Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN TENGAH

Kejinya Kebijakan Soal Politik Beras

*) Indonesia, Negara Agraris, Langganan Krisis Pangan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 14 Januari 2018, 08:33 WIB
HAMPIR seharian penuh di akhir pekan ini, hati saya galau. Penyebabnya bukan karena persoalan pribadi. Tetapi dampak dari persoalan kehidupan bangsa.

Persoalan bangsa itu, terungkap melalui informasi, berita televisi yang videonya menjadi viral dalam waktu yang hampir bersamaan.

Persoalan bangsa yang seharusnya tidak ada, tetapi menjadi ada.

Persoalan bangsa itu muncul, karena maaf – ketidak jujuran, dan keangkuhan ataupun kesombongan dari segelintir manusia. Mereka yang cukup beruntung karena menduduki posisi di kekuasaan, kemudian dengan kekuasaan, secara sadar memelintir dan memanipulasi situasi.

Informasi menjadi barang dagangan.

Media televisi menjadi ajang pertarungan dan pembelaan kepentingan sekelompok elit. Sementara media sosial menjadi perpanjangan tangan dari media mainstream, untuk penyebaran ke audiens berjuta orang. Yang menjadi korban rakyat Indonesia.

Dengan penuh rasa prihatin saya tak ragu mengatakan, pekan ini saya menemukan, banyak krisis yang terjadi di negara kita saat ini, tidak lepas dari unsur kesengajaan.

Krisis terjadi karena memang dibuat atau “krisis buatan ” (“Crisis by design”).

Pembuatnya, yah para segelintir orang yang berada di lingkar kekuasaan ataupun yang punya akses ke dan dengan kekuasaan.

Tetapi dari sekian banyak krisis itu, untuk saat ini, saya batasi pada persoalan “krisis beras”.

Baru seminggu masuk kerja di tahun 2018, tiba-tiba bangsa sudah dihadapkan pada kenaikan harga beras. Kenaikan harganya sangat tidak wajar.

Sebagai pemakan nasi dan nasinya terbuat dari bahan baku beras, saya heran. Mengapa?

Hingga dengan penghujung tahun 2017, Kementerian Pertanian rajin menyebarkan informasi bahwa stok beras mencukupi. Kebutuhan beras bagi penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta orang tersedia. Stok masih cukup untuk dua bulan ke depan.

Informasi atas ketersediaan stok itu, disiarkan berulang-ulang oleh televisi dan tentu saja menyejukkan. Setidaknya menurunkan suhu panas yang diakibatkan oleh Tahun Politik 2018 yang mulai bereskalasi menjelang berakhirnya tahun 2017.

Tapi tiba-tiba Menteri Perdagangan muncul di televisi dan bersuara. Mengultimatum para pedagang beras.

Mereka diminta untuk membuat laporan tentang stok yang mereka miliki.

Para pedagang diminta untuk, melepas ke pasar semua stok yang mereka simpan di gudang.

Dengan mimik yang tidak seperti biasanya ramah dan simpatik, Menteri Perdagangan kelihatan marah dan berada dalam suasana genting.

Dikatakannya, kekurangan beras yang menyebabkan kenaikan harga beras akan diatasi dengan cara mengimpor beras.

Penegasan Menteri Enggar, tentang solusi impor, kembali menyejukkan perasaan. Sebagai warga bangsa, bangga melihat ada anggota kabinet Presiden Joko Widodo yang begitu responsif, peka dan antisipatif.

Saya juga menganggap, Presiden RI Joko Widodo tidak salah merekrut eks politisi Golkar yang hijrah ke partai Nasdem ini.

Enggar, demikian panggilan akrabnya, yang berlatar belakang pengusaha – sejak diangkat menjadi Menteri di perombakan Kabinet Jilid II, memperlihatkan sikapnya yang selalu tanggap mengurus masalah perdagangan.

Sikap Enggar menunjukkan bahwa ia “sudah selesai” dengan semua persoalan pribadi, termasuk partai.

Oleh sebab itu Enggar bisa mewakafkan dirinya, untuk bangsa dan negara.

Pada waktu yang berbeda tapi hampir bersamaan, Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan dan eks Kepala BULOG (Badan Urusan Logistik) memberi ulasan soal urusan impor beras di TVOne.

Ulasannya, ‘menohok’ Enggartiasto dan para petinggi di kalangan Kementerian Pertanian.

Impor bukan solusi. Dan Kementerian Pertanian harus lebih hati-hati memberikan data. Rizal minta agar angka yang disuguhkan oleh Kementan, jangan “berlebihan”.

Rizal juga bercerita tentang bahaya dari sebuah kebijakan impor.

Pada saat ini menurut Rizal, sekalipun harga beras baik, Indonesia tidak perlu melakukan impor. Karena stok beras masih tersedia untuk dua bulan ke depan dan sebulan lagi petani padi, akan melakukun panen. Jadi kalaupun kekurangan beras, kekurangan itu bisa diisi oleh stok yang tersedia di gudang Bulog.

Itu sebabnya, Rizal heran, mengapa ada kebijakan impor beras? Rizal mewanti-wanti, impor beras, kedele, gula misalnya, sering dijadikan sebagai tempat untuk mencari keuntungan oleh yang melakukan impor.

Rizal tidak menyebut nama ataupun lembaga. Akan tetapi menurutnya, kalau mau 'maen', maksudnya mencari keuntungan pribadi, maka di kegiata impor itulah kesempatan untuk memperoleh keuntungan.

"Disana ada komisi," katanya.

Dan hasil komisi ini tidak bisa dideteksi. Sebab uang hasil komisi tersebut langsung bisa dimasukkan ke dalam rekening bank yang berada di luar negeri.

Secara tersirat ataupun tidak langsung, Rizal Ramli mengajak masyarakat untuk tidak percaya begitu saja terhadap kebijakan impor beras yang dibuat Menteri Enggartiasto.

Sekalipun Rizal tidak menyebut nama Enggar, tetapi melalui teknologi intelektual, ia seakan mengirim pesan WA bahwa kebijakan Menteri Enggar, sesuatu yang naif.

Rizal, selain bekas menteri, juga menjadi pendiri dan pemilik perusahaan konsultan politik dan ekonomi berbendera “Econit”. Perusahaan konsultan ini didirikannya bersama Laksamana Sukardi, mantan Menteri BUMN-nya di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Rizal dan Laksamana kelihatannya, tidak aktif lagi di 'Econit'. Tetapi perusahaan konsultan itu masih eksis, dipimpin oleh seorang ekonom yang dipercaya oleh Rizal dan Laks. Dan sesekali memberi ulasan dan prognosa tentang keadaan Indonesia.

Boleh jadi Rizal juga masih memanfaatkan segala informasi dan kajian perusahaan konsultan itu.

Jujur, saya sangat terprovokasi oleh ulasan Rizal Ramli. Dan sebaliknya saya kecewa dengan Menteri Engartiasto.

Terus terang, untuk bersikap jujur atas persoalan ini, bukanlah hal yang mudah. Dalam keadaan tertentu, hubungan saya dengan Rizal dan Enggar, sudah mempribadi. Rizal dan Enggar merupakan dua sosok yang saya kenal sudah cukup lama.

Boleh jadi mereka tidak lagi menganggap saya sebagai sahabat atau teman. Karena status saya sekarang tidak lagi menjadi pimpinan dari sebuah media. Dan persahabatan saya dengan keduanya, terjadi, karena status saya sebagai orang media.

Tidak gampang beropini secara kritis, bila menghadapi situasi seperti ini. Namun apapun yang terjadi,  - terutama karena opini, saya tetap menganggap keduanya sebagai sahabat.

Enggar, mungkin, dia satu-satunya politisi yang kalau bersapa dengan saya bisa 'loe-loe gue'.

Ini terjadi karena faktor sejarah terjadinya persahabatan dan saya berhutang budi padanya.

Rumah pertama saya di Jakarta, setelah keluar dari 'Kompleks Perumahan Sinar Harapan' di Pondok Gede, Bekasi, diperoleh melalui Enggar. Saat dia menjadi dirut dari semua perusahaan properti milik Siswono Yudhohusodo. Enggar dipercaya Siswono, ketika yang terakhir ini diangkat Presiden Soeharto sebagai Menteri.

Atas diskresinya, tanpa melalui izin Siswono, rumah tersebut saya peroleh yang sebagian besarnya dibayar dengan 'barter iklan' di majalah 'Vista'.

Enggar 'memberikan' rumah tersebut kepada saya, atas 'perintah' Surya Paloh, yang di tahun itu merupakan bos saya  - investor majalah “Vista”.

Enggar sekarang menjadi anggota Partai Nasdem, partai yang didirikan Surya Paloh. Saya tidak ikut di Partai Nasdem, dan bukan lagi anak buahnya Suya Paloh.

Sementara, Rizal sebelum menjadi Menteri Keuangan di kabinet Presiden Abdurrahman Wahid - (1999-2001), merupakan langganan saya - nara sumber aktif untuk talk show di Radio Trijaya FM.

Saat menjadi salah satu pemandu 'Jakarta Round Up' maupun 'Jakarta First Channel' radio Trijaya FM saya sudah berubah status : wartawan Media Indonesia.

Keberadaan saya di Radio Trijaya selaku wartawan, merupakan bagian dari penugasan Surya Paloh sebagai investor harian pagi tersebut.

Saat itu hubungan Surya Paloh dengan pemilik Radio Trijaya okey-okey. Pemilik atau pemegang saham mayoritas radio swasta tersebut Bambang Trihatmodjo dan Mbak Tutut. Keduanya merupakan putra-putri Presiden Soeharto.

Saya menjadi salah seorang pemandu talk show Radio Trijaya selama 10 tahun (1992 – 2002).

Dan Rizal Ramli, bekas aktivis ITB yang sangat kritis terhadap pemerintahan Presiden Soeharto merupakan pemasok sejumlah kritikan untuk berbagai permasalahan bangsa melalui Radio Trijaya.

Di era Presiden Soeharto zaman yang dikenal sebagai periode di mana pemerintah sangat ketat mengontrol semua opini di media, terutama yang mengeritik kebijakan Orde Baru. Rizal Ramli sudah cukup vokal dan kritis.

Dan uniknya, kevokalan Rizal Ramli lebih banyak tersalurkan melalui talk show di Radio Trijaya.

Tidak berlebihan, jika dalam batasan tertentu antara Rizal Ramli dan saya terdapat kesamaan visi. Yaitu melakukan kritik kepada pemerintahan Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto - melalui media milik anak-anak Pak Harto.

Yang penting cara menyampaikan kritik harus elegan, santun, bermartabat dan tidak boleh bermuatan rasa dendam ataupun 'like and dislike'.

Suara, nada dan lirik kritik itu boleh keras.

Atas kesadaran dan kejujuran itu, kami tidak perlu merasa takut atau khawatir untuk ditangkap apalagi dipersekusi oleh mereka yang suka 'menjilat' Presiden Soeharto.

Kegalauan saya tentang beras, menjadi-jadi, setelah mendengarkan postingan dari sebuah laporan MetroTV - media milik Surya Paloh.

Karena saya menduga, Surya Paloh, sekalipun pemilik, dia tidak menyaksikan tayangan yang saya maksud.

Padahal kalau saja SP menontonnya dan dia manfaatkan materi itu untuk masukan bagi Presiden Joko Widodo, kita tidak akan perlu khawatir tentang pasokan beras ke depan.

Laporan berdurasi sekitar lima menit itu, mengungkapkan tentang eksisnya seorang petani cerdik bernama Surono.

Petani ini sudah menemukan sejumlah bibit unggul padi dan ubi. Hasilnya sangat produktif.

Tapi rumus pembibitan yang produktif ini, tidak digunakan oleh pemerintah, cq Kementerian Pertanian.

Oknum yang bertanggung jawab atas produktifitas beras Indonesia, lebih percaya kepada konsep asing atau impor.

Berulang-ulang saya putar kembali video tersebut. Dan kesimpulan saya semakin kuat. Informasi yang begitu berharga, tidak ada yang memperhatikannya.

Mulai dari Surya Paloh sebagai pemilik media, sampai dengan Enggar sebagai anak buahnya SP, sami mawon. Keduanya sibuk dengan urusan politik 'tingkat tinggi'. Dan tentu saja Rizal Ramli, termasuk yang mengabaikan video tersebut.
.
Seandainya Enggar menonton liputan Metro TV itu, mungkin dia akan tetap membuat kebijakan impor, tapi pada saat yang sama dia juga mengumumkan tentang temuan petani Surono. Sehingga dia bisa berjanji, kebijakan impor beras kali ini merupakan yang terakhir.

Selanjutnya, Surya Paloh sebagai pemilik stasiun televisi, juga akan disadarkan bahwa untuk kepentingan yang lebih luas, MetroTV perlu lebih memperbanyak liputan-liputan yang tidak melulu politik atau mengurangi porsi iklan Partai Nasdem sendiri.

Video liputan tentang Surono, petani yang menemukan konsep bagaimana meningkatkan produksi beras dan pangan, telah saya coba sertakan di tulisan ini. Tapi tidak berhasil.

Bagi yang berminat, saran saya mintalah filenya ke Enggar atau Pak Surya – eh maksud saya – langsung saja kepada redaksi MetroTV.[***]


Penulis merupakan Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA