Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

SERIAL COLLAPSE-5

Memahami Simptom Krisis yang Meruntuhkan Peradaban Bangsa

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/haris-rusly-moti-5'>HARIS RUSLY MOTI</a>
OLEH: HARIS RUSLY MOTI
  • Senin, 16 April 2018, 07:18 WIB
Memahami Simptom Krisis yang Meruntuhkan Peradaban Bangsa
SEBAGIAN diantara kita tentunya telah menyadari tentang simptom atau gejala tidak normal yang tampak di dalam seluruh aspek kehidupan bangsa kita saat ini.

Simptom atau gejala tidak normal itu makin hari terasa dan terlihat makin mendalam yang menyerang nadi dan jantung kehidupan sebuah bangsa.

Simptom Keruntuhan


Jika di era Orde Baru kita dikenalkan dengan doktrin pemerataan pembangunan yang dikenal dengan “delapan jalur pemerataan”, diantaranya pemerataan kebutuhan pokok, pemerataan pendapatan, pemerataan pendidikan, pemerataan kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, dll.

Berbeda dengan yang sedang terjadi saat ini, ketika gejala yang tampak justru menggambarkan terjadinya pemerataan krisis, pemerataan situasi tidak normal, pemerataan mental inlander, pemerataan kerusakan moral, pemerataan budaya maling dan menipu, dan lain sebagainya.

Bahkan gejala krisis atau situasi tidak normal tersebut juga berlangsung secara serempak pada seluruh sisi dan aspek kehidupan masyarakat dan bangsa, baik secara sektoral maupun teritorial, baik pusat maupun daerah, desa maupun kota, hingga elite politik maupun rakyat jelata.

Gejala keruntuhan ekonomi, kekacauan politik, konflik dan saling sandera antara elite politik, berlangsung secara bersamaan dengan munculnya gejala keruntuhan aspek kehidupan yang lainnya.

Seiring dengan itu muncul juga gejala kerusakan lingkungan hidup yang sangat ekstrim, yang ditandai oleh banjir dan longsor di saat datang musim hujan. Demikian juga gejala kekeringan dan pembakaran lahan ketika datang musim panas.

Bersamaan dengan itu juga muncul gejala kelalaian negara, yang dintandai oleh penipuan yang menggunakan cover travel umroh, hingga beredarnya minuman keras oplosan yang memakan korban.

Di saat yang sama juga berlangsung ketimpangan dan kecemburuan sosial yang makin meruncing, hingga aspek pertahanan dan keamanan negara yang menunjukan gejala kebobolan, diantaranya ancaman nyata dibalik revolusi digital, yang merobohkan, baik batas maupun konstitusi negara.

Meratanya simptom krisis dalam seluruh aspek kehidupan dapat digambarkan persis seperti roti yang terpanggang secara merata dari seluruh sisi dan bagiannya. Baik dari bagian dalam maupun bagian luar, baik dari sisi atas maupun dari sisi bawah.

Simptom keruntuhan peradaban bangsa juga dapat digambarkan persis seperti bangunan tua yang seluruh sisinya runtuh secara serempak, pondasinya ambles, dindingnya retak, atapnya pecah dan bocor, hingga perabotannya yang digerogoti oleh rayap.

Sejak Orde Baru berkuasa (1970-an) hingga era reformasi, baru kali ini keadaan bangsa dan negara kita menampakan gejala krisis atau situasi tidak normal yang sedemikian kompleks, mendalam, menyeluruh dan merata.

Jika kita bandingkan dengan situasi di unjung Orde Baru (1996-1998), dimana krisis dan ketidaknormalan itu hanya terjadi pada aspek ekonomi dan politik semata. Simptom krisis atau gejala tidak normal yang tampak dari situasi di era itu diantaranya adalah kenaikan harga, kerusuhan sosial dan represi politik.

Masalah Di Balik Simptom

Simptom menurut pengertiannya adalah gejala negatif atau kondisi tidak normal yang tampak terjadi di dalam diri seseorang, kelompok, organisasi, bangsa, atau entitas lainnya yang memerlukan penanganan serius.

Simptom itu sendiri adalah sebuah pertanda tentang keadaan sedang dalam kondisi yang tidak baik. Namun simptom itu bukan merupakan masalah itu sendiri.

Misalnya, kerusuhan sosial, dapat dikatakan sebagai simptom atau gejala tentang keadaan tidak normal di dalam sebuah masyarakat. Namun, kerusuhan sosial itu bukan sebuah masalah, hanya gejala tidak normal.

Masalah dibalik simptom kerusuhan sosial itu bisa macam macam. Bisa disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi, bisa juga disebabkan oleh masalah ketidakadilan hukum dan diskriminasi politik.

Demikian juga dengan gejala reaksi politik yang sangat keras terhadap setiap indikasi penistaan agama. Reaksi sosial yang keras itu sendiri bukanlah sebuah masalah, tapi hanya sebuah simptom atau gejala tidak normal yang tampak di dalam sebuah masyarakat.

Dalam kehidupan politik dan pemerintahan, kita kadang terjebak menganggap sebuah gejala atau simptom sebagai masalah. Kita lalu merasa puas dengan reaksi terhadap setiap gejala yang datang silih berganti tersebut. Bahkan menjadikan reaksi terhadap gejala tersebut sebagai projek yang mendatangkan keuntungan.

Kita menutup mata untuk mengungkap dan menyelesaikan masalah dibalik simptom tersebut. Akibatnya terjadi akumulasi masalah yang membentuk mutasi masalah baru dengan simptom yang berbeda.

Karena itu, agar tepat dalam menentukan solusi maupun tindakan pencegahannya, diperlukan investigasi, penyelidikan, riset dan pengkajian yang mendalam untuk mengungkap masalah dibalik simptom yang tampak tersebut.

Sebagaimana seorang dokter, sebelum menentukan bentuk tindakan terhadap pasiennya, terlebih dahulu melakukan pemeriksaan untuk mengetahui penyakit dibalik simptom yang tampak, seperti susah bernafas, batuk-batuk, selera makan menurun, tidur kurang nyenyak, dll.

Seorang dokter bahkan dapat melakukan pemeriksaan ringan, seperti memeriksa denyut jantung, suhu tubuh, hingga jika diperlukan, direkomendasikan pemeriksaan darah, radiologi, atau aspek lainnya melalui berbagai alat, misalnya CT Scan, MRI, dll.

Jangan sampai kita terjebak atau dijebak dalam aksi dan reaksi terhadap sebuah gejala semata. Akibatnya kita gagal mencegah akumulasi dan mutasi masalah kekacauan sistem negara, krisis kepemimpinan nasional, serta dekadensi moral yang menjadi sebab runtuhnya peradaban bangsa. [***]


Penulis adalah aktivis Petisi 28 dan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA