Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kita Terjebak Kolaborasi Anies Baswedan-Najwa Shihab

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 27 Januari 2018, 16:16 WIB
<i>Kita Terjebak Kolaborasi Anies Baswedan-Najwa Shihab</i>
SEMALAM saya terpaksa menonton Mata Najwa edisi 24 Januari 2018 dari fasilitas "Video on Demand" pada televisi berlangganan. Terpaksa!

Sebab saya tidak menonton pada hari penayangannya dan baru membaca berbagai komentar yang diposting di media sosial.

Semua postingan yang kebetulan terbaca oleh saya, menyiratkan kesan, setiap komentar terus memperuncing suasana.

Saya tandai materi pro-kontra atas wawancara itu cukup sarat dengan muatan politik. Mencerminkan "keterbelahan politik" atau polarisasi dalam masyarakat kita yang komunitasnya cukup besar, merupakan sebuah realita.

Dan yang berbahaya, kalau polarisasi ini dibiarkan, bukan mustahil, pro-kontra akan menyebabkan terjadi gesekan yang berakumulasi terjadinya disintegrasi bangsa.

Saya tidak suka bila perpecahan bangsa ini yang terjadi, apalagi penyebabnya hanya sebuah "talk show".

Tapi yang aneh di penglihatan saya, Anies yang dianggap sudah dizolimi oleh Najwa Shihab, justru diam seribu bahasa.

Sikap diam Anies mengundang kecurigaan.

Jangan-jangan Anies dan Najwa sudah berkolaberasi dengan target menjadikan "talk show" tersebut sebagai sebuah topik yang formatnya seperti yang ditayangkan kemarin itu.
"Talk show" itu disegaja beraroma kontroversi dan diharapkan mengundang perdebatan luas.

Bukannya "rasialis". Tetapi sempat terlintas di benak saya, Anies dan Nana yang sama-sama minoritas berdarah Arab, tidak mungkin bermusuhan secara telanjang.

Lagi pula keduanya berasal dari Keluarga Arab-Indonesia yang terpelajar. Sebagai orang terpelajar, tentu mereka lebih berwawasan dan pintar melakukan antisipasi.

Kecurigaan saya berawal pada proses pembuatan "taping" atau rekaman acara tersebut.

Dua hari sebelum terjadi wawancara di studio Trans 7, Anies dan Najwa melakukan kunjungan ke Pasar Tanah Abang. Tujuannya untuk mengecek keadaan kawasan itu, setelah diberlakukannya ketentuan baru yang dibuat oleh Gubernur Anies Baswedan.

Keberadaan Anies-Najwa direkam oleh crew Trans7 dan tidak ada kesan bahwa Najwa sedang punya agenda tersembunyi untuk Anies.

Anies dan Najwa juga bersama-sama naik helikopter melihat Pulau Reklamasi dari udara. Sebab reklamasi merupakan salah satu topik dalam acara tersebut.

Sebagai pekerja pers yang juga pernah melakukan wawancara berbagai tokoh untuk acara televisi, sudah lazim terjadi si narasumber menanyakan hal-hal yang bakal ditanyakan.

Sangat jarang si narasumber tidak bertanya kepada host, apa kira-kira topik yang akan dibahas. Bahkan ketika sebelum "taping", sewaktu permintaan wawancara dilakukan, baik tertulis atau verbal, selalu dikemukakan, apa yang menjadi alasan perlunya wawancara atau "talk show" itu digelar.

Bahwasanya wawancara-wawancara saya di RCTI dan Quick Channel, zaman dulu, tidak sedahsyat dan segegap gempita seperti "Mata Najwa", itu persoalan lain.

Tetapi yang ingin ditegaskan, kesepakatan di luar studio itu, lazim terjadi antara si narasumber dan host atau pewawancara.

Tahun lalu saya dua kali diwawancara oleh TV Israel secara "live". Sebelum saya menyanggupi, petugas yang menghubungi baik dari Tel Aviv maupun dari studio di Los Angeles, terlebih dahulu memberi tahu pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh presenter. Sehingga saya punya persiapan.

Intinya, setiap stasiun televisi, tidak ingin memproduksi sebuah program yang tidak dikemas dengan baik.

Banyak kalangan yang menyalahkan Najwa Shihab termasuk menuduhnya bahwa lewat program itu, Nana-panggilan akrabnya, ingin menaikkan "rating" stasiun televisi tempat dia bekerja.

Manyalahkan Nana seperti itu tidak salah. Apalagi Nana ingin membangun sebuah legacy di Trans7 setelah meninggalkan MetroTV.

Tetapi memvonisnya hanya karena emosi, jelas tidak adil dan tidak pada tempatnya pula.

Sebab setiap host sebuah program di televisi, pasti akan mengejar "rating". Dan sikap itu bukan sebuah dosa. Melainkan sebuah kewajiban profesional.

