Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Memahami Visi Indonesia Presiden Joko Widodo 2019-2024 (Bagian 9)

Memahami Visi Indonesia, Pentingnya Rekayasa Sosial Untuk Revitalisasi Rakyat Multikultural

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/natalius-pigai-5'>NATALIUS PIGAI</a>
OLEH: NATALIUS PIGAI
  • Sabtu, 10 Agustus 2019, 02:59 WIB
Memahami Visi Indonesia, Pentingnya Rekayasa Sosial Untuk Revitalisasi Rakyat Multikultural
Ilustrasi keberagaman/Net
“BANGSA Jawa unggul bukan karena kehebatan genetika, tetapi lebih dari ratusan tahun silam ilmuan merekayasa bangunan sosial berdasar tipologi masyarakat di sebuah Dusun Mojokuto menghasilkan karya monumental. Clifford Geerzt rekayasa masyarakat Jawa terkoloni dalam komunitas Santri, Abangan dan Priyayi”
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Labilitas Integrasi Sosial Tertinggi

Lima belas tahun silam, pada tanggal 26 Desember 2004 Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dihantam badai tsunami, tidak kurang dari 230 ribu nyawa melayang, jasad-jasad manusia bertebaran di mana-mana, ribuan bangunan dan kekayaan yang ada jadi antah-berantah. Berjuta-juta penduduk dunia terenyuh melihat kejadian yang sebagian orang menyebutnya sebagai kiamat kecil itu. Dari dalam negeri, lebih dari setengah juta penduduk tak perduli dari agama dan suku mana bergerak menuju Aceh untuk membantu sesama saudara yang menimpa korban.

Tentu saja kejadian ini menggambarkan suatu arus balik kependudukan, dan menyadarkan akan pentingnya perubahan demografik di Aceh dari komunitas homogen eksklusif menjadi heterogen inklusif. Pentingnya nilai multikulturisme.

Seluruh kejadian, kerusuhan, pertengkaran yang terjadi di pelosok nusantara selalu dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran yang negatif dan terindoktrinasi dalam diri setiap orang luar sejak lama, bahwa setiap etnis memiliki karakter unik, keras, temperamental, halus menghanyutkan.

Sederet konflik yang tersimpan dan sewaktu-waktu perang horizontal bisa meledak karena bangsa ini memiliki labilitas integrasi sosial tertinggi. Apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat debat capres tanggal 30 Maret 2019 bahwa potensi bubarnya Indonesia bukan karena alat utama sistem persenjataan, tetapi karena bangsa yang terdiri dari multietnis, yaitu 714 suku dan seribu lebih Bahasa.

Konflik di Aceh yang didasari sentimen terhadap orang luar, khususnya Jawa dan Batak, konflik psikologis antara orang Batak Tapanuli dan Melayu Deli, Tapanuli Utara dan Selatan, kebencian orang Tapanuli Selatan terhadap orang Nias, orang Minang yang sangat eksklusif terhadap orang luar, konflik antara orang Timur dan Sumatera di Batam, berbagai konflik di Mesuji dan konflik antara Lampung dan Bali, perang historikal Suku Jawa dan Sunda, Peristiwa Sampit, Sambas dan orang Dayak dan Melayu di Kalimantan, Bali Hindu dan Islam, suku Sasak dan Bali, perebutan Kekuasaan Flores dan Timor, perang antara Suku Bima dan Manggarai, aliansi Bugis, Buton dan Makasar terhadap suku-suku sekitarnya, konflik Islam-Kristen di Palu dan Poso, perasaan berbeda antara Suku Minahasa dan Gorontalo, Maluku Utara dan Selatan di dasari Kristen-Islam serta ketidakharmonisan antara penduduk asli dan pendatang di Papua dan Papua Barat.

Konflik bukan hal baru bagi Indonesia, di zaman Belanda di Aceh, Belanda pernah mengalami kegagalan sehingga akhirnya Christian Snouck Hurgronje dikirim ke Arab Saudi untuk belajar agama Islam, dan upaya ini sukses menurunkan intentitas perlawanan, walau upaya ini pun akhirnya sia-sia. Oleh karena itu perang dan konflik telah menjadi darah daging orang secara turun temurun, ada perang tanding di Adonara, perang suku beberapa wilayah bahkan ada syair-syair perang sabil dengan nada yang sangat militant. Karena itu oleh antropolog barat menyebut beberapa suku di nusantara dengan sebutan “the cannibal”. Hal ini menjadi penyebab utama lambannya pembauran dan integrasi sosial ini Indonesia.

Etno-nasionalisme dan Ekslusivme

Menurut pandangan ahli bahwa suku atau etnik itu merupakan satu kesatuan individu yang memiliki rasa saling atas dasar ikatan etno-biologis dan religi yang sama, biasanya mereka mengenal kombinasi agama kosmik (etnoreligius movement), soteriologi metakosmik, bahasa adat walaupun bahasa Nasional masih digunakan sebagai lingua franca-, adat-istiadat dan suatu perasaan demi nenek moyang yang sama, batas antara satu kelompok etnik dengan lainnya menyatu, walaupun pemisahannya bersifat teritorial.

Karena itu mereka menyatu dengan perasaan loyalitas bersama dan rasa berbeda dengan orang luar, bahwa analisa akhir bangsa seperti juga suku-bangsa yang ada di Indonesia adalah satu kesatuan kolektif sikap berfikir dan kesadaran akan perasaan persaudaraan, kesadaran etnik ini berkembang melalui komunitas bahasa, ras, agama, dan kesatuan regional dalam berbagai kombinasi.

Sistem budaya nusantara ini cenderung ke sistem pertahanan yang merasuk ke dalam sistem budaya itu termasuk di dalamnya mitos-mitos dan legenda-legenda. Walaupun demikian mengenai asal-usul nenek moyang orang Indoensia yang biasanya merupakan suatu kosmologi yang rumit dan kepercayaan ini membentuk kategori utama pengetahuan anggota dalam persepsi lingkungan dan persepsi itu memengaruhi pola pikiran dan tindakannya.

Hal ini merupakan cara-cara hidup tradisional masyarakat Indonesia yang berkisar sekitar dunia roh ilahi (ratu adil)...kehidupan sosial, pendidikan, politik, ekonomi dan religi masyarakat didasarkan atas sikap, perasaan dan kepercayaannya terhadap alguran, di dalam tradisi ini membentuk dan memengaruhi serta mengendalikan arah tingka laku masyarakat Aceh.

Pemberontakan demi pemberontakan yang muncul di wilayah kehidupan masyarakat selama ini biasanya berkisar pada beberapa hal dan seringkali timbul bersama dan berlawanan tujuan.

Pertama, masyarakat bersifat kwasi kekeluargaan karena hubungan yang wujud, akibat ikatan keluarga besar yang berdasarkan genealogis, garis keturunan. Ketua adat  sebagai informal leader yang berpengaruh misalnya di Papua oleh Sahlins d Marshal disebut poor man, rich man, big man, chief, yang pengenalannya bersifat hubungan keluarga yang lebih sosiologis.

Kedua, penduduk Indonesia saat ini meliputi berbagai jenis bangsa, ada orang Sumatra, Jawa, Makassar dan lain-lain. Di sini yang menjadi ciri utama adalah bentuk-bentuk fisik yang feno-tipis bukan persamaan keturunan. Atau suku-bangsa yang mejemuk, sering kali dipandang sebagai poros esensi konflik-konflik selama ini masing-masing suku ingin menonjolkan budaya dan komunitasnya sendiri, sementara masyarakat dari suatu etnik tidak memahami budaya pendatang, akibatnya konflik selalu terjadi di mana-mana.

Ketiga, meskipun menjadi faktor di hampir seluruh pelosok Indonesia, faktor kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah gawat yang komunitasnya sangat heterogen baik  budaya maupun juga adat istiadat. Ada kecenderungan orang pendatang untuk menonjolkan kedaerahan atau pun merasa daerahnya lebih termaju dari pada daerah orang lokal.
Keempat, ikatan keagamaan sangat menentukan dalam arah dan kebijakan di daerah dalam setiap dimensi kehidupan. Mayoritas di daerah itu beragama sehingga sangat sensitif terhadap masuknya agama lain. Ikatan keagamaan (nasionalisme religius) seperti ini dapat meninggalkan perasaan kebangsaan yang lebih luas.

Semua perbedaan di atas ini yang sering merupakan dasar dari salah satu segi ketidakharmonisan akhir-akhir ini. Gejalah ini terutama berperan penting dalam hal dimana kelompok yang secara intelektual dan kebudayaan merasa dirinya "lebih unggul" di tengah-tengah orang lokal yang dianggap kasar dan harus berpedoman pada golongan yang "unggul".

Dengan demikian, maka, mengapa orang daerah atau lokal ini lebih cenderung hidup mandiri dan bebas daripada kelompok majemuk (pendatang). Bahwa ikatan-ikatan budaya adalah ikatan yang para anggotanya merasa bahwa mereka semua adalah sedarah daging, yakni "perasaan kesadaran satu jenis" yang di satu pihak mengikat mereka sedemikian rupa. Dengan lain perkataan kesadaran identitas etnik bahwa ketika suatu kelompok suku, bangsa, bahasa, dan berbudaya sama yang hidup di Indonesia berhadapan dengan manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. Sehingga sebagai rakyat tradisional kaya akan mitos-mitos, tetapi dalam pandangan hidupnya terintegrasikan secara terpadu antara kepercayaan dan dalam kenyataan hidup.

Keterpaduan dalam pandangan ini hanya terjadi dalam orang suatu suku sendiri, sehingga pada saat dihadapkan dengan masyarakat luar, mereka menganggap sebagai lawannya. Misalnya ketika seseorang dari keluarga berada di dalam lingkungan keluarganya, ia memandang di luar keluarganya sebagai lawan atau musuhnya, tetapi ketika ia berada di dalam lingkungan suku membelah mati-matian atas perkataan orang yang menyinggung sukunya dan memprovokasi untuk menyampaikan perkataan orang lain tersebut kepada sukunya, akhirnya terjadi perang antarsuku misalnya Aceh dengan Batak atau dengan Makassar atau dengan Jawa dan lain sebagainya.

Pola berfikir tersebut di atas yang disebut pola berfikir etno-nasionalisme yang tentu saja kita tidak boleh lupa bahwa nasionalisme ikut disuburkan oleh gerakan-gerakan perjuangan dan mitos hikayat di berbagai suku di pelosok Indonesia sehingga faktor-faktor primordial seperti bahasa, agama, dan adat istiadat dapat menentukan nasionalisme etnik ini. Kesetiaan khusus berupa itu dapat berwujud suatu falsafah, dogma, atau ideologi yang ditandai dengan ciri-ciri khusus yang mendominir terhadap nasionalisme Indonesia.

Karena itu, kesetiaan kepada kelompok etnik yang terjadi selama ini merupakan kesetiaan yang terbentuk di dalam diri setiap orang secara otomatis dan alami, kesetiaan kepada keluarga (clan) yang menjadi kesetiaan kepada suku merupakan dasar dari solidaritas kelompok primordial. Kesetiaan seperti ini oleh orang luar tidak perlu digembar-gemborkan atau didorong untuk dikembangkan karena ia muncul dengan sendirinya, bahkan kampanye untuk membesarkan primordial suku bangsa masing-masing dapat dicurigai sebagai gerakan sektararian yang dapat merongrong kesetiaan yang lebih luas.

Bahwa pemanfaatan kesetiaan primordialisme untuk menyingkirkan etnik asli karena kepentingan tertentu  menghasilkan kesetiaan yang fanatik. Kesetiaan yang fanatik akan menciptakan konflik, kerusuhan, pembunuhan, pengrusakan, pemerkosaan yang hebat, luas, mendalam, dan sulit diselesaikan. Konsekuensi logis dari terjadinya konflik seperti ini adalah kerusuhan yang dapat menciptakan ketidakstabilan politik. Karena itu bagi yang akan bepergian ke suatu daerah, terlebih dahulu dapat memahami budaya dan pandangan hidup ini secara baik dan benar.

Masalah Pribumi dan Pendatang

Pada masa lalu kelompok migran yang masuk ke beberapa daerah terutama untuk memenuhi dua kebutuhan ekonomi-politik, pemerintah kolonial Belanda dan program transmigrasi. Pertama, migrasi sukarela untuk perdangan atau sebagai penyebaran agama. Kedua, memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor perkebunan dan pertambangan serta perminyakan. Tenaga kerja yang bekerja dalam sektor tersebut terutama didatangkan dari luar yang padat penduduknya. Ketiga, migrasi juga dilangsungkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi pemerintahan. Karena itu, didatangkan tenaga kerja terdidik yang sebagian besar dari luar untuk mengisi berbagai jabatan dalam birokrasi pemerintahan, mulai dari guru, mandor, opsir dan lain sebagainya.

Gelombang migran pada waktu itu tidak menimbulkan persoalan, di samping karena berada di bawah lindungan (patron) politik pemerintah, juga karena sektor-sektor yang dimasuki kalangan tenaga kerja pendatang merupakan lapangan kerja yang masih langka dimasuki orang Indoensia.

Beberapa waktu lalu dengan semakin besarnya potensi sumber daya alam menimbulkan semakin besarnya gelombang migrasi ke daerah. Migrasi ini terdiri dari berbagai segmentasi sosial.

Pertama, dari kaum kapitalis yang merelokasi atau mengekstensifikasi modalnya ke daerah. Mereka ini kemudian melakukan pendalaman modal melalui konversi tanah besar-besaran yang nantinya digunakan untuk membangun mesin ekonomi kawasan-kawasan sentra ekonomi.

Kedua, kalangan kelas menengah terdidik, seperti profesional dan birokrat yang sebagian dari mereka bekerja untuk kepentingan pemerintah. Mereka merupakan kelas yang menjamin logika akumulatif dari kelas kapitalis bisa berjalan dengan baik.

Ketiga, politik asimilasi yang dijalankan pemerintah  melalui program transmigrasi yang dikirim selama masa orde baru. Dan keempat, segmen kelas bawah. Segmen terakhir ini mempunyai spektrum luas, mulai dari buruh bangunan, pedagang di sektor informal, dan buruh di bidang pembangunan.

Kehadiran migran di daerah, terutama pada masa Orde Baru, lebih didorong oleh motivasi ekonomi (market driven) daripada hal lain. Sehingga hal inilah yang menjadi alasan utama mereka untuk berpindah tempat. Sementara bagi kalangan kelas menengah ke bawah yang bermigrasi ke daerah motivasi ekonomi ini disebabkan oleh kondisi keterbatasan ruang-ruang ekonomi (seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan minimnya lapangan kerja) di daerah asal kaum migran. Kebutuhan untuk "survive" membuat mereka meninggalkan kampung halaman, mencari kehidupan yang lebih baik.

Meskipun demikian kehadiran kaum pendatang dapat memengaruhi peta demografi. Beberapa daerah yang pada zaman dahulu dikenal sebagai daerah yang homogen menjadi heterogen, kehadiran pendatang juga menimbulkan pergeseran pola relasi pendatang-pribumi, dari pola hubungan pertukaran menjadi relasi yang kompetitif dan itu yang tidak disukai oleh orang daerah.

Di beberapa sektor ekonomi, kehadiran pendatang menjadi dapat memicuh motivasi pribumi untuk lebih maju. Namun, sebagian besar sektor-sektor ekonomi menjadi arena kompetisi antara penduduk asli dan pendatang. Dalam sebuah ruang hidup bersama ini, orang harus bersaing dengan orang pendatang dan sebagainya dalam memperebutkan lapangan kerja yang terbatas jumlahnya.

Dalam kondisi ini, perkembangan migran di daerah juga melahirkan pengukuhan prasangka etnis di dalam berbagai bidang. Tingkat kemajuan yang dicapai pendududk luar di daerah lebih menimbulkan prasangka buruk terhadap kaum pendatang, karena penduduk masyarakat lokal dianggap "malas". Stereotipe "malas" ini muncul ketika orang lokal diharuskan terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi.

Seluruh dinamika penduduk antara pribumi dan nonpribumi menimbulkan beberapa fenomena yang merupakan respons orang asli terhadap pendatang.

Pertama, menguatnya ethnosentrisme yang tampak dari munculnya persepsi tentang datangnya ancaman terhadap identitas masyarakat dari kalangan pendatang. Orang asli merasa dirinya tidak aman dan terancam oleh kehadiran pendatang. Keterancaman ini tidak saja dalam hal perebutan sumber-sumber ekonomi, melainkan juga masuk ke domain kultural-spritual. Kehadiran pendatang justru dianggap "melunturkan" atau bahkan "menghancurkan" sendi-sendi budaya, adat, dan agama yang mayoritas orang asli menganutnya.

Kedua, di daerah-daerah, kehadiran pendatang menimbulkan soliditas antardaerah untuk merumuskan aturan kesepakatan tentang pendatang. Bentuk pengaturan terhadap pendatang bisa berbeda-beda di setiap daerah seperti ada yang sangat "keras" dalam mengantisipasi pendatang di wilayahnya, ada yang sangat lunak menghadapi pendatang.

Ketiga, oleh birokrasi pemerintahan daerah, persoalan pendatang direspons dengan kebijakan penertiban administrasi kependudukan. Dengan berbekal kebijakan kependudukan, para pendatang di "sweeping" di pintu-pintu masuk. Para pendatang juga harus menunjukkan kelengkapan administrasi kependudukannya ketika aparat, pemerintah desa melakukan operasi kependudukan di wilayahnya.

Berbagai respons terhadap isu migran mempunyai sejumlah keterbatasan, karena kurangnya perhatian terhadap beberapa hal berikut. Pertama, persoalan migran adalah persoalan lintas daerah. Pendatang adalah fenomena dunia bergerak lintas ruang dan waktu. Bahkan dengan semakin dekatnya jarak antarruang akibat globalisasi, migran dan migrasi terjadi dalam skala lintas negara dan benua. Dalam skala ruang lebih kecil, migrasi bergerak dari desa satu ke desa lain, dari desa ke kota, atau dari kota ke kota dalam sebuah wilayah tertentu.

Karena itu, persoalan migran seharusnya tidak bisa hanya dihadapi dengan kekerasan atau pengusiran, atau bahkan dengan keketatan administratif kependudukan semata. Akar persoalan migran dan migrasi terletak pada ketimpangan ekonomi regional.

Selama terjadi masalah ekonomi dan tidak ada kebijakan skala nasional untuk menjawab persoalan kemiskinan secara holistik, maka sudah dapat dipastikan akan "berbondong-bondong" arus migran tenaga kerja ke daerah sebagai bagian dari komunitas Indonesia. Dengan demikian, masyarakat harus berbaur dengan komunitas yang lainnya agar dalam untuk ikut mengambil peran lebih besar dalam mengatasi ketimbangan pembangunan.

Persoalan migran adalah persolan persoalan ekonomi, budaya, politik dan agama. Oleh karena itu, dalam menangani soal ini, diperlukan peran pemerintah agar tidak berjalan distortif dan akhirnya menimbulkan konflik sosial. Jangan sampai atas nama pembangunan atau menjalin hubungan yang kolaboratif dengan kapitalis besar, maka pemerintah daerah mengabaikan soal-soal sentimen etnisitas.

Beberapa peristiwa yang terjadi merupakan sekian banyak contoh yang menunjukkan betapa sentimen bisa muncul dari domain ekonomi, agama, dan budaya serta politik. Peran pemerintah daerah ini penting untuk mencegah timbulnya konflik sosial yang menggunakan sentimen etnis antara pendatang dan penduduk lokal.

Bangsa Jawa unggul bukan karena kehebatan genetika, tetapi lebih dari ratusan tahun silam ilmuan merekayasa bangunan sosial berdasar tipologi masyarakat di sebuah Dusun Mojokuto menghasilkan karya monumental. Clifford Geerzt Rekayasa masyarakat Jawa terkoloni dalam komunitas Santri, Abangan dan Priyayi. Belajar dari pengalaman di Jawa bahwa Pemerintahan Joko Widodo dan Maruf Amin mesti membangun rekayasa sosial di Indonesia agar memantapkan masyarakat multikultur tetap lestari. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA