Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menelaah Kepentingan Donald Trump Dalam Renegosiasi NAFTA Ke USMCA

Kamis, 18 Juni 2020, 10:20 WIB
Menelaah Kepentingan Donald Trump Dalam Renegosiasi NAFTA Ke USMCA
Presiden Amerika Serikat Donald Trump/Net
SEBAGAI sebuah negara dengan kekuatan adidaya, tidak dipungkiri jika Amerika Serikat memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan di sebuah organisasi regional bahkan internasional. Ditambah lagi Amerika Serikat saat ini dikuasai oleh rezim kepemimpinan Donald Trump yang dikenal dengan pengambilan kebijakannya yang kontroversial dan sering kali dimaksudkan untuk pemenuhan kepentingannya serta meraih keuntungan bagi Amerika Serikat sendiri.

Salah satu contohnya, Trump mengupayakan perubahan pada  kesepakatan NAFTA menuju kesepakatan baru yaitu United States–Mexico-Canada Agreement (USMCA). NAFTA atau dikenal juga dengan North Atlantic Free Trade Agreement yang merupakan perjanjian perdagangan bebas di regional Amerika Utara yang berdiri sejak tahun 1994 dan beranggotakan Amerika Serikat, Meksiko serta Kanada. NAFTA pun sudah dijalankan oleh presiden-presiden Amerika Serikat terdahulu bahkan sebelum Donald Trump resmi menjabat.

Melihat kepemimpinan Trump sebagai presiden, sejauh ini ternyata memberikan banyak perubahan pada Politik Luar Negeri dan juga kebijakan Amerika Serikat, baik kebijakan luar negeri maupun dalam negerinya. Perubahan ini membuat arah kebijakan Amerika Serikat yang menjadi lebih proteksionis dan berbentuk anti multilateralisme, sehingga akan lebih memerhatikan kepentingan nasional dari pada kepentingan bersama.

Semasa kepemimpinan Donald Trump kebijakannya menekankan pada pentingnya cara pandang yang menguntungkan finansial dan moneter bagi Amerika Serikat. Dengan adanya kebijakan ini, maka secara tidak langsung akan mengancam eksistensi NAFTA yang mana dinilai sebagai sebuah kerjasama multilateral yang kurang memberikan keuntungan bagi AS. Selain itu, kebijakan proteksionis Trump juga memberikan dampak pada terhambatnya perdagangan, aliran barang, jasa dan juga tenaga kerja ke Amerika Serikat sebab adanya restriksi imigrasi.

Kebijakan ini tentu sangatlah bertolak belakang dengan prinsip-prinsip NAFTA seperti prinsip free trade dan integrasi ekonomi. Dengan ini, akan berakibat munculnya eliminasi-eliminasi dari Trump terhadap keberlangsungan kebijakan NAFTA yang dianggapnya kurang memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat.

Dengan begitu, Trump berkeinginan untuk melakukan renegosiasi terhadap kerjasama multilateral NAFTA yang bahkan telah ia sampaikan kepada publik semenjak masa kampanye nya saat masa pemilihan umum Presiden AS.

Trump sebagai kepala negara tentu memiliki pandangannya sendiri dalam melihat bagaimana kurangnya kerjasama multilateral NAFTA ini. Beliau menyebut NAFTA sebagai  pembunuh pekerjaan-pekerjaan di Amerika Serikat dan sebagai kesepakatan perdagangan terburuk yang pernah ditandatangani oleh Amerika Serikat.

Trump juga pernah menyatakan “It’s been very good for Canada, it’s been very good for Mexico, but it’s been horrible for the United States”, pernyataan tersebut akan sesuai jika kita melihat fakta bahwa NAFTA cenderung menunjukan asimetri ekonomi di Amerika Utara. Selain itu Amerika Serikat juga sering mengalami defisit dengan mitra-mitra yang berada di NAFTA seperti Meksiko dan Kanada. Amerika Serikat merasa telah melakukan impor yang lebih banyak jika dibandingkan ketika Meksiko dan Kanada melakukan impor dari Amerika Serikat. Menurut Trump hal ini tentu membawa Amerika Serikat pada kerugian. Karena terciptanya ketidakseimbangan antara AS dan Meksiko, dengan adanya penghapusan tarif bea cukai, ekspor Meksiko ke AS melonjak naik sebanyak 7 kali lipat. Sementara AS, mengalami defisit perdagangan. Sebagian besar defisit perdagangan AS dari Meksiko merupakan impor bahan bakar minyak.

Berdasarkan data yang didapatkan dari Foreign Trade, Census Bureau, Amerika Serikat sering mengalami defisit ke Meksiko semenjak bergabung ke NAFTA, pada awal bergabungnya Amerika Serikat, jumlah defisit nya sebesar US$15,808 dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Defisit terus terjadi dikarenakan jumlah impor lebih tinggi dibandingkan ekspor Amerika Serikat ke Meksiko, meskipun memang jumlah ekspor impor AS terus meningkat.

Alasan lain, Trump juga melihat bahwa kondisi dunia yang terus berkembang juga mengharuskan adanya perombakkan kerjasama perdagangan yang sudah ada sejak 1994 ini, karena permasalahan yang dihadapi sekarang ini tentu akan berbeda dibandingkan permasalahan perdagangan tahun 1994 yang saat itu belum ada teknologi secanggih masa kini. Selain hal tersebut, Kehadiran Challenger dengan memiliki kekuatan ekonomi serta militer yang sangat signifikan, akan menciptakan sebuah sistem multipolar seperti saat Amerika Serikat menggantikan Inggris. Saat ini, negara yang terus mengalami peningkatan dan bahkan telah disebut ekonomi raksasa adalah negara China. Dan China sekarang ini, telah berhasil menempati posisi kedua GDP dengan jumlah ekspor terbesar. Bahkan menurut World Bank, China merupakan “the fastest sustained expansion by a major economy in history”.

Oleh karena hal itu, China akan memiliki pengaruh yang besar terhadap ekspansi ekonomi bagi negara lain. Selain itu, ekspor China juga mengalami perkembangan yang sangat tinggi, dari semula 14 miliar dolar AS tahun 1979 kemudian naik menjadi 2,3 triliun dolar AS di tahun 2017, dan bukan hanya ekspor, impor China pun mengalami peningkatan dari 18 miliar dolar AS di tahun 1979 menjadi 1,8 triliun dolar AS di tahun 2017.

Aktor baru dan hegemoni hierarki dalam sistem internasional memunculkan keinginan negara super power untuk terus tetap berada diatas rivalnya. Dan ini tercermin pada hubungan Amerika Serikat dan China yang terus berkembang, Hal ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi posisi negara hegemoni Amerika Serikat.
Tanggal 18 Mei 2017, Amerika Serikat memberi pemberitahuan 90 hari kepada kongres untuk mengupayakan renegoisasi NAFTA, Trump juga sempat mengancam akan menarik Amerika Serikat dari perjanjian NAFTA jika usulannya tidak disetujui oleh kongres.

Trump kembali berupaya membahas perenegoisasian NAFTA pada tanggal 16 Agustus 2017 dan 1 Oktober 2018 saat pertemuan bilateralnya dengan PM Canada di KTT La Malbaie, Quebec dengan agenda pembahasan isu-isu di ranah internasional, kemudian pada November 2018 USMCA secara resmi di tandatangani oleh ketiga anggota NAFTA pada saat pertemuan G-20 di Argentina.

Melihat hal ini, kita dapat relevansikan dengan teori Neorealisme yang berasumsi bahwa aktor utama dalam dunia internasional adalah Negara. Negara juga digambarkan sebagai aktor yang rasional yang akan memikirkan bagaimana cara untuk survive demi keberlangsungan hidupnya. Dalam hal ini Trump sebagai refleksi atas Negara Amerika Serikat telah memilah apa saja hal yang sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi kepentingan nasionalnya. Selain itu dengan adanya kedatangan Challenger, membuat Trump semakin giat untuk menata kembali ‘tembok perlindungan’ yang mungkin bisa kapan saja membuatnya runtuh.

Selain itu, Neorealisme juga berpandangan bahwa sistem internasional anarki ini harus memiliki lebih dari satu aktor adidaya demi terciptanya balance of power. Dengan adanya keseimbangan kekuatan tersebut tentu negara-negara tidak akan merasa ‘seenaknya’ karena ada kekuatan lain yang bisa menandinginya. Dengan begitu Trump terus mengupayakan peningkatan kekuatannya terlebih dalam bidang ekonomi dengan merenegosiasikan NAFTA yang kian hari semakin merugikan, dalam hal ini Mearsheimer menganggap bahwa ini adalah sebuah keadaan sistem multipolar dikarenakan terdapat 2 negara hegemoni yang sama kuatnya dan hal ini dianggap dapat mengurangi terjadinya konflik antar keduanya.

Amerika Serikat juga memanfaatkan kekuatannya sebagai negara hegemoni di kawasan regional Amerika Utara untuk mengontrol perilaku negara lain sesuai dengan keinginannya. Hal ini dapat terlihat pada keputusan yang diambil oleh Amerika Serikat jika renegosiasi tidak dilakukan maka Amerika Serikat akan keluar dari kerjasama tersebut. Hal ini tentu tidak memberikan pilihan lain bagi negara anggota NAFTA yang sudah terlanjur merasakan banyak kemudahan dalam menjalankan kerjasama dengan Amerika Serikat, salah satunya Meksiko. Meksiko tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui kehendak Trump dan terus berusaha untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat agar kerjasama diantaranya tidak terputus. Begitu pun Kanada sebagai negara tujuan ekspor dan impor Amerika yang utama.

Trump sebagai pemimpin yang diketahui cukup proteksionis selama masa kepemimpinannya, tentu akan berupaya untuk terus memenuhi kepentingan nasional Amerika Serikat daripada kepentingan bersama. Dan jika dikorelasikan dengan teori Neo realisme yang berkata bahwa negara sebagai aktor yang rasional dan akan mengutamakan dirinya demi keberlangsungan hidup, dalam hal ini Trump telah memilah apa saja yang tidak memberikan keuntungan bagi kepentingan nasionalnya dengan menghapuskan segala hal yang dirasa kurang menguntungkan Amerika Serikat.

Terlebih saat sebelum menjadi seorang Presiden, Trump merupakan pebisnis ulung yang berorientasi kepada untung rugi dan tentu telah mahir memperhitungkan mana yang akan menghasilkan keuntungan lebih bagi Amerika Serikat. Selain itu dengan adanya kedatangan Challenger, membuat Trump semakin giat untuk menata kembali ‘tembok perlindungan’ yang mungkin bisa kapan saja membuatnya runtuh. Sama dengan pemikiran Neorealisme, yang mengusung konsep balance of power karena adanya 2 hegemoni di dunia internasional yang kemudian memunculkan multipolar.

Hal tersebut menjadi faktor lain yang menjadi kepentingan Donald Trump mengupayakan negosiasi ulang perjanjian perdagangan NAFTA. Keberadaan China sebagai aktor penantang yang berindikasi mengancam eksistensi AS dengan kekuatannya yang dikhawatirkan dapat menandingi Amerika Serikat, sehingga dengan adanya negosiasi  NAFTA, akan dapat lebih menguntungkan Amerika Serikat dan mempertahankan eksistensinya sebagai negara hegemon dalam kawasan regional maupun dunia internasional serta mempertahankan kekuatan ekonomi nya yang disokong oleh perjanjian baru yang lebih menguntungkan yaitu USMCA. rmol news logo article

Sherin Megananda

Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA