Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dendam Politik Seorang "Preman" Terhadap Sejumlah Jenderal

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 03 April 2018, 11:15 WIB
Dendam Politik Seorang "Preman" Terhadap Sejumlah Jenderal
BM dan Jeane Sompie wanita peserta diskusi
"LOE musti kenal orang ini. Dia seorang yang tahu banyak tentang berbagai kejadian misteri negara kita", ujar Marcy Donny, salah seorang mantan wartawan harian “Prioritas”, dalam satu pertemuan kolegial pekan lalu.

Donny dan Bathi Mulyono, sosok yang diperkenalkan Marcy Donny, bersama sejumlah sahabat mengadakan diskusi terbatas tentang situasi Indonesia saat ini di Bamsoet Center.

Donny sendiri merupakan salah seorang personel kepercayaan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo yang menjadi tim inti saat ini di Bamsoet Center.

Sementara harian “Prioritas” merupakan harian yang didirikan Surya Paloh pada Mei 1986, dimana Bambang Soesatyo atau Bamsoet dan Marcy Donny mengawali karir jurnalistik mereka di media itu - lebih dari 30 tahun lalu.

Harian ini sudah sejak Juni 1987 tidak terbit. Karena izin terbitnya dicabut oleh Menteri Penerangan Harmoko, memanfaatkan situasi “mood jelek” rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto yang saat itu memerintah Indonesia secara totaliter dan militeristik.

Sekalipun hanya berusia pendek, tetapi kehadiran “Prioritas” sebagai media alternatif di era represif, telah meninggalkan legacy dalam sejarah kehidupan pers nasional.

Karena di tengah suasana kebebasan pers yang sangat terkekang, “Prioritas” mampu menghadirkan peliputan-peliputan yang mendorong munculnya keberanian para orang demokrat, untuk berbicara.

Promosi Donny tentang Bathi Mulyono lelaki berusia 70 tahun ini, tidak langsung tertanam dalam sikap saya untuk mengagumi seseorang. Terutama karena penampilannya, sepintas tak mengesankan dia, seseorang yang punya banyak “pengetahuan” dan “pengalaman”.

Ditambah lagi, wajah kelelahannya, sangat tergambar, setelah menyetir sendiri perjalanan Semarang - Jakarta.

Namun setelah kami terlibat dalam pembicaraan atau lebih tepat disebut sebagai sebuah diskusi panjang, kekaguman ataupun respektasi saya terhadap Bathi Mulyono mulai bergerak kemudian memekar.

Kami saling berbagi cerita politik. Tak jarang perspektif saya tentang sebuah kejadian politik lebih dari 30 tahu lalu, dikoreksinya. Dan hal ini menandakan, dia salah seorang pelaku sejarah atau paham tentang keadaan masa silam.

Kami akhirnya sepakat bertemu dua kali. Dan keesokan harinya, Bathi yang lebih suka disapa sebagai “BM” membekali saya dengan sejumlah informasi berupa klipingan berbentuk foto copy.

Isinya berupa liputan berbagai media nasional seperti “Kompas” dan “Tempo” sekitar peristiwa politik yang terjadi di Indonesia di masa jayanya Orde Baru. Tentu saja peristiwa di mana BM ikut terlibat langsung atau secara tak langsung.

Saya cukup terkejut melihat foto dan pernyataannya, sudah dikutip oleh media mainstream lebih dari 30 tahun lalu.
Artinya, ketokohannya seperti digambarkan sahabat Marcy Donny, bukan sebuah pepesan kosong.

Selain itu ada sebuah “Newsletter” terbitan sebuah LSM Internasional. Laporan itu misalnya bertuliskan “Van Zorge Report on Indonesia”.

Laporannya cukup menarik perhatian. Sebab komentar dan analisa tentang Politik dan Ekonomi Indonesia, secara singkat dan padat dibahas oleh laporan tersebut.

Dan sekalipun BM bukanlah seorang ekonom ataupun politisi, tetapi pembahasan tentang keadaan negara kita dari perspektif ekonomi dan politik, antara lain menyebut Bathi Mulyono sebagai salah seorang narasumbernya.

Hal lain yang menarik, penggalan cerita kehidupannya. Yaitu episode tentang bagaimana dia bisa menyelamatkan diri dari usaha pembunuhan. Rencana itu dirancang secara rapih oleh pembunuh profesional. Namun berkat jaringan dan kepekaannya sebagai seorang algojo, BM bisa memperoleh bocoran atas rencana pembunuhannya itu.

Sebagai catatan, BM dipenjara selama 3 tahun, di akhir 1960-an, karena pembunuhan. Lalu di dalam penjara BM membunuh “sipir” penjara, yang berakibat hukumannya ditambah.

Akan tetapi modalnya sebagai pembunuh “berdarah dingin” telah membuat beberapa jenderal senior di era Orde Baru, tertarik merekrutnya.

Gara-gara adanya rencana pembunuhan itu, BM harus melarikan diri ke hutan dan gunung. Ia terdampar di Gunung Lawu, kemudian bertapa di sana selama 10 tahun.

Selama pertapaan itu, dia berkali-kali berganti nama dan indentitas. Sementara ketika ia melarikan diri ke Gunung Lawu, isterinya baru melahirkan seorang bayi wanita.

Selama pelarian itu, isterinya tak tahu atas keberadaannya. Isterinya tak tahu kalau BM masih hidup. Sebab BM sendiri melarikan diri, menghindari dari kejaran penembak misterius atau Petrus, dalam keadaan terburu-buru.

Skenario pembunuhan atas dirinya, dirancang oleh anggota rezim Orde Baru, khususnya dari kalangan militer. Padahal sebelum rencana pembunuhan itu disusun, BM telah melaksanakan sejumlah perintah kotor oleh rezim militer Orde Baru.

Pekerjaannya membantu tegaknya Orde Baru dimulai awal tahun 1971. Tujuannya hanya satu: Golkar sebagai partai pendiri rezim Orde Baru, harus menang. Sementara partai-partai lain yang sudah berfusi ke PPP dan PDI, tidak boleh menang.

Patut dicatat kemenangan Golkar di Pemilu 1971 itu, menjadi awal dari kemenangan berturut-turut dari partai bertanda gambar Pohon Beringin itu, di semua Pemilu: 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997.

Salah satu tugas eks narapidana asal penjara Semarang ini, melakukan pembunuhan terhadap tokoh tertentu atau tokoh politik yang diperhitungkan dapat menggagalkan semua agenda kekuasaan berjangka panjang, ciptaan rezim Orde Baru.

Untuk semua kebutuhan dana operasi, rezim Orde Baru memberinya “rekening khusus” di Bank Rakyat Indonesia. Kapan saja, BM bisa menarik dana dari bank pemerintah tersebut.

Selanjutnya untuk semua briefing dan latar belakang operasi yang dilakukan, BM memperoleh langsung dari Presiden Soeharto. Untuk menemui Presiden Soeharto di Jl. Cendana, Jakarta Pusat, BM mengaku selalu diantar atau difasilitasi oleh pengusaha Sutikno Widjaja.

Sutikno ditandainya sebagai salah seorang dari tiga pengusaha keturunan yang saat itu - punya akses langsung dengan Presiden Soeharto. Dua lainnya lagi adalah Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.

BM yang tidak tamat sekolah lanjutan, seesungguhnya bisa disebut sebagai seorang yang lugu dan apolitik atau buta politik.
Tapi alam dan perkembangan pergaulan, bisa merubah segalanya. Sehingga sekalipun buta politik, tetapi BM bisa merasa bahwa hasil kerjanya cukup memuaskan bagi penguasa Orde Baru.

Ironisnya di tengah kebutaan politiknya itu, BM juga memilliki naluri bahwa anggota rezim Orde Baru - setelah berhasil menang dan berkuasa, tak lagi memerlukannya. Untuk itulah muncul gagasan mengakhiri peran atau “kontrak” kerjanya.

Politik kotor pun mulai dipraktekkan.

Rezim Orde Baru ingin melenyapkan jejak-jejak hitam yang bisa merugikan pemerintah Soeharto secara keseluruhan. Jejak hitam itu ditorehkan oleh BM. Dan jejak hitam itu hanya mungkin hilang, jika sosok seperti BM ikut dilenyapkan.

Dalam testimoninya selama dua kali pertemuan, BM mengaku tahu banyak tentang bagaimana “Malari” 1974 dirancang. Sebab dia kebagian tugas membakar Pasar Senen, yang saat itu merupakan pusat pertokoan terkemuka di Jakarta. Tentu saja BM tidak sendirian. Melainkan memimpin sejumlah preman untuk membumi hanguskan Pasar Senen.

“Malari” yang merupakan singkatan dari Malapetaka Januari dikenal sebagai aksi anarkis mahasiswa yang menentang kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia. Aksi ini berujung dengan pembakaran mobil-mobil buatan Jepang.

Tokoh “Malari” yang hingga hari ini dipuja-puji antara lain Hariman Siregar dan Theo L. Sambuaga.
Sementara bagi BM “Malari” bukanlah sebuah peristiwa anarkis yang meletus secara spontan.

Selain “Malari”, BM juga ditugaskan mengacaukan kampanye Partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. BM yang ditugaskan petinggi Golkar menyusup ke pinggir pangggung kampanye dengan kaos bertuliskan PPP.

Mereka kemudian berulah, mengganggu kampanye Golkar. Sehingga mencul kesan yang merusak suasana adalah kader PPP.

Tujuannya untuk mendeskreditkan PPP sementara skenario itu disusun oleh Jenderal Ali Murtopo.

Klimaks dari kekecewaannya terhadap Orde Baru bertumpu ke pemimpin Orde Baru, Jenderal Besar sekaligus Presiden RI, Soeharto.

Sebab dari biografinya, Presiden Soeharto mengaku, dialah yang memerintahkan Pangab Jenderal LB Moerdani untuk mengeksekusi para preman.

Padahal BM merupakan koordinator dari sekitar 5.000 preman yang tersebar di Jakarta, Jawa Tengah dan Yogyakarta.

BM merupakan pendiri ormas “Fajar Menyingsing” dan pemimpinan “Gali”. Dua-duanya ormas yang beroperasinya cenderung menggunakan kekerasan.

Anggotanya di tahun 1980-an mencapai 5.000 orang. Namun ketika operasi “Petrus” dijalankan secara militer, lebih dari separuh anggotanya, menjadi korban.

Ini yang membuat BM marah kepada Presiden Soeharto.

Dalam pengakuannya, di pertengahan 1980-an, BM pernah menghadang sedan yang dikendarai Presiden Soeharto. BM sudah siap dengan bom yang akan diledakkan dengan cara menabrakan diri ke kendaraan Presiden Soeharto.

BM sudah mempelajari rute yang selalu dilalui Presiden Soeharto. Salah satu titiknya, di bundaran Jl, Teuku Umar, dekat rel kereta api dan masjid Tjuk Nya Dien, Jakarta Pusat.

Tapi usahanya itu bocor kepada teman-temannya yang sering berkumpul di kantor perwakilan harian “Wawasan”, Semarang, Jawa Tengah di Jalan Sutan Syahrir, Jakarta Pusat.

Jusuf Suroso, salah seorang koresponden “Wawasan” yang mendapat bocoran, kemudian bergegas mengejar BM di tempat penghadangan.

Jusuf Suroso lalu membujuk BM agar tidak melaksanakan niatnya.

“Tolong mas, jangan lakukan tindakan ini. Pak Harto tidak akan terbunuh. Mobilnya anti peluru. Mas sendiri yang akan jadi korban. Smentara Pak Harto yang selamat akan menjadi pahlawan…..”, begitu kurang lebih cara Jusuf Suroso mantan personil harian “Prioritas” itu, meyakinkan BM.

Kesaksian lain BM soal pembunuhan peragawati Dietje. Hanya saja, BM minta untuk tidak membicarakannya lebih lanjut.

Yang pasti versinya, tidak sama dengan versi yang diketahui publik selama ini.

Hampir sama dengan kisah pembajakan pesawat Garuda “Woyla”.

Pesawat ini diterbangkan oleh pilot atas tekanan teroris, ke Bangkok, Thailand. Pembajakan ini berhasil diakhiri setelah sebuah regu pasukan khusus pimpinan Letkol Sintong Panjaitan, menyerbunya dalam sebuah operasi subuh.

Kapten pilotnya tertembak, sejumlah teroris berhasil ditangkap sementara semua penumpang selamat.

“Nah saya termasuk salah seorang penumpang di situ. Bedanya, saya dipulangkan secara khusus ke Jakarta dengan pesawat lainnya. Silahkan tafsirkan sendiri, mengapa saya berada di pesawat Woyla”, ujar BM tersenyum.

Kami pun sam-sama tersenyum. Sebagai pertanda, kami saling memahami apa yang kami bahas.

Pemahaman kami, Indonesia pada satu era pernah mengalami kehidupan, dimana rakyatnya harus pasrah menghadapi sebuah kejahatan yang dilakukan secara terorganisir.

Bahwasanya sebuah negara atau pemerintahan bisa saja melakukan kejahatan secara terorganisir. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA