Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Annie: Pak Jokowi, Mohon Sertifikat Tanahnya Jangan Diobral

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 17 Maret 2018, 01:34 WIB
PRESIDEN Joko Widodo belakangan ini, membagi-bagi sertifikat tanah. Setiap kali peristiwa ini diliput dan diberitakan secara luas oleh berbagai media, yang merasa tersentak sekaligus tersakiti adalah Annie Sri Cahyani, seorang ibu rumah tangga. Seorang wanita warga biasa yang pada Pilpres 2014 memilih Joko Widodo sebagai presiden.

Sebagaimana masyarakat luas ketahui, presiden kita yang ke-7, sering membagi-bagikan sertifikat tanah secara massal dan gratis. Ini hal baru. Maksudnya, baru di era Presiden Joko Widodo, sebuah sertifikat tanah bisa diperoleh secara mudah. Gratis lagi.
 
Dan bagi Annie Sri Cahyani, apa yang dilakukan Presiden RI tersebut sah-sah saja. Namun ibu rumah tangga yang satu ini melihat sekaligus menilai apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo memiliki sisi kelemahan yang mendasar.

Bila kegiatan itu dilakukan dengan framing untuk pencitraan yang Annie khawatirkan justru kontra produktif.  Karena yang dikhawatirkan Annie Sri Cahyani, sertifikat-sertifikat tanah yang diperoleh secara gratis dan mudah itu, belum tentu tak bermasalah.

Annie sudah mendengar langsung dari sejumlah notaris dan PNS Badan Pertanahan Nasional. Bahwa penerbitan sertifikat tersebut, rata-rata dilakukan secara terburu-buru, mengejar target. Jadi ada data yang belum lengkap, sebagai sebuah persyararatan formal, tapi sertifikatnya tetap dikeluarkan.

“Saya tidak yakin Pak Presiden punya waktu mengeceknya,” berkata Annie.

Selain itu pengumuman semua sertifikat itu atas kehendak presiden, juga melanggar UU. 

Mestinya sebuah sertifikat baru dianggap sah bila Lembaran Negara sudah mengumumkannya setelah dua bulan disahkan. Pengumuman itu berarti, tidak ada pihak yang keberatan atas pensertifikatan atas tanah tersebut.

“Tunggu saja, kalau Pak Jokowi sudah tidak jadi Presiden, baru kita lihat bagaimana persoalan sertifikat tanah, meledak,” ujar Annie menirukkan ucapan yang dia dengar langsung.

Annie bisa mendengar langsung keluhan sekaligus kritik terhadap Presiden RI tersebut, sebab dalam beberapa bulan terakhir ini, ia mondar-mandir menemui pejabat yang menangani pertanahan.Mondar-mandir dilakukannya, sebab Annie tengah memperjuangkan hak kepemilikannya atas sebidang tanah. Annie memiliki sertifikat berbentuk atau berstatus SHM, Sertifikat Hak Milik.

Secara hukum SHM sangat kuat. Tetapi yang dialaminya, tanah miliknya pernah dijaminkan ke bank, bisa dikalahkan oleh pengembang, cukup dengan sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan).

Dalam penelusurannya, Annie menemukan banyak fakta. Bahwa pengembang mempraktikkan bisnis kotor. Misalnya dengan melakukan perampasan, pematokan tanah yang bukan milik mereka dan membuat seritifikat palsu. Pengembang berani menempuh cara-cara kotor tersebut, karena sudah menjadi aturan main di kalangan “mafia tanah”, kelak si pengembang akan dibantu untuk memenangkan setiap perkaranya, karena para “mafia anah” ini sudah membentuk jaringan.

Pengembang dan para anggota jaringan sudah tahu, modus apa yang harus mereka lakukan, manakala ada gugatan terhadap perampasan dan pematokan secara ilegal serta pemalsuan seritikat itu digugat.

Pemilik tanah yang tanahnya diserobot, tak akan bisa memenangi sebuah perkara gugatan. Karena semua lini yang menangani pertanahan sudah ditempati oleh para anggota “mafia tanah”. Modusnya, pengembang “merekrut” dan “membayar” oknum-oknum di Badan Pertanaha Nasional termasuk oknum polisi, pengacara, tukang ukur tanah dan tak ketinggan pejabat pemerintah di eselon terrendah. Seperti lurah atau camat. Praktis, semua “lembaga” yang membentengi konspirasi ini, terwakili di semua lini.

Temuan Annie mengemuka, karena semangatnya untuk memperjuangkan hak miliknya, sangat tinggi. Dia tidak putus asah ataupun jenuh. Sudah lebih dari 10 tahun dia berjuang.

Berawal pada kejadian di tahun 2006. Annie membeli sebidang tanah, luas hampir 2.100 meter persegi di sebuah pemukiman yang terletak di wilayah yang berbatasan dengan dua provinsi, DKI Jaya dengan Banten.

Tanah itu dibelinya dengan harga Rp 2 milyar. Tapi tahun 2008, kepemilikan atas tanah itu digugat oleh sebuah perusahaan pengembang.
Setelah bertarung di pengadilan, dengan proses yang cukup panjang, Annie dikalahkan.

Sekalipun kalah mulai dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tingggi, Kasasi Mahkamah Agung dan PK (Peninjauan Kembali), Annie tak mau menyerah. Dia tetap yakin sebagai pemilik sah atas tanah tersebut. Sebab selain SHM atas tanah itu sudah pernah diagunkan ke bank, untuk mengurus perkara tersebut, Annie “berdarah-darah”.
ʉ۬Annie sudah mengeluarkan biaya yang lumayan besar. Yaitu tidak kurang dari Rp 7 milyar, untuk tanah yang dbelinya seharga Rp 2 milyar.
Selain itu, Annie pernah dibantu oleh seorang Hakim Agung. Sang Hakim menegaskan, “Ibu seharusnya keluar sebagai pemenang, pemilik yang sah. Sebab ibu memiliki SHM. Dan SHM tidak bisa dikalahkan oleh HGB. Kalau saya yang menyidangkan kasus ibu, pasti ibu saya menangkan”.

Atas dasar itu, Annie membawa semua dokumen perkaranya. Termasuk putusan kasasi Mahkamah Agung. Namun apa yang terjadi. Yang memvonis di kasasi bahwa pemilik atas kavling itu bukan Annie, justru sang Hakim Agung tadi itu sendiri.

Di sini Annie semakin penasaran dan ingin mendapatkan keadillan.  Dia merasa tidak memperoleh keadilan, sebab di satu sisi hak atas tanahnya yang diperkuat secara legal dengan SHM, dengan mudah dinyatakan “tak berlaku” oleh pengadilan, tetapi di sisi lain, presiden dengan gampangnya memberikan sertifikat secara massal-dimana keabsahan atas sertifikat itu, termasuk para penerimanya masih perlu dikaji ulang.

Annie semakin merasa tidak diperlakukan secara adil, sebab salah satu permintaannya agar BPN dan pengembang melakukan gelar perkara atas kepemilikab terhadap tanah tersebut secara terbuka, terus ditolak.
 
Ini yang membuat Annie semakin curiga. Bahwa konspirasi pengembang dengan para anggota jaringan “mafia tanah” benar-benar eksis. Bukan sebuah isapan jempol biasa. Sambil mengingatkan agar Presiden Joko Widodo untuk tidak semudah itu membagi-bagikan sertifikat tanah. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA