Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Oh Pertamina, Mengapa Truz “Bergejolak” ?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 23 April 2018, 10:50 WIB
Oh Pertamina, Mengapa Truz “Bergejolak” ?
Foto: Net
KETIKA Elia Massa Manik dilantik sebagai Dirut Pertamina 16 Maret 2017, saya tidak tertarik mencermatinya.

Selain tidak kenal dengan Dirut yang baru ini, juga sebagai pemerhati, sudah lama saya mengabaikan apapun yang terjadi di perusahaan milik negara tersebut. Peran Pertamina, tidak lagi dominan dalam perekonomian Indonesia, seperti di era Orde Baru.

Pertamina, tidak lagi menjadi pengekspor minyak mentah, sehingga Indonesia tidak lagi berhak menjadi anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak – OPEC. Singkatnya, persoalan dan tanggung jawab Pertamina semakin mengecil. Ironisnya justru persoalan yang terjadi di Pertamina lebih 'besar'.

Persoalan demi persoalan membungka di perusahaan milik negara tersebut. Pertamina sudah menjadi perusahaaan importir minyak. Sebuah keadaan yang sangat timpang dibanding dengan era Orde Baru.

Jadi perhatian saya sangat berbeda, dibanding situasi lebih dari 30 tahun lalu. Saat itu, sebagai reporter harian “Sinar Harapan” dan menjadi peliput tetap Konperensi OPEC, saya diwajibkan oleh perusahaan media tempat saya bekerja, mengikuti perkembangan minyak dan Pertamina.

Perhatian pimpinan media saya, terutama Sabam Siagian yang terakhir menjadi Dubes RI untuk Australia, sangat besar dan intens. Hal itulah yang membawa saya hampir selalu hadir di Konperensi OPEC baik di Wina, Austria, Markas Besar OPEC atau di Jenewa, Swiss. Dan yang menjadi salah satu kebanggaan, kehadiran di setiap konperensi OPEC itu, atas biaya “Sinar Harapan”. Bukan karena sponsor atau dibiayai oleh pemerintah.

Di konperensi tersebut saya pasti bertemu dengan Menteri Pertambangan Prof.Dr.Subroto selaku Ketua Delegasi dan Dirut Pertamina Mayjen A.R Ramly. Ekspor minyak mentah Indonesia saat itu, berada dalam kisaran 1,2 juta barel perhari. Dan harga per barel di bawah 20 dolar AS.

Walapun ekspor Indonesia hanya seperlima dari total ekspor Arab Saudi, yang berjumlah 6 juta barel, tetapi saya mencatat respektasi negara-negara anggota OPEC terhadap Indonesia cukup besar.

Entah apa penyebabnya. Apakah karena Menteri Pertambangan RI, seorang teknokrat atau karena Dirut Pertaminanya seorang militer yang dikenal berasal dari dunia intelejen atau alasan lain. Yang pasti kalau ada jedah, delegasi Indonesia sering diajak kongkow-kongkow oleh delegasi dari negara lain.

Bahkan pada satu waktu, Menteri Perminyakan Arab Saudi Sheik Yamani, secara khusus terbang ke Jakarta hanya untuk berkonsultasi dengan Menteri Subroto.

Saat itu, OPEC berada di posisi dilematis. Menaikan harga minyak ekspor atau tetap pada pagu yang sudah disepakati oleh negara-negara anggota. Sejumlah negara anggota kecil seperti Ekuador, sangat berharap akan kenaikan. Sebab negara itu membutuhkan dana tambahan untuk pembangunan. Tapi kalau dinaikan, kenaikan itu akan memicu resesi dunia.

Kedatangan Yamani untuk berkonsultasi dengan Subroto merupakan hal yang luar biasa. Sebab di mata dunia, terutama negara-negara industri dari Kelompok Tujuh : Kanada, Amerika, Jepang, Itali, Prancis, Jerman dan Inggeris, Yamani dianggap mereka sebagai sosok yang menentukan arah perkembangan ekonomi dunia.

Setiap kenaikan satu sen apalagi satu dolar atas harga minyak mentah OPEC, ketujuh negara ini pasti terkena dampaknya. Produk ekspor mereka akan terpengaruh, demikian pula partumbuhan ekonominya.

Tidak heran kalau Yamani ditempatkan sebagai salah seorang yang paling berpengaruh di dunia, saat itu. Dan tentu saja orang yang super VVIP. Begitu berpengaruh dan pentingnya seorang Sheik Yamani, sampai-sampai kemanapun dia pergi, di kiri kanannya berdiri dua pria bersenjata yang terus bersiaga.

Kedua petugas keamanan itu, konon disewa khusus oleh pemerintah Arab Saudi dari agen rahasia sebuah negara.

Di waktu jedah Konperensi OPEC, selalu ada waktu untuk menggali informasi sebagai latar belakang dari Menteri Subroto. Hal mana membuat ‘pengetahuan’ saya tentang minyak plus Pertamina dari zero, berangsur menjadi lumayan. Pengetahuan tentang minyak dan Pertamina, dari minim berangsur membaik, juga karena saya cukup beruntung.

Mensesneg Moerdiono membantu melengkapi pengetahuan saya. Penulis pidato Presiden Soeharto ini, secara khusus mem-brief saya agar dalam meliput OPEC dan persoalan Pertamina, jangan sampai laporan “Sinar Harapan” tidak sesuai dengan fakta.

“Lebih dari 60 persen dana APBN kita tergantung pada ekspor minyak. Jadi kalau ‘Sinar Harapan’ sebagai media yang memiliki pembaca luas, lalu menulis salah dan yang membacanya salah tafsir, saya yang repot,” berkata Moerdiono.

Sebagai penulis Pidato Presiden termasuk Pengantar Nota Keuangan APBN, Moerdiono berkewajiban memberikan informasi yang memadai tentang ekonomi Indonesia.

Isi naskahnya yang dibacakan Presiden Soeharto harus bisa memberikan kesejukan. Bukan kepanikan apalagi gejolak. Kontribusi Pertamina sebagai perusahaan yang bertugas mengekspor minyak mentah, harus dipahami masyarakat. Kalau ada pergantian Direksi Pertamina, pergantian itu, tidak menimbulkan spekulasi. Jadi kesakralan Pertamina harus dijaga.

Kantor Moerdiono terletak di pojok Jl.Veteran, Jakarta Pusat agak jauh dari “Bina Graha”, kantor Presiden Soeharto. Pertemuan kami biasanya dilakukan setelah Presiden Soeharto tidak lagi berada di Kompleks Istana.

Latar belakang ini, saya angkat bukan untuk mendikotomikan Pertamina di zaman Orde Baru dan Pertamaina di zaman Reformasi. Apalagi untuk memperlihatkan kehebatan atau kesombongan. Bukan pula untuk menegaskan manajemen Orde Baru tentang Pertamina jauh lebih baik.

Tetapi untuk mengingatkan, mengurus Pertamina, harus seperti megurus sebuah perusahaan strategis.  Juga jauhkan mengurus perusahaan negara dari bau-bau dan aroma politik.
Saya tertarik menyoroti Pertamina. karena pada 19 April 2018, Manik, sang Dirut, tiba-tiba dipecat. Pemecatannya dikomentari oleh Marwan Adam, pengamat perminyakan sebagai bukti arogansi pemerintah.

Perhatian saya berubah.

Tertarik untuk mempertanyakan, mengapa peran Pertamina yang sudah demikian “mengecil”, tetapi di tubuh perusahaan milik negara tersebut, muncul persoalan-persoalan kecil yang menimbulkan “gejolak”.

"Gejolak" terjadi seperti tak henti-hentinya? Hampir tidak ada kabar yang menyejukkan yang berhembus dari Pertamina. Dan pergantian Direksi seolah menjadi persoalan yang tak pernah habis-habisnya.

Untuk formasi Direksi saja, sejak Pertamina ditangani oleh Kementerian BUMN di era Presiden Joko Widodo per Oktober 2014, pergantian sudah lima kali terjadi.

Bagi Kementerian BUMN, penggantian ini mungkin wajar. Tapi bagi orang luar, tidak wajar. Apa iyah, dalam waktu kurang dari 4 tahun, terjadi lima kali pergantian Direksi?

Saking seringnya terjadi pergantian, ada Direksi atau Direktur Utama yang menjabat tidak sampai satu tahun. Pergantian itu memang dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham, baru kemudian disahkan oleh Menneg BUMN.

Pertanyaan lanjutan, siapa saja sih yang menjadi pemegang saham Pertamina? Apakah mereka memang kapabel dan akuntabel sebagai pemegang saham? Jangan-jangan yang perlu diganti, bukan Direksi Pertamina. Tetapi para oknum pemegang sahamnya.

Sorotan terhadap pemegang saham perlu. Mereka memang mengatas namakan pemerintah. Tetapi yang perlu dipertanyakan, betulkah kepentingan yang mereka perjuangkan sesuai kebijakan pemerintah?

Jangan-jangan pergantian direksi, terjadi karena soal "titip-menitip". Kalau mereka benar-benar kapabel dan akuntabel, seharusnya pergantian Direksi Pertamina, tak harus sesingkat dan bersifat dadakan seperti selama ini.

Atau jangan-jangan Menneg BUMN, sebagai pemberi “kata akhir” atas siapa yang pantas menjadi anggota Direksi Pertamina, tidak kapabel dan akuntabel - yang justru perlu dipersoalkan.

Sekalipun saya bukan ahlinya, tetapi keluguhan saya membangkitkan pertanyaan tentang peran Menneg BUMN.

Apakah karena DPR sudah lama “tidak akuran” dengan Menneg BUMN, lalu situasi ini justru menjadi penyebab - DPR tidak bisa melakukan pengawasan atas apa yang terjadi di lingkup kerja sang Menteri tersebut ?

Sehingga apapun yang terjadi di tubuh Pertamina tersebut, DPR tidak bisa melakukan komentar apalagi kontrol.

Melihat Pertamina "move on" atau tidak, mudah mengukurnya. Bandingkan Pertamina dengan Petronas, perusahaan sejenis milik Malaysia. Ketika Pertamina sudah besar, Petronas masih seperti bayi. Kini Petronas sudah tumbuh menjadi sebuah "Corporation", Pertamina justru seperti perusahaan "Koperasi" ala UKM.

Laporan-laporan media yang menyebut Pertamina mengalami kerugian, ada dana ratusan milyar yang hilang di era Karen Agustiawan, mengingatkan begitu memprihatinkan nasib Pertamina.

Perusahaan ini tak ubahnya dengan nasib koperasi di Indonesia yang disebut mati segan tapi mati tak mau.

Malaysia yang tidak pernah menjadi eksportir minyak dan anggota OPEC, begitu mendunia. Pencakar langit Petronas di Kualalumpur, sempat menjadi salah satu gedung tertinggi di dunia. Lalu menjadi salah satu ikon negara tersebut.

Sebuah produser dengan bintangnya Sean Connary dan Catherine Zeta-Jones, menjadikan Petronas Tower untuk lokasi shooting, dari kedua bintang tenar itu.

Hal mana menunjukkan kemampuan Petronas berpromosi, sangat piawai. Menjadikan Malaysia sebagai negara yang bercitra lebih baik. Petronas juga mampu menjadi sponsor dalam lomba mobil tercepat di dunia, Formula One.

Sementara untuk mensponsori seorang Rio Haryanto, pembalap pertama Indonesia yang masuk Formula One, Pertamina harus “tertatah tatih”.

Bahkan Rio akhirnya dikeluarkan dari daftar 22 pembalap Formula One, gara-gara Pertamina yang mensponsorinya, tidak sanggup melunasi “hutang” Rio yang berjumlah hampir Rp 150 milyar.

Kalau sudah begini, yang salah bukan Pertaminanya. Tetapi siapa yang ditugasi mengurusi perusahaan minyak tersebut. [***]

Penulis adalah wartawan senior 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA