Tapi pertanyaan ini bukan saya arahkan pada kaum milenial. Mungkin lebih tepat adalah untuk X generation.
Sebenarnya tidak ada hubungan antara lagu itu dengan Covid-19. Apalagi dengan para milenial. Namun bila ada yang berkehendak menghubungkan sah-sah saja. Toh belum ada undang-undang yang melarangnya. Apalagi dalil relegiusnya. Seperti hebohnya kasus milenial istana di situasi pandemik.
Terima saja sebagai sebuah cerita yang berulang. Kisah yang bukan hanya terjadi di zaman ini. Biar daya imunitas meningkat. Katanya begitu. Lebih lagi imunitas dibutuhkan di tengah situasi pandemik.
Bongkar, seperti juga Bento. Adalah lirik tembang yang mengkritik keadaan sosial masyarakat saat itu. Ketika Jendral bintang lima Suharto memegang tampuk kekuasaan. Masa di waktu para menteri terikat dengan kultur serta sistem politik model Jawa. Jelas dan pasti lagu Bongkar mengecam pemerintah.
Iwan yang aslinya bernama Virgiawan Listanto, mencoba memberikan pesan semiotika bagi pucuk kekuasaan. Ia mencoba mewakili suara kalangan bawah yang termarginalkan akibat kuatnya cengkaram ABRI saat itu. Bila di panggung teater ada Rendra maka di panggung musik Iwan-lah sebagai salah seorang pelopor.
Keduanya sama-sama dirindukan masyarakat dan pula senasib dilarang untuk tampil terbuka di pentas. Maklum, begitulah sejarah selalu berulang. Zaman republik bangsa ini yang telah dicatat oleh sejarah.
Lantas apa hubungan lirik Bongkar dengan pandemik di tanah air. Sekali lagi tidak ada.
Terkecuali bila ada yang iseng menggunakan ilmu gathuk ala kampung. Harap dicatat, ilmu itu masih diperbolehkan karena belum ada pasalnya yang melarang. Atau belum diharamkan oleh hadits.
Ilmu sepanjang ia tidak membahayakan masyarakat umum, akan dinilai sebagai mewakili ranah akademis. Toh masyarakat juga masih banyak yang enggan menimba ilmu yang sarat nilai akademis.
Atau bila ia ingin pasti tidak mampu akibat tingginya biaya. Lebih lagi tidak ada jaminan yang berijasah memperoleh kerja. Jadi untuk apa berilmu dengan ijasah.
Publik kita masih gemar dengan yang namanya info kethuk tular yang belum pasti benar dan sudah pasti sarat imbuhan. Jangan pula menyangka bahwa seperti itu hanya digemari oleh kalangan bawah saja.
Tengok saja di tingkat kalangan ataspun begitu pula terjadi. Loh koq bisa. Di negeri ini segalanya pasti bisa karena sudah terbiasa. Jangan geram. Nanti imunitas tubuh menurun. Begitu mitosnya.
Coba saja ikuti celotehan netizen di sosial media sekarang. Seribu satu berita kethuk tular atau word of mouth (WOM) berseliweran mencoba membentuk dan mengusik opini publik.
Baik dengan cara agenda setting ataupun yang menyertakan framing dan priming. Tentu saja ditambah dengan setumpuk tehnik komunikasi abad ke-21 beserta teknologinya. Mulai dari propaganda, retorika sampai pada kampanye yang amburadul.
Walau katanya pilkada masih jauh di akhir tahun. Apalagi sosial media netizen milik warga metropolitan. Seperti kota-kota besar Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya juga Makasar.
Mereka yang gemar mendukung Anies Gubernur DKI, tumpah ruah tanpa henti menampilkan diri dengan segala daya peragaan. Ada yang serius ada pula dengan cara cukup menggelikan.
Begitu pula sebaliknya bagi para penolak. Sampai-sampai foto sang gubernur ketika masih SMA pun ikut terpajang walau lusuh. Mau diapakan. Memang begitulah upaya membentuk opini pulik yang ujung harapannya pastilah tindakan. Baik di saat pemilihan maupun sebelum pemilihan. Mumpung momennya tepat.
Namun ada pula yang menarik dari kecamuknya kebijakan PSBB DKI Jakarta yang dicetuskan Anies. Karena ilmu gathuk, maka dipertentangkan dengan policy Kemenperin Agus Gumiwang serta PLT Menhub Luhut Panjaitan. Pasalnya, mengapa jalur kereta Depok-Jakarta tidak dibatasi. Padahal, penumpang bukan hanya menumpuk di setasiun-setasiun namun juga berdesakan di dalam KRL yang ber AC tersebut. AC adalah transmisi virus terbaik.
Padahal juga, dua wilayah ini baik Depok maupun Jakarta sama-sama zona-merah bagi wabah Covid-19. Ternyata ocehan di sosial media ini, terbawa hingga ke program tayang ILC yang dinakhodai Karni Ilyas minggu lalu. Kedua menteri dalam kabinet itu walau tidak hadir, jelas tersudut.
Semenjak awal bulan, memang Menperin Agus Gumiwang telah meminta agar perusahaan industri diharapkan produksinya berjalan secara berkesinambungan. Penekanannya adalah bagi sektor industri obat-obatan, alat kesehatan, alat perlindungan diri (APD) dan industri manufaktur utama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok.
Tentu saja itu adalah makanan dan minuman, susu, pengolahan makanan, kimia dan beberapa lagi.
Pada masa PSBB darurat pandemi Covid-19, ia meminta pemerintah daerah (pemda) agar ikut membantu dan mendukung pelaksanaan kegiatan industri yang terkait langsung dengan aspek ekonomi dan sosial. Konon ada sekitar 200-an industri di sana. Nah, sudah tentu industri memiliki pekerja. Sayangnya pekerja tersebut berada di pinggir Jakarta. Butuh KRL guna ketempatnya mencari sesuap nasi.
Agus boleh jadi tidak bersalah. Tentu ia memikirkan bagaimana gawatnya dalam situasi darurat ini bila industri berhenti, produksi tidak ada di pasaran. Kosong melompong dan spekulan terjadi. Dampak ekonomi dan sosial yang ia maksud sudah pasti ujung-ujungnya juga pada persoalan keamanan. Bukan sekedar inflasi ataupun resesi.
Karena ia juga sebelumnya 15 tahun lebih berada di dewan pada Komisi I. Namun, siapa yang mau berdiri di sampingnya. Pada situasi darurat dan menyambut pilkada. Belum lagi persiapan 2024 Pilpres. Dipaskan dulu hitungannya bila harus memberi dukungan. Bila sekarang KRL tetap berjalan sebagaimana biasa, itu karena PLT tidak diperbolehkan mengeluarkan kebijakan baru. Pastilah yang telah ada yang dipakai. Lumrah hukum alam.
Apakah Agus memang tidak menginginkan mencegah penyebaran Covid-19? Boleh jadi juga tidak sepenuhnya benar. Boleh jadi ia berpandangan seperti mantan Menkes Sitti Fadilah yang kini dalam pengasingan. Karena mantan Menkes ini berpikir Covid-19 tidak harus disekat dengan pendekatan pandemik seperti PSBB. Namun dengan virology. Yakni perkuat ketahanan tubuh, maka imunitas akan terbentuk dan anti-body dengan sendirinya melenyapkan virus corona yang menghantui benak manusia itu.
Karenanya produksi obat dan bahan pokok serta pendukungnya tidak boleh berkurang. Jelas ini adalah persoalan konstruksi berpikir. Namun tujuan sama. Untuk kemaslahatan dan kejayaan bangsa. Jadi ga perlu emosi serta menuding kebijakannyalah paling benar. Nanti immunitas tubuh berkurang. Angka OPD dan PPD bertambah.
Lantas apa kaitan dengan lantunan lagu Bongkar? Simaklah baik-baik.
Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan, bagi mereka yang diperbudak jabatan. O, o, ya o … Ya o … Ya bongkar O, o, ya o … Ya o … Ya bongkar.
Nah, yang utama harus dibongkar adalah konstruksi berpikir. Kembali ke khittah perjuangan bangsa dan negara. Kembali pada Panca Sila. Mampukah di momentum pandemik ini? Semoga Ramadhan ini membawa rahmah dan hidayah.
ZarsyPenulis buku "Bulan Madu NU-Muhammadiyah".