Yang perlu disesali, para penghujat atau pengeritik Nana, tidak memperhatikan semua potongan video yang mendahului tanya jawab dengan Anies.

Padahal potongan video tersebut penting. Sebab dengan menayangkan kembali sebuah rekaman, fakta sebelum mengajukan pertanyaan, Nana secara profesional menunjukkan bahwa dia mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Dan semua persiapan di belakang layar itu, tidak semuanya dikerjakan oleh Nana. Dia tidak sendirian. Di balik layar, ada sebuah tim yang terdiri dari banyak kepala.

Tentu saja semua keputusan berada di pihak Nana, mana yang pantas ditayangkan dan pada menit ke berapa video itu ditayangkan. Tetapi pekerjaan memproduksi episode "Mata Najwa" kemarin, merupakan hasil kolaborasi dari sebuah tim besar.

Sangat mungkin terjadi, preview episode itu sudah diberikan oleh Nana kepada Anies.

Sebab saya perhatikan, ketika akan membahas soal reklamasi, foto Menteri Agraria/Pertanahan Sofyan Jalil, sempat dimunculkan. Tapi wawancaranya, tidak ditayangkan.

Boleh jadi Anies meminta Nana untuk membuang wawancara itu, sebab Menteri Agraria menolak memenuhi permintaan Anies untuk membatalkan sertifikat HGB pulau reklamasi tersebut.

Sayangnya para pemberi komentar, tidak satu pun yang menyinggung soal ini.

Sadar bahwa Nana mendapat serangan bertubi-tubi dari warga net (netizen), Nana kemudian memposting di Facebook tentang cara dia menghadapi narasumber yang suka ngeles.

Nana membagi lima kelompok nara sumber yang berbeda-beda cara mereka mengelak, ketika menghadapi pewawancara yang kritis dan suka mengejar jawaban.

Nana memang tidak menyebut nama ataupun jabatan Gubernur DKI. Tetapi postingan itu cukup menggambarkan bahwa dia bertanggung jawab atas apa sikapnya melakukan "interupsi" atas setiap jawaban Anies Baswedan. Mengingat postingan itu baru muncul tadi malam.

Untuk menyimpulkan bahwa Nana tidak bersalah, saya mau membawa para pembaca mempelajari cara yang dilakukan oleh Drs. Sumadi dan Willy Karamoy, keduanyan pewawancara TVRI, lebih dari 40 tahun lalu.

TVRI dijadikan rujukan, sebab semua stasiun televisi swasta yang eksis di Indonesia ini, tak ada yang tidak merujuk ke stasiun televisi milik pemerintah tersebut.

Empat dekade lalu, Indonesia hanya punya satu stasiun TV. TV swasta seperti RCTI baru muncul tahun 1989.

Sumadi dan Willy terkenal sebagai pewawancara yang kritis. Sekali pun yang mereka wawancarai pejabat pemerintah dan mereka bekerja untuk media pemerintah, tetapi mereka tidak segan-segan memotong penjelasan nara sumber, tak peduli jabatannya.

Ternyata cara memotong itu bagian dari upaya TVRI untuk memberi kesan, wawancara itu berlangsung secara spontan dan alami. Potong memotong dan interupsi itu bagian dari kolaborasi.

Alasan lain mengapa harus dipotong?

Karena tidak jarang seorang nara sumber yang sudah diberi panduan, dan cerdas pula - bisa terganggu konsentrasinya oleh sorotan lampu studio bahkan oleh kamera statis tapi berpindah-pindah.

Di saat seperti itulah seorang nara sumber acapkali tidak bisa menjawab langsung, melainkan mutar mutir kesana kemari dulu. Seolah-lah lupa atau kehilangan orientasi.

Nah, narasumber seperti ini harus "ditolong".

Dalam soal "Mata Najwa", masih untung slot waktu yang diberikan oleh Trans 7 cukup fleksibel. Bagaimana jadinya kalau waktunya hanya terbatas dan narasumber ingin menjawab sesuai versi dan kepentingannya?

Pewawancara mau tidak mau harus melakukan interupsi.

Saya hanya berharap, perdebatan soal wawancara Anies oleh Nana, bisa dihentikan.

Kita juga perlu meminta kesediaan Gubernur DKI untuk membuat klarifkasi.

Apakah dia merasa "dikuliti", "dijatuhkan" atau dipermalukan oleh Najwa Shihab atau tidak.

Kalau Anies menjawab "yah", kita perlu bersikap terhadap Nana atau Najwa Shihab. Misalnya dengan tidak lagi menonton program-programnya. Mari kita boikot bersama-sama.

Tapi kalau Gubernur DKI terus bungkam, maka kita juga wajib menghentikan perdebatan ini, sebab Gubenur pun tidak mau memperpanjangan perdebatan.

Persatuan dan kesatuan bangsa, jauh lebih penting dan di atas segala-galanya.

Gubenur sebagai pimpinan ibukota negara dan Jakarta sebagai barometer, perlu membuktikannya. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA