleh lira terjadi pada awal Mei 2020 yang mencapai 7,27 lira Turki per dolar AS. Kondisi ekonomi Turki ini diperparah dengan wabah Covid-19 yang juga menghancurkan sektor ekonomi riil seperti retail dan UMKM.

Di tengah krisis ekonomi dan mulai berkurangnya dukungan terhadap AKP, Presiden Erdogan kemudian mengadopsi strategi pencitraan politik yang pintar dengan mengangkat isu Hagia Sophia ke permukaan dan menjadikan perhatian seluruh masyarakat Turki kepada isu ini dan sejenak melupakan masalah ekonomi. Isu identitas dan agama hampir selalu menyentuh wilayah croc brain dalam diri manusia dan akan selalu direspon dengan pendekatan emosional daripada pendekatan rasional.

Begitu juga dalam isu Hagia Sophia ini bisa dilihat sisi emosional yang dimainkan terutama sensitivitas agama dan kejayaan Ottoman yang berhasil menyentuh mayoritas masyarakat Turki.
 
Selain itu isu Hagia Sophia ini juga akan digunakan sebagai sarana soft diplomacy yang baik sekali terutama dalam menggalang dukungan dan simpati dari negara-negara Muslim. Presiden Erdogan telah menyatakan bahwa Hagia Sophia ini adalah awal dari pembebasan Masjid Al- Aqsha, sekali lagi Turki memberikan sinyal positif kepada negara-negara muslim di tengah berbagai krisis dan konflik yang terjadi di negara-negara muslim seperti isu Palestina, Suriah, Kashmir, Rohingya, Pattani, Yaman dkk.

Erdogan juga memberikan harapan di tengah hancurnya Masjid Babri Ayodhya yang dihancurkan kaum ekstremis Hindu di India, begitu pula masjid-masjid di Palestina yang diambil paksa oleh Israel dan dialiihfungsikan menjadi museum, rumah bahkan menjadi bar dan kafetaria.
 
Dari sisi pariwisata, sebenarnya Hagia Sophia memberikan pemasukan yang lumayan besar bagi Turki dengan catatan jumlah pengunjung mencapai 31 juta orang dari rentang tahun 2007 hingga 2018. Pada tahun 2014, Hagia Sophia memecahkan rekor pengunjung tahunan dengan angka 3,57 pengunjung.

Tetapi jika dialihfungsikan menjadi masjid bagaimana dengan potensi pemasukan Hagia Sophia ke depan, apakah akan berhenti? Nampaknya pemerintah Turki mencoba menangkap potensi wisata lain yaitu potensi wisata halal bagi wisatawan muslim yang pendapatan globalnya pada tahun 2017 mencapai 226 miliar dolar AS.

Jika dengan menjadikan Hagia Sophia menjadi masjid dapat meningkatkan potensi wisatawan muslim dari Qatar, Kuwait, Arab Saudi, Aljazair, Tunisia, Maroko, Indonesia dan Malaysia maka ini merupakan imbal balik yang potensial kedepannya. Dengan mengandalkan warisan agama dan sejarah Dinasti Ottoman maka Turki dapat menarik wisawatan Muslim untuk datang mengunjungi Turki dan semakin menggenjot sektor pariwisatanya. rmol news logo article

Adhe Nuansa Wibisono

Direktur Eksekutif Cakramandala Institute, yang juga mahasiswa Ph.d Turkish National Police Academy

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA