Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penyebab Munculnya Tagar "2019 Ganti Presiden"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 01 Mei 2018, 16:50 WIB
Penyebab Munculnya Tagar "2019 Ganti Presiden"
Derek Manangka
HARI Minggu pagi 29 April 2018, terjadi insiden kecil tapi serius di Bundaran HI, Jakarta Pusat.

Seorang ibu rumah tangga, sebagaimana dilaporkan media-media, mengikuti jalan kaki sehat, dalam rangka Car Free Day (CFD). Dia ditemani dua anaknya laki-laki.

Ibu ini kemudian menjadi sasaran intimidasi oleh sekelompok yang katanya laki-laki semua.

Rupanya kelompok yang mengintimidasinya, diidentifikasi sebagai orang-orang yang menghendaki Presiden Jokowi diganti pada Pilpres 2019.

Itu sebabnya mereka mengenakan kaos yang bertagar "2019 Ganti Presiden".

Sebaliknya ibu yang membawa dua anaknya ini, nampaknya sosok yang menjadi pendukung Joko Widodo. Ia menghendaki agar Jokowi terpilih lagi sebagai Presiden di Pilpres 2019. Dia mengenakan kaos bertagar “Dia Sibuk Bekerja”. Tagar itu bermaksud menjelaskan dan menegaskan, Jokowi Seorang Presiden Yang Sibuk Bekerja.

Bagi siapa yang paham kebebasan berekspresi, dua tagar yang berseberangan ini, merupakan hal wajar.

Tetapi mengapa terjadi ketidakwajaran, karena situasi Indonesia sendiri, dalam banyak segi, terdapat sejumlah hal yang tidak wajar atau tidak patut.

Yang terbaru adalah rekaman percakapan antara Menteri BUMN dan Direktur Utama PLN. Beredar akhir pekan lalu.

Percakapan itu sudah menjadi viral, dan media-media sosial seperti tanpa komando, bereaksi secara terbuka.

Reaksi rata-rata bersuara menyesakkan. Kecewa negara yang memiliki sumber kekayaan yang tak terbatas, ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang.

Selama ini, ada rakyat yang mengeluh. Mengapa bisnis dan kekayaan Indonesia hanya dikuasai oleh "Sembilan Naga"?

Tapi rekaman pembicaraan itu mengindikasikan, di dalam pemerintahan Jokowi, sesungguhnya berkuasa "Naga Berkepala Kobra". Dan naga ini terpisah dari "Sembilan Naga".

Dengan kata lain, kekayaan Indonesia saat ini sudah dikuasai dua kekuatan yang tak mungkin tersentuh. Sembilan Naga dan Naga Berkepala Kobra.

Tetapi Presiden Jokowi sepertinya tidak melihat adanya "naga" dan "naga berkepala kobra". Jokowi tidak merasakan adanya ancaman yang serius. Sehingga wajar jika tidak diperhatikan oleh seorang Presiden.

Padahal kalau Presiden masih peka dalam melihat memviralnya rekaman pembicaraan itu, rekaman itu, cukup mengindikasikan, kasusnya tidak berdiri sendiri. Dan hal ini sesuatu yang tidak wajar.

Ketidakwajaran itu merupakan lanjutan dari berbagai persoalan yang berlangsung tidak wajar.

Sebelum terjadi kehebohan soal rekaman pembicaraan Menneg BUMN dan Dirut PLN, media-media sudah melaporkan secara intensif tentang pergantian mendadak Dirut Pertamina.

Dan pergantian Direksi Pertamina ini, hanya satu dari pergantian yang terjadi di enam perusahaan milik negara dalam kurun waktu 4 bulan (Januari – April 2018).

Pergantian Direksi di 6 BUMN itu sendiri tak pernah dilakukan secara terbuka. Padahal ada di antaranya, merupakan perushaaan Tbk (terbuka). Sahamnya dimiliki oleh publik.

Pergantian-pergantian itu mendapat sorotan, karena satu alasan, ada ketidakwajaran.

Media melihat, pembocoran rekaman pembicaraan Menneg BUMN dan Dirut PLN, merupakan "kesatuan" dari sejumlah hal yang tidak wajar yang berkaitan dengan BUMN.

Tapi Presiden melihatnya secara partial.

Sehingga Presiden sepertinya tak mempedulikan ketidak wajaran ini.

Jokowi "tidak nyambung" lagi dengan rakyat. Ketika ada yang mengeluh tentang terjadinya penurunan daya beli, termasuk membengkaknya utang luar negeri, Presiden atau para Pembantu Presiden memberi jawaban yang tidak meyakinkan atau tidak wajar.

Jawaban-jawaban terlalu akademis dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang paham teori dan mereak yang sudah hidup mapan.

Sementara kebanyakan orang Indonesia, bukanlah bergelar sarjana. Apalagi S-3 dari Harvard, universitas yang banyak diagung-agungkan.

Di sini terjadi semacam apa yang disebut agal paham. Masyarakat tidak paham apa yang dimaksudkan oleh pemerintah.

Presiden dan sejumlah pembantu Presiden, ketika menjawab atau memberi penjelasan, sifatnya cenderung seperti politisi yang memberi ceramah, atau dosen yang memberi kuliah.

Pemerintah tidak sadar semakin sering sebuah jawaban diberikan untuk menjawab satu pertanyaan, jawaban itu akan diterima sebagai sebuah propaganda.

Kepedulian pemerintahan Jokowi terhadap persoalan rakyat, semakin mengendor. Dan untuk kompensasinya, Presiden melakukan blusukan.

Tapi yang disampaikan soal mati dan hidup rakyat kecil, solusinya bagi-bagi hadiah dengan cara melemparnya dari dalam mobil kepresidenan.

Pada satu sisi cara Presiden Jokowi membagi lewat lemparan dari dalam mobil, seperti sebuah tontonan
"entertaintment" dan terobosan. Tapi karena keseringan, tontonan itu membosankan dan menimbulkan kesan Presiden Jokowi sudah menempatkan diri di posisi puncak. Bagaikan seorang raja yang senang melihat rakyat miskin mengeluh-eluhkan hadiahnya.

Tentu saja hal ini tidak wajar.

Seburuk-buruknya para Presiden pendahulu, tapi mereka akhirnya masih lebih dianggap sebagai pemimpin yang memimpin secara wajar. Mereka lebih baik ketimbang Jokowi.

Dan yang cukup membuat orang kritis banyak bertanya, ketika Jokowi membanggakan keberhasilannya membangun infrastruktur di Papua. Bagi yang kritis, pembangunan itu positif. Hanya ada tapinya.

Jokowi lupa, bahwa pembangunan Papua dengan cara seperti itu, tidak pernah terungkap dalam Kampanye Pilpres-nya di tahun 2014. Lantas mengapa pembangunan itu dijadikan alasan dan bukti sebuah keberhasilan ?

Jadi klaim keberhasilannya di Papua, menjadi hal yang tidak wajar. Artinya keputusannya membangun infrastruktur Papua, hanya disasarkan pada keberpihakan pribadi, tanpa alasan kuat.

Kalau ada rakyat menjadi anti-Jokowi dan tidak jarang di antara mereka merupakan pemilih Jokowi-JK di tahun 2014, juga bukan tanpa alasan.

Janji-janji selama kampanye, hampir tak ada yang dilaksanakan atau dipenuhinya. Misalnya soal penciptaan lapangan kerja hingga 6 juta orang. Demikian pula pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen.

Soal tidak mampu memenuhi janji kampanye, sebetulnya wajar. Tapi hal itu menjadi tidak wajar, sebab Jokowi seakan melupakannya atau membiarkan rakyat lupa.

Jokowi lupa, bahwa untuk hal yang seperti itu, rakyat tidak mudah lupa.

Entah sadar atau tidak, Jokowi juga mempratekkan politik "pecah belah bangsa". Ini terlihat dari cara Jokowi mengelus sejumlah politisi untuk menjadi Cawapresnya di tahun 2019.

Sekalipun hanya melalui foto dan rekaman YouTube, jelas tergambar bahwa Jokowi sudah memberi harapan kepada Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa dan Airlangga Hartarto, Ketua Umum DPP Golkar.

Ini berarti Jokowi minta Muhaimin dan Airlangga bersaing. Lain halnya kalau Pilpres 2019 memerlukan dua Wakil Presiden. Nah elusannya terhadap Muhaimin dan Airlangga, baru cocok.

Jokowi juga sepertinya tidak sadar. Caranya mengelus politisi dari PKB dan Golkar itu seakan memperlihatkan sikapnya yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan PDIP.

Padahal Jokowi tahu, PDIP sendiri sangat berharap ada kadernya yang sudah siap diajak jadi Cawapresnya. Apakah Puan Maharani atau kabar selintingan yang menyebut Budi Gunawan, Jenderal Polisi yang kini jadi Kepala BIN.

Dalam kebijakan politik luar negeri, cukup terasa, di era Jokowi lah Indonesia hampir tak ada iniasitif meresponw persoalan dunia secara proporsional dan terukur.

Indonesia hanya menjadi "pengekor" saja yang mudah didikte negara asing. Dunia negara berkembang khususnya, sudah memberi testimoni, bantuan IMF dan Bank Dunia justru melahirkan banyak negara miskin.

Itu sebabnya, banyak negara menyambut kehadiran Asia International Bank, sebuah konsorsium yang memberi bantuan serupa IMF dan Bank Dunia. Bedanya AIB, sangat anti-korupsi dan disponsori China (RRT).

Sebuah bantuan akan dihentikan begitu terungkap ada korupsi atau kongkalikong. Di konsorsium itu, jua ada putera Indonesia sebagai salah satu Direktur. Tapi di era Jokowi, justru Indonesia memperkuat keanggotannya di IMF dan Bank Dunia.

Dunia sedang dan sudah berubah. Tapi perubahan itu hanya dilihat seperti sebuah fatamorgana.  Sehingga kesimpulan sementara saya adalah yang mendorong lahirnya tagar "2019 Ganti Presiden", justru Jokowinya sendiri.

Dan tagar itu pun sebetulnya, tidak perlu dianggap oleh Presiden Jokowi sebagai sebuah "ancaman". Ancaman kehilangan jabatan selalu melekat pada seseorang yang menduduki sebuah jabatan.

Dan tanpa tagar itu pun, cepat atau lambat Jokowi pasti diganti.

Yang menentukan Jokowi diganti atau tidak adalah rakyat. Bukan Jokowi sendiri ataupun kaos bertagar itu sendiri. [***]

Penulis adalah wartawan senior 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA