Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi 'Tersandera' Hasil Survei?

Ketika Elpol Lebih Percaya Survei Ketimbang “Kitab Suci”

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Rabu, 25 April 2018, 12:35 WIB
Jokowi 'Tersandera' Hasil Survei?
Foto: Net
TAHUN-tahun terakhir ini, peranan lembaga survei (politik) dirasakan semakin penting dan dominan. Terutama kalau berbicara tentang tingkat elektabilitas dan ketokohan seorang pemimpin.

Lebih spesifik lagi untuk kepentingan atau siapa dan bagaimana bisa menjadi Presiden RI di Pilpres 2019.

Dan kelihatannya, yang paling mempercayai hasil dari sebuah survei, adalah komunitas elit politik. Tak peduli survei itu dihasilkan oleh sebuah lembaga “abal-abal” ataupun yang berkompeten. Sehingga akibatnya prilaku para elit politik (elpol) pun, terkadang aneh atau kontradiktif.

Begitu percayanya mereka terhadap survei sehingga langkah-langkah politik mereka pun ikut atau sangat bergantung pada “apa kata survei”.

Kepercayaan elpol terhadap survei dan para “jurusurvei” merupakan sebuah fenomena.

Sebab hasil survei bisa lebih punya magnitude ketimbang isi Kitab Suci. Jadi fenomena ini merupakan sebuah perubahan sikap yang cukup mendasar.

Elpol yang merupakan kelompok berpengaruh -yang rata-rata agamis, beragama atau mengaku Pancasilais, lebih percaya pada apa kata survei ketimbang apa kata kitab Suci. Kitab suci tidak mengandalkan kekuatan manusia.

Perubahan prilaku seperti ini, tentu saja menarik. Sebab selain situasi itu memicu munculnya lembaga-lembaga survei baru, seperti jamur di musim hujan, secara sosio-psikologis para “jurusurvei” mulai ditempatkan pada posisi penting di masyarakat.

Mereka makin sering diundang menjadi pembahas dalam berbagai seminar dan tentu saja tak ketinggalan talk show di televisi. Apa yang mereka katakan, lalu menjadi semacam panduan yang harus dituruti. Mereka menjadi pembentuk opini.

Mereka bagaikan selebriti politik. Atau figur yang ikut menentukan arah politik dan demokrasi Indonesia.

Saking menguatnya kepercayaan elpol terhadap lembaga survei dan para “jurusurvei”, tak jarang sejumlah pimpinan lembaga survei, direkrut untuk menjadi tim sukses. Tujuannya untuk memberi panduan, bagaimana mencapai keberhasilan dalam Pilpres.

Mereka pun menjadi semacam “Tuhan” yang bisa memastikan akan hasil yang bakal dicapai dalam Pilpres 2019.

Uniknya, kalau Tuhan -apapun yang kita minta, selalu diberikan secara gratis, tapi kalau “Tuhan” yang satu ini, justru ada wani piro-nya.

Bayarannya pun bervariasi. Yang pasti lumayan besar tentunya.

Seorang pemilik sebuah lembaga survei misalnya, bercerita kepada saya.

Tentang fee yang harus dibayarkan oleh user, yang ingin menjadi anggota DPR-RI.

Sekali survei, biaya atau bayarannya tidak kurang dari Rp 250 juta. Dalam setahun, setidaknya dibutuhkan 4 sampai 5 kali survei.

Bagaimana untuk seorang calon Presiden? "Wah kalau itu, kita harus duduk dan diskusi dulu," jawabnya sembari tertawa. Percakapan atau cerita kami hanya melalui sambungan telepon. Tetapi yang pasti jumlahnya berlipat-lipat dari angka Rp 250 juta di atas.

Saya tidak dalam posisi menafikan peran para juru survei dan hasil survei. Atau mau mendegradasi peranan sebuah data hasil survei. Apalagi hendak mendiskreditkan para pemilik lembaga survei.

Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya “tangkap” dari kehidupan berpolitik bangsa kita saat ini.

Dan rasa-rasanya, jika prosedur untuk mendapatkan hasil survei, melalui proses seperti cerita di atas, saya kira kita patut bertanya: sejauh mana hasil sebuah survei, bisa dipercaya?

Atau bukankah hasil sebuah survei bisa dipesan atau direkayasa?

Saya juga bertanya-tanya, dimana lagi unsur obyektivitas sebuah perusahaan, lembaga survei, bila “juru survei”sudah menjadi anggota tim sukses dari seorang kandidat?

Kalau sudah begitu, saya khawatir, apapun hasil survei yang dihasilkan, pasti bias. Dan bias ini bertentangan dengan marwah dan hakikat dari tujuan mencari tahu apa yang dikehendaki masyarakat melalui survei yang independen.

Jadi fenomena atau perubahan atas peran survei dan para “jurusurvei” sejatinya sudah menyimpang dan salah kaprah.

Pekan ini misalnya saya dikejutkan oleh hasil survei yang menyebutkan tingkat elektabilitas Joko Widodo sangat tinggi.

Jokowi sebagai petahana, disebutkan meninggalkan jauh di atas Prabowo Subianto apalagi Gatot Nurmantyo.

Saya yakin Jokowi sangat tersanjung atas pengumuman ini.

Sebaliknya Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo bahkan SBY yang mengaku masih diminta oleh banyak orang untuk jadi Presiden, tersentak dengan pengumuman ini.

Hasil survei ini diumumkan hari Minggu 22 April 2018 dan katanya berasal dari sebuah perusahaan media yang cukup terpandang.

Mengapa saya terkejut? Sebab menjelang berakhirnya tahun 2017, media yang sama diberitakan melakukan sebuah diskusi. Peserta dikusi terdiri dari para pakar dalam bidangnya masing-masing.

Menurut hasil diskusi -yang modelnya beda tipis dengan sebuah survei, bahwa jika Pilpres digelar saat itu, sekitar 6 bulan lalu, maka lebih dari 50% rakyat pemilih, tidak menghendaki lagi Jokowi Widodo dipilih sebagai Presiden.

Artinya perubahan sikap masyarakat terhadap Jokowi dalam enam bulan, bisa berubah drastis.

Tidak ingin berspekulasi, tapi mudah-mudah perubahan drastis ini, tidak ada unsur ex-nya.

Untuk mengatakan, tidak bias, saya memilih kata ungkapan yang lebih dipertegas: ini salah kaprah dan keterlaluluan.

Jadi saya hanya bisa nembatin.Luar biasa yah, cara para “jurusurvei”, termasuk medianya. Bahwa kalau sudah berbicara tentang Pilpres 2019, apapun bisa dilakukan. Termasuk sikap “suka-suka gue”. Soal benar atau salah, urusannya belakangan.

Sebagai orang yang memilih Jokowi di Pilpres 2014, kalau hasil survei yang diumumkan minggu kemarin yang dijadikan ukuran, tentu saja saya senang.

Tetapi ukurannya, bukan di sana. Ketika 2014 saya memilihnya, pertimbangannya sederhana. Jokowi saat itu ‘disukai’ Amerika. Prabowo lawannya, sebaliknya tidak ‘disenangi’.

Dengan asumsi berdasarkan cerita dan pengalaman almarhum Taufiq Kiemas, bahwa Pilpres di Indonesia ditentukan atau dipengaruhi oleh Amrik, maka saya pilih Jokowi.

Jadi persoalan dan isunya berbeda.

Yang paling mendasar, Pilpres 2019 harus bisa menghasilkan Presiden yang benar-benar dikehendaki rakyat. Syukur-syukur tidiak dipengaruhi oleh pihak asing.

Jadi kalau rakyat memang tidak lagi menghendakinya -dan itu sesuai survei, yah, katakanlah sejujurnya.

Survei-survei tentang kepresidenan, hendaknya jangan lagi dibuat atas dasar pesanan, alat bargaining atau menciptakan proyek pencitraan.

Masih tentang hasil survei. Kita juga perlu belajar pada Pilpres Amerika Oktober 2016.

Sekitar 95 persen dari semua lembaga survei di negara itu, memprediksi bahwa Hillary Clinton dari Partai Demokrat akan mengalahkan Donald Trump dari Partai Republik.

Hasilnya, meleset banget.

Siapa yang menduga, lembaga-lembaga survei di Amerika yang sudah demikian lama beroperasi, dan prediksi mereka tak pernah meleset, akhirnya kepeleset juga .Akhirnya yang terjadi, penerimaan rakyat Amerika terhadap Donald Trump, Presiden terpilih, mendua.

Sikap menduanya Amerika ini, akhirnya tidak hanya merugikan rakyat dan bangsa Amerika sendiri. Melainkan termasuk negara lain yang punya urusan dan ketergantungan kepada negara adidaya tersebut,.

Di satu sisi dalam rangka menghormati UU dan demokrasi rakyat Amerika harus menerima Donald Trump sebagai Presiden.

Akan tetapi bagi mereka yang sudah termakan oleh hasil survei, hati nurani bahwa Hillary Clinton lah yang seharusnya menang, mereka bersikap lain.

Donald Trump, sendiri pun menjadi Presiden yang gamang. Kritik yang berkembang, di era Donald Trump-lah Amerika menjadi negara yang kehilangan indentitas mereka.

Padahal semboyan Trump adalah mau membuat Amerika Berjaya kembali. To Make America Great Again.

Kegamangan Trump tercermin dalam banyak hal. Dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan dilantik sebagai Presiden, dia harus memecat orang kepercayaannya.

Lalu berturut-turut mengganti personalia penting di kabinetnya. Seperti Menteri Luar Negeri dan Kepala CIA atau Bakin-nya Indonesia.

Dari pelajaran ini, kita juga perlu menuntut agar lembaga-lembaga survei di Indonesia hendaknya tetap berperan sesuai kredonya.

Terima pesanan, boleh. Tapi buatlah pesanan itu berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Bila kredo ini bisa diwujudkan, saya percaya, Jokowi atau capres-capres lainnya, tidak “tersandera” oleh apa kata survei. [***]


Penulis merupakan Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA