Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Opsi Dari Corona Untuk Pilkada Serentak

Senin, 13 April 2020, 14:29 WIB
Opsi Dari Corona Untuk Pilkada Serentak
SEPULUH hari terakhir sesungguhnya saya sudah jenuh membaca begitu banyak tautan berita tentang pandemi corona, apalagi hendak berkomentar dan terlibat dalam diskusi-diskusinya.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Lama kelamaan mendengarkan keterangan dari Juru Bicara Gugus Tugas, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menjadi semakin membosankan. Pertambahan jumlah saudara kita yang terdeteksi positif, wafat dan sembuh disampaikan seperti laporan perolehan medali dalam event Olimpiade atau Asian Games. Seakan deretan angka-angka itu tidak berarti apa-apa, kering tanpa jiwa.

Walaupun lumayan terlambat, belakangan ini kita semua khususnya para pemangku jabatan publik baik yang di pusat maupun daerah terlihat sudah relatif lebih aware dan bersungguh-sungguh menangani pandemi ini. Mulai dari pencegahan penyebaran, pengobatan sampai dampak ekonomi dan sosial yang menyertainya.

Insha Allah
, kegaduhan di berbagai media sosial dua-tiga minggu yang lalu itu cukup efektif menyalakan alarm banyak pihak.

Sesuai dugaan, reaksi awal mereka memang sangat menyebalkan, beberapa pihak yang merasa sangat terganggu kemudian sampai menganggap berbagai komentar dan tulisan itu sebagai gangguan personal yang menyerang kewibawaan dan kehormatan pribadi beserta jabatan yang melekat pada diri mereka.  Biarkan saja, memang begitu hukum besi kekuasaan, cenderung merasa selalu paling baik dan selalu paling benar.

Puasa komentar tentang pandemi corona akhirnya harus saya sudahi pagi tadi. Seorang sahabat yang sedang bertugas menjadi wakil kita di lembaga tinggi negara menelepon dan meminta pendapat tentang tiga opsi penyelenggaraan Pilkada serentak yang sedang mereka kaji dan telaah.

Saya tanyakan kepadanya. Apakah masih boleh menambahkan opsi lain di luar tiga skenario yang sedang mereka pertimbangkan? Karena dalam hemat saya, perkembangan situasi sekarang membutuhkan keberanian untuk menempuh opsi lain di luar sekedar penundaan sampai Desember tahun ini, atau Maret atau September tahun depan.

Saya mengajukan opsi keempat, Pilkada serentak ditunda saja sampai tahun 2024.

Saya tidak akan bercerita panjang tentang contoh Pilkada yang pernah ditunda karena bencana alam seperti pada kasus Tsunami Aceh dan Gempa Jogja. Saya juga tidak akan membahas dasar hukum penundaan karena muaranya sudah jelas yaitu Perppu yang mengatasi kebuntuan beberapa pasal dalam UU Pilkada yang terlanjur mengatur teknis waktu penyelenggaraan Pilkada serentak September tahun ini.

Saya hanya akan menyampaikan dua kondisi sebagai pertimbangan mengajukan opsi ke-empat itu. Pertama, kondisi laju pandemi corona beserta dampak sosial-ekonomi ikutannya dan yang kedua, kondisi keuangan negara kita.

Kondisi pertama, kita tahu bahwa pandemi corona bergerak secara global menjangkiti jutaan orang di 210 negara. Jutaan orang itu tidak terkena secara serempak. 210 negara itu memiliki perbedaan waktu awal terdeteksi dengan siklus infeksi yang berbeda-beda.

Selama vaksinnya belum ditemukan dan teruji dapat efektif mencegah penularan, maka selama itu pula belum ada satu negara pun dapat memastikan dirinya sudah terbebas dari ancaman pandemi corona, termasuk China yang baru saja menarik nafas sebentar kemudian harus bersiap-siap lagi menghadapi potensi gelombang kedua pandemi yang berasal dari lalu lintas interaksi masyarakat global.
Dunia baru bisa dikatakan bebas dari pandemi ini jika tidak ada lagi satu negara pun yang masih memiliki penduduk pengidap virus COVID-19.

Vaksin yang dunia butuhkan itu entah kapan baru akan ditemukan dan siap digunakan, jika negara-negara seperti Amerika, China, Jerman, Jepang dan Iran saja masih belum berani memperkirakan kapan vaksin akan ditemukan.

Jika manusia super pintar dan super kaya seperti Bill Gates saja masih berharap paling cepat 12-18 bulan ke depan vaksin corona baru dapat ditemukan dan digunakan, bagaimana mungkin kita berani mengatakan Indonesia akan terbebas dari pandemi Corona pada akhir tahun ini?

Lamanya waktu jangkitan pandemi yang belum dapat diprediksi secara pasti ini berbanding lurus dengan dampak sosial dan ekonomi yang harus diderita oleh masyarakat dan ditanggung oleh negara. Kondisi pertama ini mempengaruhi langsung kondisi yang kedua.

Kondisi kedua, kita tahu bahwa secara makro kondisi perekonomian kita sangat tertekan akibat pandemi Corona. Apalagi kondisi keuangan negara yang tercermin dalam APBN.

Kementerian Keuangan memproyeksikan pendapatan negara dari pajak mengalami penurunan lebih dari 10% akibat banyaknya stimulus dan pendapatan negara bukan pajak mengalami penurunan lebih dari 26% akibat harga minyak dunia yang terus melemah. Keduanya terjadi karena pandemi Corona.

Menteri Keuangan juga sudah berkali-kali menyampaikan bahwa kondisi krisis ekonomi yang menjadi dampak pandemi Corona akan lebih berat ketimbang krisis ekonomi pada tahun 2008 bahkan 1998. Kita harus bersiap-siap menjalani pertumbuhan ekonomi yang minus sampai 0,4%.

Kondisi defisit keuangan negara itulah yang memaksa Kementerian Keuangan menerbitkan surat yang menunda dan menghentikan proses pengadaan barang dan jasa baik di pemerintah pusat maupun daerah jika tidak terkait langsung dengan penanganan pandemi dan dampaknya, memang baru diawali dengan skema DAK (Dana Alokasi Khusus) tetapi berpotensi diikuti juga oleh skema lainnya.

Buruknya kondisi keuangan negara itu sampai memaksa Pemerintah Indonesia menerbitkan Global Bond berupa Surat Berharga Negara (SBN) senilai US$ 4,3 miliar atau setara dengan hampir 70 triliun rupiah. Bukan hanya jumlahnya yang harus kita perhatikan, tetapi tenor jatuh tempo pembayarannya yang mesti kita cermati dan camkan, sampai 50 tahun. Pertama dalam sejarah keuangan negara kita sejak 75 tahun merdeka.

Sekali lagi saya ulangi, penurunan pendapatan negara baik dari pajak (10%) maupun bukan pajak (26%), defisit anggaran sampai lebih dari 5%, pertumbuhan ekonomi bisa melambat sampai minus 0,4% dan penerbitan SBN bertenor sampai 50 tahun, sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan buruknya kondisi keuangan negara kita dan untuk berapa lama kondisi itu akan berlangsung belum dapat diprediksi waktunya karena terkait langsung dan berhubungan erat dengan waktu kapan berakhirnya pandemi Corona bukan hanya di Indonesia tetapi di dunia.

Karena itulah saya mengajukan opsi ke-empat dalam diskursus penundaan penyelenggaraan Pilkada serentak. Jangan hanya ditunda ke tahun depan karena tahun depan itu hampir bisa diprediksi kita masih belum pulih dari perang besar dan panjang melawan pandemi Corona.

Insha Allah kalaupun vaksinnya dapat ditemukan dan digunakan lebih cepat dari perkiraan, tahun depan itupun kita masih berusaha merangkak bangkit dari keterpurukan ekonomi, masih berikhtiar membuat rebound semua laju defisit dan minus kembali ke laju surplus dan positif.

Bagaimana mungkin kita akan terus paksakan Pilkada serentak (yang akan menggunakan keuangan negara setidaknya Rp15 triliun) sementara untuk memastikan keberlangsungan perekonomian negara bisa terus berjalan di tengah pandemi Corona ini saja kita sudah harus menerbitkan surat utang bertempo setengah abad? Ini seperti memaksakan diri menyelenggarakan resepsi pesta di saat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pun sebenarnya kita sudah terpaksa menggadaikan surat berharga.

Dalam kondisi seburuk ini, hal paling realistis yang harus diputuskan oleh Presiden Jokowi adalah penerbitan Perppu tentang penundaan (atau peniadaan?) penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020 yang disatukan saja waktunya di tahun yang sama dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, di tahun 2024.

Tidak perlu ada uang negara yang dihamburkan hanya untuk mendapatkan kepala daerah dengan masa bakti kurang dari 5 bahkan tidak sampai 3 tahun, untuk apa kita memaksakan diri menyelenggarakan Pilkada untuk 270 daerah di tahun depan sementara tidak sampai 3 tahun setelah itu tetap akan diikutkan kembali dalam Pilkada serentak 560 daerah?

Kita jangan membohongi diri sendiri dengan kata-kata manis "demi menjaga otonomi daerah" hanya karena ingin menutupi besarnya syahwat merebut dan atau meneruskan kekuasaan. Jangan menakut-nakuti diri sendiri dengan mengatakan penunjukan pejabat bupati, walikota dan gubernur dari pemerintah pusat maupun provinsi merupakan akhir dari otonomi daerah hanya karena takut tidak bisa memenangkan kompetisi di 2024 nanti.

Jika kita tetap akan memaksakan diri meneruskan rencana penyelenggaraan pesta besar itu walaupun masih dalam masa berkabung dan dalam kondisi prihatin di tahun depan, tampaknya kita perlu memeriksakan diri kita sendiri, bisa jadi bukan Coronavirus yang telah menjangkiti kita tetapi virus lain yang jauh lebih berbahaya, virus yang membuat kita semua telah kehilangan hati. rmol news logo article

Nizwar Affandi
Penulis adalah Ketua MKGR Provinsi Lampung

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA