Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Duet Bamsoet-Airlangga Jadi Penentu?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 27 Maret 2018, 15:56 WIB
Duet Bamsoet-Airlangga Jadi Penentu?
Bamsoet Dan Airlangga/Net
PERINGATAN Prabowo Subianto bahwa 2030 Indonesia akan bubar boleh jadi bisa mematikan semangat sejumlah kalangan dalam menatap masa depan bangsa.

Tapi di sisi lain pernyataan pensiunan jenderal yang agak meniru-meniru gaya Proklamator Soekarno dalam berpidato - bisa pula dimaknai sebagai orasi yang tak punya makna sama sekali.

Persepsi yang terakhir ini bisa diukur dari sikap korpotat Partai Golkar.

Partai yang pernah memimpin dan berkuasa di Indonesia selama 32 tahun (1966-1998) ini, tak berreaksi sama sekali.

Kalaupun ada reaksi dan semoga tidak keliru menghitungnya, hanya satu anggota Golkar yang bersuara. Dan itupun karena  si politisi Golkar “dipaksa” dan “ditodong” oleh Jurnalis pada sebuah situasi dimana sang politisi tak bisa menghindar.

“Ah itu kan pikiran dia (Prabowo)….”, ujar Titik Soeharto, seakan tidak setuju dengan Prabowo.

Jawaban singkat dari  politisi Golkar yang nota bene bekas isteri Prabowo Subianto, memiliki makna yang multi tafsir.

Tetapi satu tafsir yang cukup membuka mata banyak orang, Golkar di era sekarang sedang atau sudah berubah. Golkar tidak terbawa arus oleh pernyataan dan sikap yang kontroversial.

Golkar memiliki sikap.

Yang paling mendasar terjadi pada sikap “rendah hati” dan “tahu diri”.

Titiek Soeharto sebagai politisi Golkar menjadi wakil sekaligus memperlihatkan kedua sikap itu.

Padahal, kalau melihat latar belakangnya sebagai salah seorang anak kandung orang terkuat di Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun - jika Titiek mau tampil seperti Golkar zaman dulu, arogan, super percaya diri and so on, sah-sah saja.

Dan rasa percaya diri itu sudah pernah dipertontonkannya tahun lalu (2017). Titiek Soeharto merupakan satu-satunya anggota Golkar, anak buah yang mempersoalkan posisi Setya Novanto, sebagai "boss".

Saat yang terakhir ini sudah diumumkan oleh KPK sebagai tersangka skandal mega korupsi e-KTP, tapi masih tetap bertahan menduduki Jabatan Ketum Golkar dan Ketua DPR RI, Titieklah yang meminta "boss" partai Pohon Beringin itu, mundur.

Diakui atau tidak, permintaan mundur Titiek Soeharto ini, mempengaruhi dan mengubah banyak hal yang sudah stagnan.

Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar tak berani menegur Titiek Soeharto sebagai anggota. Tak terjadi "penggorengan" isu - ada anak buah berani-beraninya melanggar etika ataupun disiplin partai.

Hal mana kemudian berproses.

Ujung-ujungnya, Setya Novanto mundur tanpa syarat dari kedudukan Ketua Umum Partai dan Ketua DPR RI sekaligus.

Setelah Setnov mundur dari kedua jabatan itu, Titiek Soeharto disebut-sebut berkeinginan menduduki kursi yang ditinggalkan politisi flamboyant tersebut.

Tanda-tanda keinginan itu, tercermin dari sejumlah lobi dan pertemuannya dengan tokoh-tokoh kunci dalam perpolitikan di Indonesia.

Titiek di antaranya melobi Presiden Jokowi. Begitu pula dengan Megawati Soekarnoputri.

Caranya melobi Jokowi dengan Megawati, berbeda. Dengan Jokowi, Titiek misalnya mengenakan baju olahraga. Sehingga terkesan lebih santai dan bersahabat.

Sewaktu bertemu Megawati di kediaman Presiden RI yang kelima ini, Titiek mengenakan seragam FKPPI.
 
Kalau boleh memuji dikit asalkan sarjana ekonomi lulusan UI ini tidak jadi "ge er" atau gede rasa, penampilannya dalam bentuk lobi, sedikit banyaknya membuka persepsi baru tentang "Dinasti Cendana".

Persepsi yang mengarah ke titik yang lebih positif tentunya.

Secara socio-politic, lobi-lobi Titiek, cukup berhasil. Walaupun dari segi target, dia tidak berhasil mengisi kekosongan jabatan yang ditingalkan Setya Novanto.

Yang berhasil, Airlangga Hartato untuk Ketua Umum DPP Golkar dan Bambang Soesatyo atau Bamsoet untuk Ketua DPR RI. Dua politisi yang kelihatannya, kurang bicara namun banyak bermanuver.

Yang lebih menarik lagi, Titiek yang sebenarnya punya andil melengserkan Setya Novanto dari kedua jabatan prestisius itu, tak mempersoalkan apalagi menghambat Airlangga dan Bamsoet.

Dampaknya antara lain, pemilihan Airlangga di Munaslub Golkar berlangsung lancar. Airlangga menjadi satu-satunya calon, otomatis langsung terpilih sebagai Ketua Umum.

Proses Bamsoet menjadi Ketua DPR RI, kurang lebih sama. Mulus dan lancar.

Sebelum Airlangga selaku Ketua Umum Golkar memutuskan Bamsoet sebagai pengganti Setya Novanto di Senayan, sembilan dari sepuluh fraksi di DPR RI sudah menyatakan dukungan penuh, kepada mantan wartawan “Prioritas” ini.

Semenjak Airlangga dan Bamsoet menjadi politisi papan atas di Indonesia, secara pelan terjadi sebuah perubahan.

Golkar terkesan menjadi stabilisator penting dalam percaturan politik nasional.

Kebisingan politik, yang bernuansa kontra produktif - yang selama ini datangnya dari DPR Senayan, relatif berkurang.

Sebaliknya martabat DPR RI sebagai lembaga tinggi negara yang sudah sempat “jatuh”, kini mulai bergerak ke atas atau terangkat kembali.

Tanggal 19 Maret 2018 misalnya Partai Demokrat menggelar sebuah acara nasional. Yaitu hari Peringatan Wanita. Ikut hadir di acara tersebut, Ketua Umum Partai Demokrat, SBY.

Jarang-jarang bahkan mungkin tidak pernah Presiden RI yang ke-6 ini menggelar acara seperti itu kompleks DPR RI.  Biasanya, kalau bukan di Jakarta Convention, yah di Sentul Convention.

Dalam acara itu nampak keakraban yang tidak dibuat-buat antara SBY dan Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo.
Perbedaan partai apalagi generasi, tidak muncul dalam pertemuan SBY - Bamsoet. Yang mengemuka adalah ke-Indonesia-an.

Sementara itu, Bambang Soesatyo, sekalipun belum tiga bulan menduduki posisi Ketua DPR RI, tapi perhatian dunia sudah tertuju kepadanya. Hal ini terlihat dari keinginan Parlemen Rusia.

Ketua DPR dari bekas pecahan Uni Sovyet tersebut sudah melayangkan undangannya ke Senayan.

Ketua Duma (parlemen Rusia) berharap Bambang Soesatyo bisa berkunjung ke Moskow, sebelum Piala Dunia Sepakbola digelar mulai pertengahan Juni 2018.

Walaupun tidak disebut secara eksplisit, tetapi undangan ini sepertinya merupakan bagian dari pendekatan negara adidaya itu terhadap Indonesia. Mengingat tahun ini, Vladimir Putin, Presiden Rusia yang kembali terpilih pada 18 Maret lalu,  diagendakan akan mengunjungi Indonesia tahun ini.

Bila ini terjadi, Vladimir Putin akan menjadi Presiden Rusia pertama yang berkunjung ke Indonesia.

Sama dengan undangan Parlemen Rusia untuk Bamsoet, jika itu terlaksana, maka politisi Golkar tersebut akan menjadi Ketua DPR RI pertama yang diundanhg Duma.

Bila Bambang ke Duma, ia akan ikut mengukir sejarah dalam hubungan Indonesia - Rusia.

Bamsoet sejak 22 Maret lalu berada di Jenewa Swiss, menghadiri pertemuan Parlemen se-Dunia.

Pada waktu yang tidak berselisih lama,  Presiden Joko Widodo mengggelar pertemuan empat mata dengan Ketum DPP Golkar, Airlangga Hartarto di kompleks Istana Bogor.

Berbagai spekulasi pun terus mengemuka. Golkar mulai disenangi kembali. Seorang Presiden yang dicalonkan oleh PDIP, pun mau berbaik-baik dengan Golkar.

Satu di antaran spekulasi itu soal masa depan Golkar.

Partai Pohon Beringin, sudah melahirkan dua politisi baru - yang kelihatannya lebih cakap berjualan produk politik.

Berbagai manuver Airlangga - Bamsoet, jika berhasil dirawat dengan baik, bukan mustahil, cara pandang masyarakat konstituen Indonesia berubah.

Perubahan dimaksud, kembalinya empati dan simpati besar ke Partai Golkar.

Dan jika ini terjadi, bukan mutahil Golkar akan kembali menjadi sebuah partai besar dan sekaligus memimpin Indonesia. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA