Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi Sukses di Papua, “Kecolongan” Di Merdeka Timur

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Jumat, 27 April 2018, 09:32 WIB
Jokowi Sukses di Papua, “Kecolongan” Di Merdeka Timur
Rini Soemarno/Net
KEBERHASILAN Presiden Joko Widodo atau Jokowi membangun Papua, sulit dibantah. Jokowi tidak hanya berhasil ‘menyambung’ sejumlah daerah yang terpisah atau terputus oleh hutan lebat, juram yang tajam menganga.

Tetapi wilayah yang selama 70 tahun begitu terisolir satu sama lain, dia berhasil satukan.

Walaupun belum sempurna, tetapi sejumlah ibukota Kabupaten di pulau yang dibagi oleh dua provinsi itu, telah menampilkan wajah yang sumringah.

Jadilah Presiden RI ke-7 ini sebagai satu-satunya Presiden kita yang tidak hanya berwacana dan berkaor-kaor tentang pembangunan Tanah Papua. Dia berbuat hal yang konkrit.

Istilah kerennya, tentang Papua, Jokowi banyak berbuat, dan irit bicara. Sebuah sikap yang patut diapresiasi.

Dalam waktu 4 tahun menjadi Presiden RI, Jokowi, tidak kurang dari 6 kali sudah mengunjungi pulau paling Timur Indonesia itu.

Sekalipun letak dan jarak Papua dengan Jakarta, memerlukan waktu lima jam terbang – tetapi masalah itu tidak menjadi penghalang.

Kalau kunjungan Jokowi ke Papua bisa disebut sebagai sebuah 'blusukan', provinsi itu merupakan wilayah yang paling banyak mendapat 'blusukan'.

Jokowi telah melakukan 'blusukan' terbanyak di Papua.

Hal mana bisa menjadi pembukti, betapa tingginya kepedulian Presiden Jokowi terhadap masyarakat dan pulau terbesar di wilayah paling Timur Indonesia tersebut.

Kalau Jokowi boleh diibaratkan seorang petarung dan Papua yang sebagai wilayah yang lebih banyak dihuni binatang buas, maka Jokowi-lah yang mampu menaklukkan atau menjinakkan binatang-binatang buas Papua tersebut.

Jokowi juga mungkin satu-satunya Presiden RI yang pernah memeluk dan menggendong bayi Papua yang masih kelihatan kotor dan dekil.

Tidak heran, jika sikap rakyat Papua mengalami perubahan yang cukup mendasar.

Mereka merasa diperlakukan sama oleh Presiden RI seperti rakyat Indonesia yang berada di wilayah lain.

Terhadap NKRI, rakyat Papua tidak lagi sebegitu galak jika bersuara soal kesamaan dan persamaan hak serta keadilan.

Sementara rasa hormat dan respek mereka terhadap seorang Presiden RI, mungkin baru kali ini mereka berikan secara tulus.

Hanya Jokowi yang dianggap oleh rakyat Papua sebagai Presiden RI yang memahami dan mendalami perasaan orang Papua.

Suara yang menghendaki agar Tanah Papua menjadi sebuah negara baru, terpisah dari NKRI, pun, agak meredah.

Kekhawatiran NKRI terbelah, pun sedikit berkurang.

Suara rakyat Papua yang respek serta bangga terhadap Presiden Jokowi, termasuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia asal Papua yang tengah belajar di luar negeri, terdengar nyaring.

Di Selandia Baru misalnya, ketika bulan lalu Jokowi mengadakan pertemuan dengan masyarakat Indonesia,
yang tinggal di sana, suara empati itu juga terdengar disampaikan dengan nyaring.

Hal lain lagi yang bisa dianggap sebuah kisah sukses Jokowi  -walaupun belum lima tahun memerintah, Jokowi-lah Presiden yang melahirkan ide agar harga BBM di Papua, harus sama dengan di Jakarta ataupun Pulau Jawa.

Kedengarannya sederhana dan gampang. Padahal melaksanakannya rumit dan sulit.

Dengan serangkaian kebijakan itu, rakyat Papua pun seperti 'terkejut'. Baru di era pemerintahan Jokowi, mereka merasakan pemerintah pusat yang berkedudukan di Jakarta – memanusiakan rakyat Papua.

Rakyat Papua merasa sederajat dengan masyarakat Indonesia lainnya, yang tinggal di luar Papua.

Kesuksesan membangun Papua – dalam waktu relatif singkat, tentu tak bisa dilepaskan dari kebersamaannya dengan instansi terkait. Seperti Kementerian PUPR.

Jokowi sebagai Presiden dan Basuki Hadi Mulyono (BHM) sebagai Menteri PUPR, terkesan begitu bersahabat. Saling membantu, mendukung dan mengisi.

Jokowi tidak memperlakukan Menteri BHM sebagai anak buah.

Jokowi dan BHM ibarat kakak beradik yang bahu membahu dalam membangun Papua. Atau seperti duet penyanyi yang sangat padu suara merdu mereka.

Bukan hanya di Papua, kedua pejabat tinggi pemerintah ini berhasil membangun infrastruktur yang memadai. Di daerah lain juga demikian.

Manakala bicara soal pembangunan infrastruktur, yah, sama kesuksesannya.

Tetapi sayangnya kesuksesan duet Jokowi-BHM sepertinya tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di kementerian atau dengan Menteri lainnya.

Terutama dalam arti penyehatan perusahaan-perusahaan milik negara di bawah Kementerian BUMN.

Jelasnya, dalam soal tim dan kerja sama, Jokowi dan Menteri Rini Soemarno (Rinsoe), seperti duet yang sendiri-sendiri. Duet yang pecah.

Atau duet Jokowi - Rinsoe, hanya dari luar atau kejauhan saja kelihatnyan padu dan harmonis.

Yang sesungguhnya terjadi, Jokowi dan Rinsoe tengah berpacu dalam ketidak-harmonisan.

Yah ketidak-harmonisan hubungan Jokowi-Rinsoe, untuk sementara dilihat dari sisi subyektif.

Boleh jadi penilaian ini keliru.

Tetapi penilaian yang keliru ini, bukan tak ada dasarnya atau alasannya diada-adakan.

Berpijak pada beberapa kejadian belakangan ini, cukup jelas tergambar bahwa Rinsoe seperti ‘sengaja’ membuat kebijakan yang bakal membuat Presiden Jokowi, sebagai pemimpin yang kelihatan “tidak tahu apa-apa”.

Presiden yang tidak punya kemampuan mengontrol anggota kabinetnya.

Dalam mengurus negara, Jokowi seperti bisa dibuat oleh Rinsoe, tidak bisa berkutik. Presiden tak bisa menegur Menterinya

Atau menghadapi Menteri BUMN, Jokowi lebih banyak bersikap seperti tidak peduli atau tidak khawatir apapun yang dilakukan Menteri Rinsoe.

Sebagaimana dilaporkan oleh CNN Indonesia, dalam kurun waktu 4 bulan (Januari - April 2018), Menteri Rinsoe telah mengganti direksi dari enam buah perusahaan di bawah BUMN.

Ibarat rekor, pergantian ini merupakan catatan terbaru.

Dan para direksi tersebut merupakan pimpinan dari sejumlah perusahaan yang strategis.

Fakta CNN ini mengemuka setelah Rinsoe membuat kejutan. Dengan memecat Dirut Pertamina yang baru setahun diangkat.

Dalam empat tahun, Rinsoe telah memaksimalkan kewenangannya -melakukan penggantian direksi Pertamina sebanyak lima 5 kali.

Terlepas benar tidaknya pergantian direksi Pertamina sebanyak dan sesering itu -sebagai akibat dari adanya persaingan politik -sebagaimana sinyalimen Said Didu, yang pasti pergantian itu terlihat dan terkesan sebagai hal yang tidak wajar.

Ketidakwajaran itu semakin mengental, sebab seperti ungkapan mantan Sekretaris Kementerian BUMN tersebut. Pertamina merupakan satu-satunya perusahaan milik pemerintah yang memiliki perputaran uang mencapai Rp 2,5 triliun per hari.

Dengan kata lain, fakta ini sebetulnya menunjukkan betapa penting dan strategisnya Pertamina. Sehingga berbagai kebijakan yang mendasar sifatnya harus didahului dengan pertimbangan obyektif.

Pemerintah tidak boleh semau gue merombak direksi Pertamina.

Perusahaan minyak ini, jangan diperlakukan seperti perusahaan milik pribadi, perorangan atau keluarga.

Selain itu dengan masa kerja Kabinet Jokowi yang kurang dari satu tahun, tidak wajar jika pergantian dadakan dilakukan secara tertutup.

Atau seharusnya Menteri Rinsoe patut berhati-hati dalam menerapkan kebijakan gonta-ganti Direksi BUMN.

Sekalipun Rinsoe seorang Menteri, jangan sampai muncul kesan, kebijakannya itu, tidak didasarkan pada alasan profesional atau memperhitungkan faktor kepatutan.

Tanpa sadar dengan perrgantian itu, Rinsoe sebetulnya sudah 'mempermalukan' sejumlah direksi di hadapan publik.

Lalu adakah kompensasi atas perasaan yang dipermalukan itu?

Sebaliknya Presiden Jokowi juga harus punya kepedulian yang besar terhadap perusahaan yang strategis. Mereka yang dipecat, merupakan orang-orang pilihan.

Sebelum dilantik mereka diminta membuat sumpah jabatan. Makna dan esensi sumpah mereka, sama dengan sumpah Menteri dan Presiden.

Benarkah mereka telah melanggar sumpah jabatan sehingga wajar untuk dipecat?

Jadi dengan tidak adanya reaksi Presiden Jokowi, atas pemecatan-pemecatan sejumlah direksi BUMN, tidak berlebihan bila dikatakan, kekhawatiran terhadap cara Jokowi mengelolah aset negara dan aset bangsa, sangat beralasan.

Lalu kalau ada yang meragukan Jokowi mampu mengolah Indonesia menjadi negara yang lebih baik, hal itu harus dipahami sebagai sesuatu wajar.

Sebagai orang terakhir yang diserahi nasib Indonesia dan seluruh isinya, Presiden Jokowi tidak boleh terbuai dengan sukses di Papua.

Apalagi sanjungan-sanjungan kesuksesan yang asalnya dari internal.

Tidak ada artinya Jokowi sukses membangun Papua. Tetapi gagal membangun bidang lainnya, termasuk BUMN.

Apalagi BUMN merupakan salah satu pilar penting penopang eksistensi NKRI.

Jangan sampai ada yang bilang, Jokowi sukses di Papua, tetapi Jokowi kecolongan di Merdeka Timur, Jakarta Pusat.

Merdeka Timur merupakan alamat atau tempat bermukimnya Kantor Pusat Pertamina. [***]


Penulis merupakan Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA