Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Paradoks Infrastruktur

Rabu, 05 Desember 2018, 17:32 WIB
Paradoks Infrastruktur
Ronny P Sasmita/Dok
KEYAKINAN kita terhadap konsep infrastruktur harus terus diuji.  Perkembangan data-data pendukung harus dipantau terus-menerus.  

Ada peluang di mana infrastruktur tak berkorelasi positif dengan peningkatan produktifitas nasional. Oleh karena itu, jika fakta tak mendukung, maka keyakinan kita terhadap proyek-proyek infrastruktur dengan arif harus ditinjau ulang.  

Setidaknya selama empat tahun jor-joran membangun infrastruktur, kita harus tetap memantau angka-angka yang bergerak, apakah kapasitas produksi nasional kita ikut terangkat naik atau justru melandai. Apakah kontribusi industri terhadap PDB berubah meningkat? Apakah ekspor kita berkembang secara signifikan atau malah sebaliknya? Apakah investasi berkembang signifikan atau justru biasa-biasa saja? Dan apakah penerimaan pajak sebagai akibat dari berkembangnya investasi dan dunia usaha naik secara alami atau signifikan. Dan apakah pertumbuhan kita terdongkrak naik atau justru biasa saja.

Di sisi lain, ada data yang terlihat bergerak pesimis. Karena kemasifan proyek infrastruktur, impor barang konsumsi rerata naik 27-30 persen, impor barang modal dan bahan baku penolong juga bergerak dalam angka di atas itu. Lantas pertanyaanya, pertumbuhan apa yang naik di atas pertumbuhan alami setelah jor-joran membangun infrastruktur? Nampaknya belum terlihat korelasinya.

Oleh karena itu, ada baiknya kita melihat sisi lain bahwa infrastruktur memang tak melulu bergaris lurus dengan peningkatan kapasitas produksi nasional jika secara strategis kebijakan-kebijakan intermediasinya tak diarahkan ke sana.  

Jalan tol tentu saja tak serta-merta membantu peningkatan produksi komoditas unggulan kita jika urusan produksinya tak diurus. Pelabuhan tak membantu meningkatkan jalur ekspor kita jika produksi produk ekspornya tak naik. Cabai yang ditanam para petani tak serta merta berbuah berlipat enam karena kita membangun jalan desa atau jalan tol.  

Begitu pula dengan bawang, padi, tebu, sawit dan lain-lain. Jalan tol tak menaikan produksi produk tekstil kita sekalipun jalan tol di mana-mana.Tesisnya cukup jelas, jika mode of production dalam negeri tak dibenahi, justru infrastruktur akan jadi "kutukan" bagi produksi dalam negeri.  

Jika jalur distribusi justru meningkatkan daya saing barang impor di dalam negeri, karena biaya distribusi produk impor menjadi semakin terpangkas, lantas mengapa mereka harus memproduksinya di dalam negeri?  

Lihat saja inflasi desa sebagai contoh, misalnya. BPS berkali-kali mengatakan bahwa inflasi desa acapkali tinggi karena terpapar barang-barang konsumsi dari perkotaan. Artinya, infrastruktur sayangnya ikut melempangkan jalan bagi produk-produk impor untuk masuk sampai ke pelosok-pelosok desa.  

Dengan kata lain, jika kapasitas komunitas, kapasitas SDM, kapasitas kelembagaan, di tingkat pelosok tak ikut ter-upgrade, maka pasar bagi produk-produk yang terpangkas biaya distribusinya tadi akan semakin besar daya jalarnya, bahkan sampai ke semua hamparan geografis negara ini. Apalagi inflasi rendah yang dibangga-banggakan pemerintah ikut pula merendahkan "harkat dan martabat" barang-barang negeri negeri sendiri.  

Petani bawang berteriak di saat pemerintah berpesta pora atas inflasi rendah. Di Brebes dan di Alahan Panjang Sumbar, petani bawang melepas hasil keringatnya di bawah harga pasar. Kondisi yang sama akan dialami oleh produk-produk dalam negeri lainnya.
 
Inflasi yang rendah akan melibas produk-produk yang tak mampu bersaing dengan barang-barang impor yang jauh lebih berdaya saing.

Secara kasat mata, tentu tak ada yang salah dengan proyek-proyek infrastruktur selama kapasitas dan tata kelola produksi domestik juga dibangun secara matang agar produksi kita bisa menikmati kemudahan distribusinya, bukan malah barang impor yang menikmatinya. Lantas apa persoalannya? 

Dalam kacamata ekonomi politik, infrastruktur adalah proyek. Ia bisa saja dibangun tanpa terkait dengan kepentingan peningkatan produksi nasional, tapi justru terkait dengan kepentingan 'rente proyek'. Bahkan jika kita buka data, pertama,  proyek-proyek infrastruktur justru menjadi pasar bagi aneka produk keuangan asing. Dan BUMN-BUMN menjadi bantalannya. 

Data S&P menunjukkan rerata utang 20 BUMN sudah 4,5 kali EBITDA-nya. Bahkan ada BUMN Karya dengan utang 6,5 kali EBITDA.

Kedua, proyek infrastruktur menjadi pasar bagi barang modal dan bahan baku penolong impor. Karena itulah kenaikan impor kedua bahan tersebut sangat drastis. Sekitar 90 persen impor kita adalah barang modal dan bahan baku penolong. Persoalan produksi dalam negeri kita belum terurai dengan baik.

Niatan untuk menaikkan produksi berorientasi ekspor atau untuk pasar domestik masih sangat bergantung pada barang dan bahan baku dari impor. 

Jika kondisi dan tata kelola produksi dalam negeri diasumsikan 'konstan' atau 'bergerak alamiah', lalu distribusinya diakselesasi dengan proyek-proyek infrastruktur, maka yang menerima manfaat besar bukanlah pelaku produksi dalam negeri, tapi produsen dan sales-sales barang dan bahan baku impor. Dan kerentanan kapasitas produksi nasional bertambah dua kali lipat jika dalam kondisi tersebut, inflasi ditekan sejadi-jadinya hanya dari sisi supply. 

Persediaan barang-barang kebutuhan pokok dibuat berlimpah, tak peduli dari mana asalnya. Produk dalam negeri yang semula tak disentuh kapasitas dan tata kelolanya, menjadi semakin tak mampu bersaing.

Ketiga,  jika kapasitas dan tata kelola produksi domestik tak dibenahi, maka infrastruktur tersebut justru menambah daya saing produk-produk impor karena margin biaya distribusi domestiknya terpangkas. Inflasi rendah akhirnya jadi alat bantu bagi barang impor yang murah dan melemahkan daya saing produk lokal.

Semakin tergantung negeri ini pada barang konsumsi, barang modal, dan bahan baku penolong dari luar negeri di saat kapasitas dan tata kelola produksi dalam negeri yang carut-marut,  semakin rentan ketahanan ekonomi kita ke depannya.  Sangat wajar kiranya rupiah juga terpapar kerentanan yang sama akibat defisit transaksi berjalan semakin melebar. 

Oleh karena itu, kita harus sama-sama menjaga agar mimpi infrastruktur tidak hanya menjadi proyek-proyek yang sudah dikavling-kavling oleh sales kredit, atau oleh sales impor barang modal dan bahan baku penolong. Dan apalagi jika kemudian hanya dinikmati oleh sales barang-barang konsumsi impor, sampai ke pelosok-pelosok.

Memang pada mulanya proyek infrastruktur  sendiri  menjadi penopang peningkatan investasi, karena sektor lain stagnan. Proyek-proyek infrastruktur dijadikan bantalan investasi penopang PDB nasional yang angkanya kurang progresif.  Infrastruktur menjadi salah satu 'ember' utama penampung kucuran countercylical policy pemerintah. Tapi faktanya belum berjalan sebagaimana harapan. 

Proyek-proyek tersebut justru menjadi salah satu 'ember penampung' utama kucuran utang dan kredit dari luar dan menjadi 'kolam' bagi barang modal dan bahan baku dari luar. Namun pengaruhnya baru sebatas 'proyek' yang secara 'angka' digunakan untuk meningkatkan kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB nasional, tapi secara operasional justru lebih banyak dinikmati oleh pihak lain yang kurang terkait dengan kepentingan nasional. Di sinilah paradok bermula.  [***]


Ronny P Sasmita

Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA