Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN TENGAH

Makna Pilkada Pulau Jawa Bagi Masa Depan NKRI

Momen Penentu Nasib Pancasila & Soekarnoisme

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 06 Januari 2018, 06:37 WIB
Makna Pilkada Pulau Jawa Bagi Masa Depan NKRI
PILKADA Serentak 2018 boleh dibilang, merupakan pertarungan sekaligus krisis terberat yang dihadapi PDIP. Sebab menghadapi kontestasi yang disebut-sebut sebagai ajang pemanasan memasuki Pilpres 2019, PDIP sebagai partai papan atas, justru terkesan sangat miskin kader untuk level Gubernur. Khususnya yang berkemampuan membela Soekarnoisme dan Pancasila.

Jadi dengan ‘kemiskinan’ seperti itu, secara tidak langsung, PDIP hanya bisa menitipkan pesan dan harapan kepada para pimpinan kepala daerah yang berpilkada. Yaitu kalau menang, hendaknya mereka mempertahankan Indonesia sebagai sebuah negara seperti yang dititipkan Soekarno.

Bahasa politiknya, titipan itu bermakna mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, filosofi dan ideologi bangsa.

Dan yang tak kalah pentingnya, kepada para calon pemimpin daerah itu diminta meyakinkan agar rakyatnya - pada waktu Pilpres 2019 tetap mendukung calon Presiden dari PDIP apakah itu Jokowi atau calon lainnya.

Tentu saja menitipkan kepentingan seperti itu bukan hal yang mudah. Mengingat pesan titipan itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Melainkan hanya melalui wakil pimpinannya thok. Berhubung tokoh PDIP hanya menduduki posisi wakil, sebuah kedudukan yang tidak berbeda dengan “ban serep” dari sebuah mobil. Hanya pimpinan cadangan.

Saking miskinnya kader, untuk Pra Pilpres 2019 di Pilkada Jabar dan Jatim, dua daerah yang merupakan lumbung suara bagi siapa yang ikut kontestasi Pilpres 2019, kader PDIP, hanya menjadi seperti “pelengkap penderita” atau “penyanyi latar”.

Di Jabar, kemiskinan kader PDIP itu merupakan sebuah ironi. Sebab kursi PDIP di parlemen daerah (DPRD) cukup banyak..

Selain itu, di Jabar, terdapat kader PDIP yang berani maju. Sayangnya tidak didukung atau dipercaya oleh DPP. Diantaranya, putri sulung Guntur Soekarnoputri. Guntur merupakan anak lelaki dan tertua Bung Karno.

DPP atau Megawati mungkin menghindari tuduhan nepostime, bila dia mendukung keponakannya.

Tapi kalau alasan itu yang menjadi ukuran, persoalannya tidak sinkron dengan keputusan DPP yang mengizinkan yang bersangkutan menjadi anggota DPR-RI atau menjadi kader partai.

Padahal keponakan Megawati Soekarnoputri ini, selain membawa nama “trah Soekarno” secara langsung, jauh-jauh hari sebelum Pilkada Jabar bergema, sudah membentuk team pemenangan, berikut siapa yang menjadi pasangannya.

Jadi dalam masalah Pilkada Jabar, kelihatannya ada masalah internal di PDIP yang tidak terselesaikan.

Nah akibat persoalan internal tersebut, kemungkinan besar PDIP harus dan terpaksa mendukung Ridwan Kamil, yang bukan kader PDIP.

Walikota Bandung ini sejauh ini tidak dikenal sebagai seorang tokoh yang tidak pernah bersentuhan dengan PDIP apalagi memperjuangkan kepentingan PDIP.

Kedudukan Walikota yang diraihnya sekarang, berkat dukungan PKS dan Gerindra.

Dukungan terhadap Ridwan, secara politik tidak sepenuhnya salah. Boleh jadi lebih disebabkan faktor kedekatan PDIP dengan Nasdem, partai baru pimpinan Surya Paloh, yang sejak awal berkoalisi dengan PDIP mendukung Jokowi di Pilpres 2014.

Di Pilkada Jabar, Nasdem merupakan partai pertama yang mendeklarasikan dukungannya terhadap Ridwan Kamil.

Dukungan kepada Ridwan Kamil, tetap menyisakan fakta, adanya faktor keterpaksaan dan unsur ketidak siapan yang antisipatif.

Jadi cukup jelas, di provinsi Jabar ini, PDIP seperti kehilangan “jati diri” ataupun patriotismenya.

Ini sebuah ironi bagi PDIP.

Terutama jika partai ini masih terus menyuarakan sebagai partai “wong cilik” hasil pembibitan PNI.

PNI sendiri didirikan oleh Soekarno di Jawa Barat, dengan "nama awal" Marhaen yang bertujuan untuk melepaskan Indonesia yang miskin, dari jajahan Belanda.

Marhaen diperkenalkan Soekarno sebagai "wong cilik" yang miskin.
.
PNI merupakan cikal bakal dari munculnya partai nasionalis yang membela rakyat miskin melalui ajaran Soekarno atau Soekarnoisme dan Pancasila.

Yang dilakukan PDIP ataupun Megawati menghidupkan dan memaksimalkan Soekarnoisme dan Pancasila.

Selain kasus Jabar sebagai sebuah ironi, juga sebuah kegagalan politik. Dan sayangnya hal ini terjadi setelah PDIP muncul sebagai partai penguasa.

Yang bisa ditafsirkan dari ironi dan kegagalan ini adalah berarti PDIP secara struktur birokrasi tidak akan punya kader yang menjadi pembela Soekarnoisme dan Pancasila.

Sementara di Jatim, tak kalah rumitnya. Kader-kader PDIP saling bersaing melalui pasangan yang berbeda.

Azwar Anas kader PDIP dan Bupati Banyuwangi maju dalam Pilkada tapi hanya sebagai orang kedua. Dia berpasangan dengan tokoh PKB/NU, Syaifulah Jusuf, Wakil Gubernur yang petahana untuk menjadi Gubernur.

Sementara kader PDIP lainnya, Dardak, juga seorang Bupati, maju sebagai calon Wakil Gubernur di kontestasi daerah yang sama - berpasangan dengan Khofifah Indar Parwansa, Menteri Sosial, sebagai calon Gubernur.

Dardak kemudian dipecat oleh DPP PDIP sebagai kader. Dia dianggap melanggar aturan internal partai. Sekalipun dia berpasangan dengan Mensos Khofifah yang nota bene anggota kabinet Presiden Jokowi yang juga kader PDIP.

Tapi belum sebulan Dardak dipecat DPP PDIP, Anwar Anas yang menjadi saingannya, mengumumkan pengunduran diri. Tidak jadi berpasangan dengan Syaifulah Jusuf yang mantan Menteri Pemuda dan Olahraga.

Hal ini tentu menjadi persoalan baru sekaligus mempermalukan dari segi tata krama.

Terutama karena pendeklarasian pencalonan Azwar Anas dengan Syaifulah yang masih menjabat Wakil Gubernur Jatim, dilakukan langsung oleh Ketua Umum Megawati.

Rumit dan mempermalukan, sebab mundurnya Azwar Anas dan dipecatnya Dardak sebagai kader, memperlihatkan lemahnya sistem pengkaderan. PDIP tak bisa menutupi adanya rentan disiplin anggota kader.

Di Provinsi Jawa Tengah PDIP juga menghadapi persoalan khusus. Gubernur Ganjar Pranowo sebagai petahana, dipastikan akan maju kembali.

Ganjar Pranowo sudah “terbebas” dari kasus e-KTP. Karena Andi Narogong yang disebut-sebut sebagai yang membagi-bagikan duit proyek e-KTP telah membantah. Andi mengatakan, ia tidak pernah membagikan uang untuk Ganjar.

Namun apapun alasan dan ceritanya, secara psikologis, pencalonan Ganjar, tetap berkendala. Kendala mana tetap menjadi “liability” PDIP.

Di Provinsi Banten, PDIP sudah terjungkal.

Sementara di DKI, daerah yang disebut-sebut menjadi ‘barometer’ politik nasional, jagoan yang didukung PDIP, Ahok Basuki Tjahaya Purnama, juga terpental. Ahok bahkan masuk penjara.

Terpentalnya Ahok, sesungguhnya merupakan sebuah kesalahan besar dan kegagalan PDIP membaca peta politik ril yang ada di masyarakat.

Sebab Ahok sendiri yang dikenal “politisi kutu loncat”, selain bukan kader PDIP, adalah bekas anggota PIB (Partai Indonesia Baru) kemudian loncat ke Golkar dan terakhir bergabung ke Gerindra.

Sejatinya Ahok tidak seratus prosen seorang nasionalis ala Bung Karno.

Ahok lebih mengesankan seorang politisi Kristen yang beretnis “Chinese” atau kelompok minoritas yang berpaham plularisme. Dan Bung Karno sebagai seorang nasionalis, pahamnya tidak bertentangan dengan plularisme apalagi memusuhi minoritas.

Soekarno pun di eranya memang mengangkat pejabat atau pembantunya yang berasal dari kelompok minoritas Kristen dan “Chinese”.

Tapi alasan Soekarno memilih orang Kristen dan “Chinese”, bukan karena latar belakang agama dan latar belakang etnis. Melainkan kualitas nasionalisme dan pembuktian integritas.  

Jadi tokoh-tokoh Kristen dan “China” di era Bung Karno, sekalipun minoritas, mereka sangat kuat dalam soal nasionalisme dan wawasan kebangsaan.

Visi negara sebagai pemimpin bangsa dari negara yang multiras, multi kultur serta multi agama, tidak diragukan.

Itulah yang antara lain melatarbelakangi mengapa Bung Karno mengangkat Dr. A.A Maramis, Menteri Keuangan pertama RI. Pengangkatan itu terjadi di saat Indonesia benar-benar belum atau tidak punya uang sama sekali.

Tokoh Kristen yang beristrikan wanita Belanda itu oleh Soekarno diberi tanggung jawab bagaimana negara yang baru merdeka bisa memenuhi kebutuhan para pejabat pemerintah, sehingga bisa mengelolah manajemen pemerintahan.

Soekarno juga menjadikan Oei Tjoe Tat sebagai Menteri di tahun 1960-an. Sebab Oei Tjoe Tat sendiri merupakan Ketua Umum Partindo. Dan Partindo disebut-sebut sebagai anak kandung partai nasionalis PNI-partai yang juga didirikan Soekarno sendiri.

Dalam konteks ini, Ahok Basuki Tjahaja Purnama, belum bisa disejajarkan dengan Oei Tjoe Tat apalagi seorang nasionalis sejati. Yang terjadi hanyalah usaha mengkait-kaitkan secara terpaksa nasionalisme Ahok ke paham Soekarno.

Dalam perspektif itu pula, ajaran Soekarno tentang nasionalisme dan kebangsaan perlu dilihat dan dipahami.

Jika persoalan nasionalisme dan ikutannya di atas dijadikan sebagai “bahan baku” bagaimana melihat kondisi PDIP, cukup jelas terlihat : apa yang menjadi kendala atau krisis PDIP saat ini.

Yaitu menghadapi konstestasi Pra Pemilu 2019, peristiwa ini merupakan pertaruhan terberat bagi partai berlambang Banteng tersebut.

PDIP terpaksa hanya bisa menitipkan masa depan Pancasila dan ajaran Bung Karno kepada partai yang berlaga, dengan modal percaya.

Sebuah penitipan yang seperti perjudian yang beresiko.

Semakin berat dan berresiko persoalan yang dihadapi PDIP, berhubung PDIP merupakan satu-satunya partai politik yang gigih memperjuangkan Pancasila sebagai Dasar Negara. Dan Dasar Negara tersebut yang ditemukan oleh Proklamator Soekarno, ayah mendiang Ketua Umum Megawati.

Beban PDIP dan Ketum Megawati bertambah berat sebab perjuangannya itu menghadapi banyak kendala. Megawati juga menjadi sendirian.

Datangnya kendala, tidak hanya dari eksternal PDIP. Melainkan termasuk di internal PDIP.

Tidak semua fungsionaris PDIP baik yang di jajaran pusat maupun daerah, benar-benar paham tentang nasionalisme ala Soekarno.

Untuk mencari kader yang berpaham ala Soekarno di tubuh PDIP saat ini, ibarat mencari berlian di dasar laut Samudera Pasifik.

Karena tidak jarang mereka yang masuk PDIP hanya sekedar supaya terlihat seperti Soekarnois.

Atau supaya bisa punya kendaraan politik. Kader seperti ini bisa dikategorikan “kader yang menumpang kos”. Atau kader berwatak oportunis.

PDIP sendiri merupakan fusi dari lima partai : PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Murba.

Dari kelima partai tersebut, PNI, partai yang didirikan oleh Soekarno, memiliki pengikut terbesar. Sementara Parkindo, Partai Katolik, IPKI (partai yang didirikan Jenderal AH Nasution), dan Murba, relative memiliki anggota yang jauh lebih kecil.

Itu sebabnya yang selalu menjadi Ketua Umum PDIP secara konvensi ataupun konsensus harus berasal dari unsur PNI atau kader pendukung Soekarnois.

Beban Megawati sebagai penerus cita-cita Soekarno, menjadi lebih berat. Sebab Pancasila saat ini tengah berada dalam ancaman.

UUD 45 sendiri yang merupakan “saudara kembar” Pancasila, sudah dipisahkan melalui amandemen.

Terakhir yang dilakukan MPR-RI pada tahun 2002. Hasil amandemen itu menunjukkan UUD 45 semakin bertolak belakang dengan Pancasila. Terjadi pertentangan UUD 45 versus Pancasila.

Pertentangan mana menjadikan sistem politik Indonesia rancu, namun seolah dinisbikan semua oleh semua kalangan.

Pancasila mengatur pengambilan keputusan, dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.

Sementara UUD 45 mengatur pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak atau “voting”.

Dalam kehidupan politik di Indonesia, sistem “voting” inilah yang diadopsi mentah-mentah. Terutama dalam pelaksanaan Pilkada dan Pilpres. Pertentangan mana sering menimbulkan perpecahaan di kalangan masyarakat bahkan termasuk keluarga.

Ada kekhawatiran berbagai perpecaan kecil yang terjadi di saat ini, sebagai akibat dari pertentangan Pancasila dan UD 45, bisa bereskalsi di Pilpres 2019.

Ujung-ujungny eskalasi itu menjadi ancaman bagi NKRI.

Meredam perpecahan yang sudah meluas itu tidak mudah. Sebab sebelum diciptakannya pertentangan Pancasila dan UUD 45, telah diciptakan perbedaan tentang sejarah kelahiran Pancasila. Ada Pancasila versi Soekarno yang menyebut kelahiran Dasar Negara itu pada 1 Juni 1945.

Golkar misalnya sebagai partai tertua di Indonesia termasuk yang ikut mendukung Pancasila sebagai Dasar negara. Tapi soal kelahirannya, tetap berbeda dengan PDIP.

Golkar mengakui kelahiran Pancasila 18 Agustus 1945 dengan konseptornya Mohamad Yamin.

Di sini cukup nyata, legacy Soekarno sebetulnya memang sengaja dikerdilkan. Dalam soal Dasar Negara, legacynya dipertentangkan dengan legacy Mohamad Yamin.

Sasrannya jelas untuk memecah persatuan dan kesatuan bangsa.

Sikap Golkar ini sejalan dengan ide Kepala Pusat Sejarah ABRI Brigjen Nugroho Notosusanto (almarhum) yang mengubah sejarah kelahiran Pancasila dan peranan Bung Karno dalam berbagai bidang sekaligus melakukan “de-Soekarnoisasi”.

Fakta sejarah politik ini, sepertinya mau diabaikan paling tidak dikaburkan. Padahal persoalan terbesar da tersensitif oleh bangsa Indonesia saat ini, apakah Pancasila patut menjadi filosofi dan Dasar Negara ?

Sementara di internal PDIP sendiri, kader yang benar-benar Soekarnois dan paham sejarah bangsa berdirinya NKRI, nyaris sudah punah.

Semenjak berpulangnya para Soekarnois seperti Abdul Madjid ataupun Taufiq Kiemas, Pancasila sebagai perekat bangsa, mulai kurang mendapat perhatian.

Sebelum berpulang, di bulan Juni 2013, Taufiq Kiemas dalam kapasitas sebagai Ketua MPR-RI Bang TK masih berusaha mengembalikan Pancasila dan UUD 45 dalam satu kesatuan, melalui kampanyenya, “Empat Pilar”.

Menyatukan UUD 45 dan Pancasila itu, sama dengan mengembalikan legacy para pendiri bangsa (founding fathers).

Sayang usaha Taufiq Kiemas itu tak terwujud.

Inilah pekerjaan terberat yang dihadapi PDIP, Megawati dan tentu saja Presiden Joko Widodo sebagai kader nasionalis. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA