Nama Kemal ("kamal" berasal dari Bahasa Arab artinya sempurna), yang menjadi nama belakangnya merupakan pemberian dari guru matematikanya karena kecerdasannya. Nama "Ataturk" baru disandangnya setelah ia menjadi Presiden, dan diberikan oleh para pendukungnya sebagai atas jasanya atas berdirinya Turki Modern.
Ayahnya bernama Ali Riza Efendi, merupakan seorang perwira milisi dan juga pedagang kayu. Sedangkan ibunya bernama Zubeyde Hanim. Ibunya kemudian memasukkannya ke sekolah agama, yang dijalaninya tidak lama. Mustafa kemudian pindah ke Sekolah Semsi Efendi, sebuah sekolah dengan kurikulum lebih sekuler atas inisiatif sang ayah, dengan harapan saat dewasa kelak sang anak akan menjadi seorang pengusaha.
Tanpa izin kedua orang tuanya, Mustafa mengikuti ujian masuk pendidikan militer di Salonica pada tahun 1893. Kemudian pada tahun 1896, dia masuk Sekolah Militer Monastir.
Pada tahun 1899, Mustafa melanjutkan ke Akademi Militer di Pangalti yang berlokasi di pinggiran ibu kota Istanbul dan lulus pada 1902. Ia kemudian mengikuti pendidikan lanjutan di Akademi Militer Ottoman di Istanbul dan selesai pada tahun 1905.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Mustafa sempat ditahan selama beberapa bulan karena keterlibatannya dalam gerakan anti-monarki, dan dibebaskan berkat jasa mantan pimpinan sekolahnya, bernama Riza Pasha.
Mustafa kemudian ditugaskan sebagai Kapten pada Pasukan Kelima Turki yang bermarkas di Damaskus, Suriah. Selama di Suriah, dia merasakan secara langsung sentimen anti-Turki dari bangsa Arab, yang bermuara pada berbagai bentuk perlawanan. Sentimen anti-Turki muncul sebagai hasil kerja intel Inggris bernama Laurence of Arabia.
Di kemudian hari, bukan mustahil pengalamannya ini memengaruhi sentimen anti-Arab dan anti-Islamnya saat berkuasa.
Tahun 1908, ia terlibat dalam pemberontakan yang dikenal dengan Revolusi Turki Muda. Gerakan ini menuntut Sultan Abdul Hamid II mengembalikan Konstitusi 1876, dan menghidupkan kembali Parlemen Usmani yang dibekukan. Sultan Abdul Hamid II mengabulkan tuntutan para pemberontak.
Dari 1909 sampai 1918, Mustafa menempati sejumlah posisi penting di jajaran militer Turki, dan ia ikut serta dalam sejumlah operasi militer seperti: perang melawan Italia yang dikenal dengan Perang Italo-Turki (1911), lalu Perang Balkan (1912-1913).
Dalam buku:
Mental Maps in the Era of Two World Wars (2008) yang diedit oleh S. Casey dan J. Wright, Mustafa Kemal ikut rombongan perwira Turki yang berkunjung ke Prancis pada 1910. Sebelumnya ia sudah mengagumi Prancis malalui berbagai buku yang dibacanya, terkait politik, hukum, pemerintahan, dan tentu militernya sebagai implementasi prinsip sekuler ekstrem (
laicite) yang dianutnya.
Saat Turki terlibat dalam Perang Dunia I bersama Aliansi Sentral (Jerman, Austria-Hungaria, Bulgaria), Mustafa menjadi komandan Divisi ke-19. Berkat keberanian dan strategi perang yang disusunnya, dia berhasil menggagalkan invasi sekutu ke Selat Dardanella tahun 1915.
Dalam sejarah Turki, peristiwa ini lebih dikenal dengan pertempuran Gallipoli yang melambungkan namanya.
Kekalahan secara beruntun pasukan Turki di berbagai fron selama Perang Dunia I, memaksa Sulthan melakukan gencatan senjata dengan Inggris melalui perjanjian Mudros (30 Oktober 1918). Inggris kemudian menduduki stanbul (13 November 1918), menyebabkan pemerintahan Turki di Istanbul berada di bawah kendali Inggris.
Sementara di bagian Selatan dan Timur wilayah Turki diduduki pasukan asing lain. Pasukan Yunani merebut Izmir (21 Mei 1919) dan menduduki Anatolia Barat.
Deklarasi Konferensi Perdamaian Paris (Januari 1920), diikuti dengan Perjanjian Sevres (Agustus 1920), yang berisi penyerahan seluruh wilayah Turki di Balkan dan Arab kepada Sekutu.
Sejak 1919, sebenarnya Mustafa Kemal dan kelompok Nasionalis menentang Perjanjian Mudros yang ditandatangani penguasa di Istanbul, kemudian mengonsolidasi kekuatan di Ankara, dan mencapai puncaknya dengan pembentukan Dewan Nasional Turki atau Grand National Assembly (GNA).
Mustafa Kemal kemudian memimpin pasukan Turki untuk melawan pendudukan asing, dan berhasil mengusir tentara Yunani, Inggris, Prancis, dan Italia keluar dari teritori Turki. Pada Juli 1923, ditandatangani perjanjian Lausanne, yang berisi kesepakatan seluruh tentara asing angkat kaki dari wilayah Turki. Pada 29 Oktober 1923, dideklarasikan berdirinya Republik Turki, dan Mustafa Kemal diangkat menjadi Presidennya yang pertama.
Setelah menjadi Presiden Republik Turki, melalui GNA Kesultanan Turki Usmani dibubarkan. Diikuti Reformasi besar-besaran atas bangunan pemerintahan, yang menurut Syafiq A. Mughni dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (1991), meliputi tiga unsur: Nasionalisme, Sekularisme, dan Westernisasi.
Sejak saat itu secara sistemis, semua sekolah agama ditutup, aksara Arab diganti dengan Latin, pakaian yang bernuansa Islam dilarang, seluruh aktifitas keagamaan diruang publik dilarang, masjid hanya untuk shalat, sampai azan harus diganti ke dalam bahasa Turki. Padahal, sebelumnya bangsa Turki menggunakan dua bahasa: Bahasa Turki untuk pemerintahan, Dane Bahasa Arab untuk bahasa Agama. Sejak saat itu hanya ada bahasa Turki saja, dan banyak lagi yang tidak mengkin disebutkan semuanya.
Nurchlolis Masjid menilai akibat reformasi yang dilakukan Mustafa Kemal, bangsa Turki kehilangan kekayaan khasanah intelektual yang dimilikinya, karena generasi penerusnya tidak bisa membaca buku-buku berbahasa Arab yang diwarisinya.
Bangsa Turki juga tercerabut dari budaya dan akar sejarahnya, kemudian gagal mengadopsi kemajuan peradaban Barat, khususnya dalam bidang sain dan teknologi, karena yang didapat hanya bentuk luar yang bersifat fisik.
Berbeda dengan Jepang yang berhasil mencangkok kamajuan peradaban Barat termasuk dalam bidang industri yang berbasis sains dan teknologi modern, dengan tetap menjaga budaya yang diwariskan leluhurnya, dan tetap bangga dengan sejarah bangsanya.
Di awal perjuangannya, sebenarnya Mustafa Kemal mendapatkan banyak dukungan dari komunitas santri di Turki yang berbasis pada kelompok-kelompok terikat sufi. Akan tetapi dalam perjalanannya ia ditentang, karena berbagai kebijakan yang diambilnya dinilai anti-Islam.
Seorang ulama yang sangat menonjol waktu itu bernama Said Nursi bisa menjadi simbol. Nursi pada awalnya mendukung gerakan Reformasi yang digagas Mustafa, akan tetapi kudian ia balik menentang. Nursi kemudian menjadi buronan dan mengalami penderitaan luar biasa di bawah pemerintahan Ataturk.
Selain sebagai seorang ulama, Said Nursi juga dikenal sebagai seorang guru sekaligus tokoh sufi. Sampai sekarang semua tokoh Islam di Turki menganggapnya sebagai gurunya.
Said Nursi baru bisa menikmati kebebasan setelah Mustafa Kemal wafat pada 1938. Semoga para politisi bisa mengambil pelajaran dari pengalaman Turki.
Wallahua'lam.
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi