Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN TENGAH

Surat “Cinta” Dari WNI Galau Di California

*) Julukan Petinggi “Abal-Abal” Kian Marak & Menukik

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 12 Maret 2018, 09:55 WIB
RENCANA pagi ini sebetulnya menurunkan sebuah tanggapan atas pernyataan Connie Rahakundini Bakrie, seorang analis pertahanan dan militer.

Isinya, berupa tanggapan menarik dan menyeluruh dari seorang bekas makelar bisnis persenjataan.

Pekan lalu, Connie Bakrie, wanita karir yang vokal menyoroti soal postur militer dan pertahanan Indonesia, menyadarkan banyak pihak. Bahwa kemampuan Indonesia dalam memproduksi persenjataan untuk pertahanan dan militer, bukan lagi sebuah persepektif pepesan kosong. Melainkan riil dan faktual. Indonesia sudah bisa berdiri sendiri.

Dosen Universitas Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI tersebut membeberkan, kemampuan putera-puteri Indonesia dalam memproduksi persenjataan kebutuhan TNI dan Polri yang sudah cukup tinggi.

Namun kita lebih percaya kepada produk asing. Jadi kita terus menjadi pengimpor (abadi).

Tapi perhatian saya terganggu pada layar HP oleh pesan baru jaringan WA. Pesan itu dari sebuah nomor yang tanpa nama, lebih menarik.

Ketika HP dibuka, ternyata nomor +628962310827…, semalam, pada pukul 22:41 WIB, sempat 'missed call' ke nomor yang sudah saya gunakan sejak 1995.

"Sorry Kepencet Call," terbaca tulisannya.

Tapi yang membuat saya terkejut, pada layar HP tersebut ada postingan berjudul “Negeri, Registrasi dan Atraksi Sang Menteri”.

Setelah membacanya secara lengkap, mungkin dia salah ketik. Kata “negeri”, seharusnya ditulis “ngeri”. Sebab kalau kalimatnya seperti itu menggunakan kata “negeri”, maknanya menjadi kurang jelas.

Jadi dugaan saya, mestinya NGERI, REGISTRASI ULANG DAN ATRAKSI SANG MENTERI.

Daya tarik membaca tulisan tersebut, meninggi.

Karena pada bagian awal, diulas tentang soal pendaftaran ulang nomor telpon pra bayar. Yang menurut dia, hanya merepotkan. Bahkan menyebut Menteri yang bertanggung jawab atas pendaftaran ulang ini sebagai pejabat yang melakukan cuci tangan.

Setelah pendaftaran ulang usai 28 Pebruari 2018, Pak Menteri membuat pernyataan kontroversil dan kontradiksi.

Kata Pak Menteri, kalau data yang sudah masuk, bisa beresiko disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Oleh sebab itu Pak Menteri mengingatkan masyarakat harus berhati-hati.

Sebuah peringatan terlambat.

“Wealah pa, paaa… koq baru sekarang ngomongnya?”, kata si penulis anonim dengan nada nyinyir.

Nadanya, terkesan sangat kesal, galau dan marah.
Namun semua ungkapannya, sesungguhnnya mewakili perasaan saya.

Karena saya pun menjadi “korban” dari kebijakan pendaftaran ulang ini.

Selama hampir seminggu, saya harus mondar-mandir ke provider dan bank. Karena mobile banking saya tidak berfungsi.

Di setiap gerai yang saya kunjungi -entah kebetulan atau memang demikianlah adanya, terjadi antrian panjang.

Melelahkan, menjengelkan. Pihak bank sudah memberi akses tapi koneksi internet sebelum final tiba-tiba terputus.

Memang rekening saya tidak sedang menunggu transferan jutaan apalagi miliaran dolar.

Ada sih rencana incoming transfer dari Cayman Island yang jumlahnya bisa mencapai kisaran triliunan rupiah. Tapi itu baru dalam bentuk mimpi. Dan itupun diperkirakan baru terlaksana pada tahun 3018. Seribu tahun lagi.

Persoalan yang dihadapi karena sudah terbiasa dengan 'hidup harus ada internet dan H', maka begitu terjadi kemacetan, semuanya menimbulkan ketidaknyamanan.

Ada dugaan, kemacetan koneksi terjadi, sebab pada hari-hari terakhir pendaftaran ulang itu terjadi permintaan sambungan pada saat yang bersamaan oleh puluhan juta pelanggan.

Ibarat jalan tol Cipularang, tiba-tiba pada waktu bersamaan, dibanjiri ratusan ribu bahkan jutaan kendaraan dari Jakarta. Yah, jalan menuju Bandung pasti macet.

Dan sebelum menjadi 'korban', kritik atas kebijakan daftar ulang, sudah saya posting di Catatan Tengah. Antisipasi itu saya tulis, hanya selang beberapa hari setelah muncul pengumuman dari Kementerian Kominfo.

Kalau boleh nyombong, saya sebagai rakyat kecil, ternyata lebih visioner dan antisipatif.

Postingan dari anonim ini menyebut yang bersangkutan sedang berada di Long Beach, California. Dia baru saja mengganti nomor teleponnya dengan provider AT & T. Sebuah perusahaan telekomunasi ternama di Amerika Serikat.

Permintaan penggunaan nomor baru mobile di negara raksasa tersebut, kata dia, berjalan lancar.

Secara tersirat, dia mengungkapkan, perusahaan kaliber AT & T saja tidak meminta data pelanggan seperti fotokopi KTP, Kartu Keluarga dan NIP (Nomor Induk Kependudukan).

Lantas mengapa perusahaan telekomunikasi Indonesia, melakukan hal berbeda?

Hanya saja, saya sudah malas mempersoalkan kerumitan yang ditimbulkan registrasi ulang ini.

Saya cuman berharap, semoga Kabinet 2019 – 2024, tidak ada lagi Pembantu Presiden yang suka membuat kebijakan yang merepotkan rakyat.

Semoga, ke depan para Pembantu Presiden benar-benar berkemampuan membantu seorang pemimpin negara. Tidak membantu secara 'asal-asalan' tanpa konsep yang jelas dan defensi terhadap kritikan.

Dari soal registrasi ulang, penulis anonim ini melanjutkan ungkapan kekecewaannya.

Arahnya ke Pembantu Presiden lainnya yang menilai kemampuan anak bangsa, belum bisa diandalkan untuk mengerjakan proyek-proyek besar.

"Sakit hati saya mendengar anak bangsa dilecehkan," tulisnya

“Maaf Pa kalau bapa mau hidup di bawah ketiak bangsa lain, silakan….”

"Kami bangga jadi anak bangsa ini Pa, yang sudah sanggup membangun Borobudur di saat orang Amerika masih tidur dan menganggur"

Pernyataan lainnya yang menurut anggapan saya agak emosional, saya baca tapi di tulisan ini, saya loncati atau sisihkan.

Lalu: "Kami mungkin miskin, tapi tidak bodoh"

"Kami mungkin bukan priyayi, tapi kami masih cinta ibu pertiwi"

“Oh iya pa, kalau bapa bilang anak bangsa belum mampu atau siap untuk proyek multy millions dolar….. maka kami pun berhak menilai bapa belum mampu menjadi Menteri atau pemimpin negeri….”

“Jadi saatnya kami mencari pengganti”

Tuisannya ditutup denhan ucapan: "….hiduplah Indonesia Raya….," dihiasi dengan emogi berupa tangga nada, kepalan tangan tiga kali dan bendera merah putih.

Ditulis pada hari kesembilan bulan Maret.

Saya menarik napas panjang seusai membaca postingan ini. Agak plong dan lega. Sebab ternyata yang memiliki kegalauan setelah melihat performa beberapa Menteri yang tak sesuai keinginan rakyat, bukan hanya saya.

Dan sebetulnya saya juga masih punya uneg-uneg terhadap dua menteri pembantunya Pak Joko Widodo.

Yang satunya pejabat yang mengurus amandemen UU MD3 dan satunya lagi yang bertanggung jawab atas golnya UU Politik yang mengatur pelaksanaan Pilpres 2019.

Namun uneg-uneg itu baru akan saya sampaikan di kesempatan berikutnya.

Sebagai warga bangsa, seperti warga yang memposting tanpa nama ini, uneg-uneg ini tak lain bagian dari kritik sosial yang mengingatkan agar kalau menjadi pejabat tinggi, usahakanlah lebih prudent terhadap hal-hal yang sensitif bagi kelangsungan NKRI.

Saat ini, terlalu sering muncul kesalahan kebijakan yang di sisi lain seperti sebuah 'jebakan'.

Pembuat jebakan ini, tidak diketahui. Namun bisa dicurigai berasal dari kekuatan luar dan menggunakan jaringannya di dalam negeri.

Pihak luar yang tujuannya untuk memecah belah NKRI.

Bisa saja omongan seorang pejabat yang salah, dikarenakan ada yang menskenariokan hal tersebut agar terjadi. Demikian halnya dalam soal per-UU-an.

Coba tanyalah dalam diri kita sendiri, sudah berapa banyak UU yang diproduksi DPR dan pemerintah, tapi setelah diundangkan, kemudian digugat oeh masyarakat Indonesia ke Mahkamah Konstitusi?

Apa tandanya? Murnikah gugatan itu?

Capek, melelahkan dan pasti menguras kotak ATM saat perasaan dan melihat situasi ini..

Kembali ke postingan anonim ini, saya tertarik mengangkatnya sebagai sebuah informasi. Karena saya menangkap kesan, pengirim pesan ini menginginkan agar suaranya sebagai warga bangsa yang peduli pada masa depan NKRI, memerlukan saluran.

Dan dia memilih saya sebagai tempat penyaluran aspirasi, karena dia tidak melihat ada saluran lain yang bisa memfasilitasinya secara spontan dan instan.

Sebagai sebuah ungkapan, postingan ini bisa dianggap pernyataan pribadi yang mencampuri urusan rumah tangga pemerintah.

Pendapat dan saran saya, lain. Sudahlah. Pemerintah atau petinggi, jangan sensi dan cepat tersinggung mendapatkan postingan seperti ini.

Dengan kata lain, kalau tidak mau dikritik, yah jangan mau jadi pemerintah atau petinggi di negara demokrasi.

Pemerintah itu kan bisa hadir atau 'eksis' karena ada rakyat. Dan yang menulis postingan tersebut seorang rakyat kecil yang tengah galau.

Syukur, dia masih ada perasaan galau, sekalipun dia sudah hidup di luar negeri. Artinya dari jauh dia masih peduli Indonesia.

Pemerintah atau pembantu presiden memang harus siap dikoreksi. Postingan ini perlu dimaknai, dijadikan bahan masukan.

Postingan ini juga menunjukkan kecintaan warga bangsa pada NKRI, sesungguhnya tidak hanya ada dalam dada mereka yang kebetulan dipercaya rezim untuk menjadi pejabat negara.

Dalam kosa kata yang berbeda, menjadi pejabat tinggi itu, hindari sikap yang sok paling benar, paling sempurna, paling hebat dan paling kuat.

Ingat pengalaman para pemimpin masa lalu.

Setiap pesta (kekuasaan) ada akhirnya.

Cepat atau lambat semua atribut yang kita sandang, apapun bentuknya, juga akan lenyap.

Bagi para petinggi, buatlah yang terbaik bagi rakyat dan negerimu.[***]


Penulis merupakan Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA