Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Connie Rahakundini Bakrie, Dulu Pengamat, Kini Pebisnis Persenjataan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 10 Maret 2018, 08:03 WIB
Connie Rahakundini Bakrie, Dulu Pengamat, Kini Pebisnis Persenjataan
Connie Rahakundini Bakrie/Net
INDONESIA, bukanlah negara yang tidak berkemampuan dalam industri militer dan pertahanan. Fakta yang ada menunjukan, saat ini (2018) tidak kurang dari 80 perusahaan swasta Indonesia, sudah menjadi pemasok bagi sejumlah perusahaan yang memproduksi peralatan militer dan pertahanan.

Perusahaan-perusahaan ini berhimpun dalam satu asosiasi dan perputaran bisnis yang mereka tekuni, berada dalam kisaran hingga Rp. 13,- triliun.

Namanya Perkumpulan Industri Pertahanan Nasional (Pinhantanas).

Hanya saja, akibat dari tidak adanya kesamaan visi di antara elit pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, telah menjadikan industri militer dan pertahanan kita tak bisa berkembang – seiring dengan tuntutan zaman.

Ditambah tidak adanya kepedulian media-media nasional dan pekerja pers yang mewartakan kemampuan putra-putri Indonesia dalam industri persenjataan tersebut, telah menimbulkan persepsi yang negatif dan keliru tentang porto folio Indonesia.

Misalnya, karena persepsi ketidak mampuan, maka semua kebutuhan Alutsista kita harus diimpor. Padahal yang seharusnya, tidak demikian.

Kemampuan sekaligus keunggulan Indonesia dalam industri militer dan pertahanan tersebut ditenggelamkan oleh hiruk pikuk pemberitaan seputar pertentangan dan perdebatan elit tentang politik.

Yang memprihatinkan, perdebatan tidak berujung. Dan terus memanas setiap kali Indonesia menghadapi Pemilu ataupun Pemilihan Presiden.

Tiada hari tanpa perdebatan soal politik (negatif).

Inilah salah satu sari pati dari pembicaraan dengan Connie Rahakundini Bakrie, wanita karir yang berprofesi sebagai dosen dan pakar pertahanan militer.

Connie tercatat sebagai dosen di Universitas Pertahanan. Connie juga mungkin satu-satunya wanita Indonesia yang keahlian, wawasan dan risetnya dimanfaatkan oleh negara Yahudi, Israel.

Ia menjadi anggota dari perkumpulan para ahli riset.

Sari pati ini di atas mengemuka, setelah dalam dua bulan terakhir, kami melakukan diskusi terbatas.

Topik diskusi berawal pada masa depan NKRI.

Connie cukup khawatir dengan posisi Indonesia saat ini. Sebab sejatinya Indonesia sudah “dikepung” oleh negara adidaya dengan cara membangun pangkalan militer di negara-negara tetangga.

Walaupun tidak atau belum ada indikasi pangkalan-pangkalan militer tersebut ditujukan untuk “menyerang” Indonesia, tetapi menjadi sebuah pertanyaan serius, apa maksud negara tetangga tersebut memberi lahan bagi militer asing?

Dia semakin khawatir, sebab di dalam negeri tak ada lembaga yang kredibel yang melakukan kajian atas hadirnya pangkalan-pangkalan militer tersebut.

Sari pati ini, tidak lahir begitu saja. Tetapi melalui sebuah proses yang didasarkan pada kepentingan bersama : yaitu cinta NKRI.
Sebagai seorang scholar, Connie nampak sangat prudent membahas soal industri pertahanan dan militer nasional.

Untuk kepentingan diskusi, kami berpindah-pindah tempat. Kadang sambil makan siang atau “ngupi-ngupi” di beberapa lounge hotel berbintang, di Kawasan Segitiga Mas, Jakarta.

Connie sendiri nampaknya sejauh ini tidak mudah menemukan mitra yang tepat untuk membahas soal kemampuan Indonesia, dalam industri ini, khususnya dari kalangan Eksekutif dan Legislatif.

Entah kenapa, ketika berbicara soal industri militer dan pertahanan, belum apa-apa, respons yang muncul – seolah-olah hanya kalangan militer yang paham soal itu. Sementara seorang sipil apalagi wanita seperti Connie, tidak dianggap sebagai orang yang tepat.

Tetapi dengan semangat nasionalismenya yang tinggi, janda seorang jenderal TNI AD ini, terus bergerak. Melobi semua kalangan untuk menyadarkan pentingnya Indonesia memguasai industri militer dan pertahanan.

Connie yang ayahnya seorang ahli nuklir, berpendapat Indonesia hanya akan menjadi sebuah negara besar – dalam pengertian ekonominya setara dengan negara industri, apabila mau memprioritaskan pembangunan industri militer dan pertahanan.

Kecuali Jepang dan Kanada, lima negara industri lainnya yang tergabung dalam G-7 yakni Amerika, Inggeris, Jerman, Prancis dan Itali semuanya dikenal sebagai produsen persenjataan.

Connie juga memberi contoh RRT atau Cina. Semenjak negara ini membangun militer dan industri pertahanannya, trend perkembangan ekonominya, meroket dahsyat. RRT yang 40 tahun lalu (1978) masih merupakan negara termiskin di dunia, kini telah muncul sebagai kekuatan raksasa dunia. Baik ekonomi maupun militer.

Connie mengungkapkan, jet tempur F-16 yang dibeli Indonesia dari Amerika dan Sukhoi dari Rusia, bisa menjadi contoh dan bukti tentang kemampuan Indonesia.

Sebab kedua jet tempur yang berbeda itu, sama-sama melengkapi kemampuan serangnya, dengan menggunakan bom buatan Indonesia.

Menurut Connie, dia sudah pelajari semua persoalan dalam industri khusus ini. Kesimpulannya, tak satupun peralatan tempur, militer dan pertahanan yang tak bisa diproduksi Indonesia.

Connie optimis, begitu para elit, para pemangku kepentingan menyadari kemampuan putra-putri Indonesia, kelak industri yang satu ini akan berkembang dan melesat.

Dalam rangka itu, Connie memutuskan untuk menghimpun para produsen persenjataan, sementara dia sendiri ikut mendirikan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang yang sama.

Connie hanya tersenyum, ketika dikomentari, dia tidak lagi atau tidak saja seorang pengamat militer tapi sudah berubah menjadi pebisnis persenjataan. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA