Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bambang Soesatyo Jurnalis Masa Lampau, Sukses Jaman Now

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 21 Januari 2018, 17:10 WIB
Bambang Soesatyo Jurnalis Masa Lampau, Sukses Jaman Now
Foto: RMOL
"SAYA aja yang ke rumah abang……”, ujar Bambang Soesatyo, pagi tadi di ujung telepon.

Bambang Soesatyo yang dimaksud adalah politisi Golkar yang akrab disapa Bamsoet dan Senin 15 Januari 2018 dilantik sebagai Ketua DPR-RI, menggantikan Setya Novanto.

Saya menelponnya untuk minta waktu bertemu. Sebab tiga hari menjelang pelantikannya selaku RI-6, kami sedang berbincang, kemudian terputus.

Bamsoet mendadak harus memutus perbincangan kami, untuk hadir di sebuah pertemuan penting yang masih berkaitan dengan penetapannya sebagai Ketua DPR-RI.

Pada hari pelantikannya, salah seorang staf Bamsoet menghubungiku - mengundang hadir di acara pelantikan. Sayanya yang gak bisa.

“Wah jangan bikin heboh Mas Bambang. Begitu mobil pengawal dan sirene mengaung-ngaung, para tetangga akan keluar rumah. Abangnya yang malu,” ujar saya menampik keinginan bekas reporter juniorku itu.

Semenjak Bamsoet menjadi Ketua DPR-RI, negara memberinya fasilitas dan proteksi berupa pengawalan, kemanapun dia pergi. Proteksi ini bagian dari aturan protokol kenegaraan.

Tim pengawal bertugas, siapa 24 jam. Terdiri dari anggota Polri yang berkendaraan sedan patroli dan sepeda motor gede, lengkap dengan senjata dan sirine.

Tentu saja saya rikuh kalau Ketua DPR-RI mendatangi kediamanku. Bukan tidak senang dan tak bangga, tapi apa kata dunia kalau rumahku yang sederhana, tiba-tiba kedatangan tamu VIP berstatus Ketua DPR-RI, Orang Nomor Satu Parlemen kita ?

Lain halnya kalau di percaturan politik nasional, saya menduduki posisi penting dan strategis. Saya hanyalah seorang “pensiunan wartawan” yang memimpin sebuah media pribadi “Catatan Tengah”.

Saya sadar, tawaran Bamsoet, untuk datang ke rumah, bukan basa-basi dan bukan pula karena dia bermaksud memamerkan statusnya yang baru kepadaku sebagai seniornya.

Tawaran Bamsoet mencerminkan, ia tidak ingin dilihat sebagai sosok, politisi yang seperti kacang lupa kulitnya. Dia berasal dari dunia wartawan dan sekalipun sudah menduduki posisi penting di luar dunia kewartawanan, Bamsoet tidak melupakan seniornya yang masih terus ‘terperangkap’ di dunia kewartawanan.

Bamsoet tidak berubah gaya dan pola hidup sekalipun telah menjadi Ketua DPR-RI.

Bagi saya, Bamsoet merupakan sosok yang menyukai pergaulan yang apa adanya. Dia tidak terbiasa hidup dengan cara berpura-pura, penuh basa-basi.

Tawaran spontan ke rumahku, merupakan cermin dari kepribadiannya yang memang ramah, akrab dan terbuka terhadap semua pihak.

Ditambah budaya kerja wartawan yang tidak mengenal sekat pembatas dan status sosial, membuat kami memiliki filosofi yang sama dalam cara merawat hubungan yang berpatokan pada konsep demokratis dan egaliter.

Sejak menjadi satu tim di harian “Prioritas” dan majalah “Vista” antara 1986 �" 1989, kami sudah berinteraksi secara spontan apa adanya. Demokratis dan egaliter.

Jaman itu merupakan era susahnya kehidupan wartawan profesional dan sulitnya menerapkan kehidupan demokratis dan egaliter. Yang hidup dan populer saat itu, kepalsuan dan kesenjangan.

Namun bagi kami, jabatan dan status sosial bukanlah segala-galanya. Kami bisa duduk sejajar dan sama tinggi dengan nara sumber yang status mereka lebih tinggi dari kami. Kami publikasikan hasil wawancara yang isinya mengandung silang pendapat.

Hubungan kami pun bagaikan abang dan adik. Antara lain karena di masa itu, kami berdua pernah bertetangga.
Rumah Bamsoet dan saya di Kompleks Bumi Harapan Permai, sebuah kompleks properti yang dibangun oleh mantan Menteri Perumahan, Siswono Yudhohusodo hanya berjarak sekitar 300 meter. Dan manakala ada hal pribadi yang mau dikeluhkan oleh bekas pacarnya, sang isteri diam-diam datang ke rumah.

Tatkala menjadi reporter junior “Prioritas” �" pada usia 23 tahun, kemudian naik pangkat sebagai reporter sekaligus merangkap Sekretaris Redaksi majalah “Vista”, Bamsoet terbiasa menyaksikan cara saya memimpin yang tidak bermuka dua. Kalau saya marah, yah marah apa adanya. Kalau ada reporter yang mengusulkan berita, tapi seperti berbau ‘pesan sponsor’ saya tolak secara tegas dengan alasan jelas.

Jadi Bamsoet yang tidak punya latar belakang pendidikan kewartawanan, paham dengan filosofi kewartawanan yang saya tegakkan di perusahaan milik Surya Paloh tersebut.

Satu hal yang membedakan Bamsoet dengan wartawan atau reporter-reporter lainnya, penampilannya selalu “dandy”, klimis dan mapan. Mapan dalam arti, layaknya Bamsoet dari keluarga orang berada.

Yah, kalau ditinjau dari latar belakang ayahnya (almarhum), Bamsoet memang berasal dari keluarga mapan.
Ayahnya ketika meninggal dunia, berpangkat satu bintang atau Brigadir Jenderal. Saat itu polisi yang berpangkat satu bintang masih sangat sedikit.

Sebagai Redaktur Pelaksana Operasional dan menjadi atasannya, saya mengendarai sedan “City Car”, Suzuki Swift. Bamsoet pada waktu itu, sudah mengemudikan mobil “Volvo”. Kelas kami dari segi mobil, jauh sekali bedanya. Tapi perbedaan kelas yang timpang tidak membuat Bamsoet merasa lebih tinggi derajat dan status sosialnya.

Gedung “Prioritas” di Jl. Gondangdia Lama, kini menjadi kantor DPP Partai Nasdem, saat itu, lahan parkirnya sangat kecil. Hanya memuat paling banyak 6 buah mobil.

Dari 6 buah mobil itu hanya tiga yang paling menonjol. Jeep Mercedes milik Surya Paloh, sedan BMW Serie 5 milik Pemimpin Perusahaan Widjanarko Puspoyo dan Volvo milik reporter Bambang Soesatyo. Volvonya sama dengan yang digunakan para Menteri Kabinet-nya Pak Harto.

Setelah mereka bertiga barulah disusul mobil milik Pemimpin Redaksi, Nasroedin Hars (almarhum), Wakil Pemimpin Umum Panda Nababan dan saya, yang semuanya mobil buatan Jepang.

Sementara itu, hampir semua wartawan “Godila” (Gondangdia Lama) ketika itu masih berkendaraan roda dua, sepeda motor atau metro mini.

Ketika alat komunikasi “Starco” muncul di pasar, Bamsoet orang Godila pertama yang menggunakannya. Sewaktu telepon selular “Motorola”, masuk pasar Indonesia, hanya Bamsoet dan Soerya Paloh orang Godila yang memiliki alat komunikasi tersebut.

Penolakan saya atas keinginan Bamsoet datang ke rumah, bukan tanpa alasan. Tawaran Ketua DPR-RI ini membangkitkan ingatan saya pada kejadian di tahun 2003.

Di sebuah pagi di hari Minggu, Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati, tiba-tiba sudah muncul di depan rumah. Ajudannya, Letkol Suwandi memang menelpon, menanyakan alamat lengkap rumah sekaligus mengkonfirmasi apakah saya berada di rumah. Namun saya tidak menduga The First Genteman itu, akan secepat itu datang ke rumah.

Tidak sampai 20 menit, tiba-tiba deru motor gede yang baru mematikan sirine, sudah berhenti di depan.
Lalu dari sebuah Mercedes Hitam S Class, pengawal bergegas membukakan pintu untuk Taufiq Kiemas. Membuat suasana sekitar riuh. Semua tetangga “terbangun” dan seperti tidak percaya ada tamu VVIP yang masuk ke kompleks perumahan ‘rakyat’ tersebut. Saat itu Taufiq, tidak menduduki posisi apa-apa, kecuali sebagai suami Presiden atau The First Gentleman.

Tapi datang dengan cara seperti di kompleks, sudah cukup bikin heboh

Semua tetangga, kiri kanan dan bagian muka, mengarahkan perhatian ke rumah saya. Kikuk rasanya. Saya tak sempat ganti baju dan dengan hanya bercelana rumah serta kaos oblong membukakan pintu pagar dan pintu rumah.
Kedatangan Taufiq Kiemas, jelas bukan untuk sebuah pencitraan. Karena dia datang tanpa diikuti oleh pekerja media.

Bamsoet pun tentu saja (berencana) begitu. Taufiq Kiemas maupun Bamsoet mau berkunjung ke rumahku, bukan karena saya orang penting. Tapi karena seorang sahabat lama. Sahabat yang saling menghargai dan menghormati.

Keduanya ingin menegaskan, bahwa mereka tidak menganggap status resmi yang melekat dalam diri mereka, sebagai sesuatu yang harus menjadi penyekat dengan saya.

Bamsoet sendiri saat ini, tengah menjadi sorotan. Baru tiga hari dilantik sebagai Ketua DPR-RI, sudah ada kelompok kecil yang mendemonya. Mereka datang ke Gedung DPR-RI Senayan, layaknya sebagai tamu terhormat, namun sebetulnya ingin membuat keonaran.

Mereka tunggui Bamsoet di pintu masuk gedung utama. Bamsoet pun tidak curiga. Oleh sebab itu Bamsoet terus melayani pertanyaan para wartawan yang mengelilingnya.

Tiba-tiba muncul pekikan suara sambil berupaya membentangkan poster. Isi poster berupa permintaan agar Bamsoet diturunkan dari kursi atau jabatan Ketua DPR.

Berita itu langsung menjadi viral dan tak kurang dua sahabat dekat membaginya ke WA saya. Dengan tambahan pertanyaan, ada apa?

Belum sempat menjawabnya, muncul telpon yang menanyakan, apakah benar Bamseot terlibat dalam kasus e-KTP. Sebab beberapa jaringan tv swasta sudah memberitakan melalui “running text” bahwa KPK akan memeriksa Bamsoet sebagai saksi dalam kasus perkara Setya Novanto.

Persoalan yang terakhir inipun belum terjawab sudah muncul pertanyaan lain. Yaitu yang berkaitan dengan foto-foto di Instagram Bamsoet.

Disitu diposting aksi ketika Bamsoet berada di dalam Jet Pribadi dengan putera putrinya, plus sejumlah koleksi mobil mewah. Bamsoet menjadi “bulan-bulanan” wartawan.

Beberapa sahabat, termasuk wartawan yang membaca “Catatan Tengah” yang bercerita tentang pengenalan saya terhadap Bamsoet seolah menuding saya sebagai “jubir” Bamsoet yang telah secara sengaja menyembunyikan sejumah fakta faktual.

Beruntung saya punya bahan cukup dan akuntabel. Lebih dari lima tahun lalu, Bamsoet bercerita tentang kisah kegagalannya menjadi anggota DPR-RI mewakili Partai Golkar di Pileg 2004.

Dalam keadaan “galau”, Bamsoet mencari kesibukan dengan tanpa tujuan. Bamsoet hampir setiap hari ‘nongkrong’ di salah satu ruang asisten Ketua DPR-RI, Agung Laksono. Untung tak bisa diterka. Di saat itulah Ketua DPR RI kedatangan tamu yang bertujuan “menjual” asset sebuah perusahaan Kore Selatan, yang sudah dihibahkan kepada isteri Benny Moerdani (almarhum).

Perusahaan Korea Selatan ini memiliki konsesi hutan di Papua dan Kalimantan.

Benny Moerdani merupakan “advanced team” yang membuka KBRI di Seoul, Korsel. Nampaknya banyak pengusaha Korsel masuk ke Indonesia karena “sentuhan; Benny Moerdani.

Di Papua, perusahaan Korsel punya konsesi di dua tempat. Sementara di Kalimantan hanya berada di Kalsel, tapi yang tak pernah diduga, di bawah konsesi hutan tersebut, terdapat deposit batubara yang luar biasa banyaknya.

Pada saat itu itu harga batubara di pasar internasional, sedang bagus-bagusnya.

Dari sinilah awal berubahnya kehidupan Bamsoet secara signifikan. Bamseot sebagai pengusaha batubara papan atas. Sebab hasil dari penjualan batubara ini, membuahkan pundi-pundi Bamsoet membengkak tak terkendali. Uang triliunan rupiah, mengalir masuk ke pundi-pundi ataupun ATM Bamsoet.

"Setiap celaka ada gunanya. Kalau saya terpilih jadi anggota DPR di Pileg 2004, saya tidak akan nongkrong di ruang Pak Agung Laksono”.

"Kalau jalan hidup saya seperti itu, saya pasti tetap miskin bang,” ujar Bamsoet.

Dalam situasi seperti sekarang, dimana Ketua DPR di-stigma-kan seperti Setya Novanto, politisi Golkar ini kelihatannya akan membuka sejelas-jelasnya latar belakang kehidupannya. Sebab yang dirasakannya sekarang, hampir semua media, terus menyorotinya dengan rasa curiga.

Bamsoetpun mulai dikait-kaitkan sebagai politisi Golkar yang terlibat dalam proyek e-KTP. Hanya karena KPK merilis semua nama politisi yang duduk di Komisi II.

Sementara Bamsoet sendiri sejak proyek e-KTP itu mulai digoreng, duduk di komisi yang berbeda, komisi hukum atau Komisi III.

Saya pun melihat, rasa menghargai dari satu profesi sesama wartawan, dimana seorang Jurnalis bisa menjadi Ketua DPR-RI, terkesan nyaris tak ada.

Ini unik dan fenomenal dan sama dengan karir politik Bambang Seosatyo. Dia seorang wartawan masa lampau yang sukses di era milenia. Atau jurnalis jaman lampau yang sukses di jaman now.  [***]

Penulis adalah Wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA