Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Golkar Bisa Kembali Berkuasa, Asalkan …

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 03 Desember 2017, 14:59 WIB
Golkar Bisa Kembali Berkuasa, Asalkan …
Ilustrasi/Net
“GOLKAR tidak terbiasa berada di luar kekuasaan……”, begitu ucapan yang sering terdengar manakala terjadi perbincangan mengenai politik nasional, di bilik-bilik terbuka maupun tertutup.

Keberadaan Golkar di kekuasaan, namun hanya dalam bentuk perwakilan setingkat Menteri bahkan Wakil Presiden, justru membuat partai berlambang warna kuning ini, seperti sebuah partai berkelamin “LGBT”.

Tema di atas semakin nyaring terdengar seiring dengan tersangkutnya Setya Novanto, Ketua Umumnya dalam beberapa kasus.

Golkar di bawah kepimpinnan Setya Novanto, banyak hadirkan melodrama yang memperburuk citra.

Padahal Golkar yang dikenal sebagai “kendaraan” politik Orde Baru selama 32 tahun , sesungguhnya sebuah partai legendaris. Sebuah partai, ibarat sebuah fabrikan, banyak menciptakan produk bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Partai ini sudah banyak melahirkan pemimpin. Banyak kadernya yang berkualitas, sekalipun tidak sedikit kader-kadernya yang terlibat korupsi. Hal mana ikut merusak legenda tersebut.

Selama masa Jenderal Soeharto berkuasa, Presiden ke-2 RI ini berhasil menjadikan Golkar sebagai satu-satunya partai kepercayaannya.

Bersama kekuatan militer, Soeharto membentuk Golkar sebagai kekuatan politik yang tak tertandingi oleh PDI (Partai Nasionalis/Soekarnois) dan PPP (Partai Islam).

Terlepas dari adanya kelemahan-kelemahan baik sistem politik yang mengacu pada konsep Golkar maupun pemerintahan yang menggabungkan politik dan kekuatan militer, di era Golkar berkuasa, Indonesia pernah dicatat sebagai salah satu negara rujukan di Asia Tenggara. Negara yang menjadi penyedot investasi asing terbesar di wilayah Asia.

Politisi Golkar sempat disejajarkan dengan politisi LDP dari Jepang. Kalau saja politik menganut sistem parlementer seperti Jepang, setiap politisi yang berada di parlemen, berpotensi menjadi Perdana Menteri.

Elit politisi Golkar pun memenuhi syartat menjadi Presiden.

Memang, setelah Soeharto jatuh di tahun 1998, kekuasaan dan kekuatan Golkar pun ikut runtuh.

Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahkan nyaris membubarkan Golkar saat politik Indonesia terus berkisruh, sebagai akibat dari peralihan kekuasaan – dari rezim militer ke rezim sipil.

Satu hal yang tak dapat disanggah, dibalik kekisruhan itu ada sebuah pengakuan. Ada momen-momen tertentu, rakyat merindukan kembalinya sistem politik ala Golkar. Paling tidak, Indonesia diinginkan kembali ke sistem politik yang hanya mengizinkan tiga partai berhak hidup. Yakni partai agama (PPP), partai nasionalis (PDI) dan partai pekerja profesional (Golkar).

Artinya sistem multi partai yang diadopsi sekarang perlu dihapus. Karena sudah terbukti sistem multi partai yang diadopsi saat ini, lebih banyak menghasilkan politik transaksional dan politisi yang tidak berkualitas.

Multi partai saat ini, lebih banyak menciptakan politisi karbitan. Sudah dikarbit dan tak bermutu, tapi ingin menjadi penguasa. Sebab yang menjadi tujuan utamanya masuk partai adalah untuk mengejar kekayaan. Perspektifnya, dengan kekayaan, seseorang dapat meraih kekuasaan. Minimal mengontrol kekuasaan.

Memang di zaman Golkar menjadi “the ruling party” atau partai pemerintah, fraksi Golkar dan fraksi lainnya di DPR hanya menjadi semacam “tukang stempel” atau “yes man” atas berbagai kebijakan pemerintah.

Tapi kalau situasi itu bila dibandingkan dengan “yes man”-nya DPR sekarang, masih jauh lebih baik.

“Yes man” di era Orde Baru, lebih bermartabat dan bisa dimengerti alasannya.

Ketimbang sikap “oposisi” sekarang yang bisa berubah sepanjang ada lobi-lobi “wani piro”.

Kalau boleh bicara jujur, partai-partai baru yang lahir pasca reformasi 1998 dan kini memiliki fraksi, perwakilan mereka di DPR Senayan, tidak bisa dikatakan, murni sebagai partai baru.

Partai-partai itu merupakan “sempalan” Golkar.

Para individu yang mendirikan partai-partai baru, sejatinya hanya ingin memperoleh pengakuan sebagai pemimpin.

Mereka keluar dari Partai Golkar - karena alasan demokrasi. Tapi sebetulnya mereka adalah elit politik Golkar yang tidak mampu memperjuangkan aspirasinya dari dalam.

Mereka lalu mendirikan partai baru.

Tidak percaya? Coba tanyakan kepada para pendiri partai-partai dimaksud, apa yang membedakan partai mereka dengan Golkar?

Para pendiri partai Gerindra (Prabowo Subianto), Hanura (Wiranto), Demokrat (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Nasdem (Surya Paloh), dulunya merupakan fungsionaris di Partai Golkar.

PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) yang tidak punya perwakilan di DPR Pusat, pun demikian. PKPI yang didirikan oleh Jenderal Eddi Sudradjat, berdiri setelah Sudradjat kalah bersaing dengan Akbar Tanjung dalam memperebutkan kursi Ketua Umum Golkar di tahun 1998.

Sudradjat, seorang militer tulen, jenderal dengan segudang prestasi, merasa “malu” harus kalah dari seorang sipil Akbar Tanjung. Seorang politisi Golkar yang dibesarkan oleh pemimpin militer seperti Jenderal Ali Murtopo, seniornya Sudradjat.

Setelah kalah, bekas Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu keluar dari Golkar kemudian pada 15 Januari 1999, mendeklarasikan berdirinya PKP. Nama Indonesia sebagai tambahan, baru diberikan di ujung nama partai, tahun 2002.

Keputusan jenderal Eddi Sudradjat itu, secara tidak langsung menginspirasi jenderal-jenderal lainnya Wiranto, Prabowo Subianto dan SBY, memiliki partai sendiri.

Cukup lama Golkar tersandera oleh tingkah laku para elitnya yang tidak bisa mengembalikan “marwah” dan martabat partai, kini Golkar disebut-sebut punya calon pemimpin baru.

Dia adalah Airlangga Hartarto.

Di saat nama Airlangga Hartarto semakin mengerucut sebagai calon terkuat mengantikan Setya Novanto selaku Ketua Umum partai berlambang Pohon Beringin tersebut, pembicaraan soal “legenda” Golkar kembali menjadi perbincangan.

Ada kerinduan, pergantian Ketum ini bisa mengembalikan status dan porto folio Golkar sebagai partai berkualitas.
Terutama karena nama Airlangga Hartarto dianggap identik dengan politisi yang membawa kesejukan. Citra Airlangga, positif.

Pemimpin politik yang menggunakan “perpecahan” internal sebagai arena untuk memperkuat posisi, hendak ditinggalkan.

Mengapa citra positif Airlangga Hartarto tiba-tiba melambung demikian cepat ? Padahal sebagai politisi Golkar, putera mendiang Ir. Hartarto, Menteri Perindustrian di era Orde Baru ini tak terlalu banyak tampil di panggung publik.

Kebetulan saja Airlangga menduduki posisi Menteri Perindustrian di kabinet Presiden Joko Widodo. Hal mana membuat kegiatan-kegiatannya sebagai Menteri, lebih banyak diberitakan media.

Kalau bukan karena jabatan Menteri tersebut, nama Airlangga Hartarto, mungkin tak pernah muncul di pemberitaan. Penyebabnya antara lain karena sikapnya sendiri.

Airlangga bukan sosok politisi yang doyan publikasi. Sebagai politisi yang lahir dari dunia usaha, Airlangga Hartarto tergolong seorang sosok yang “low profile, high profit”.

Dia tahu hitung-hitungan, kapan bisa dapat untung, kapan tidak bisa sama sekali.

Dia paham dunia bisnis, dunia usaha dan sifat penguasa.

Tidak banyak yang tahu, Arlangga Hartartos sejatinya seorang pengusaha sukses.

Hanya karena itu tadi – sikapnya yang “low profile”, maka tidak banyak yang tahu seberapa luas dan kuat jaringan bisnisnya.

Dan kesuksesannya itu terutama karena dia mampu bekerja sama dengan pengusaha manapun, khususnya pengusaha sukses.

Di pertengahan tahun 1990-an, sebagai Ketua Emiten, perhimpunan para pimpinan perusahaan yang menjadi anggota pasar modal - Bursa Eek Jakarta (Indonesia), Airlangga Hartarto sebenarnya merupakan salah seorang nara sumber berita di dunia pasar modal.

Artinya, Airlangga merupakan sosok yang paham tentang dunia pasar modal. Bagi wartawan ekonomi, wartawan keuangan termasuk wartawan yang menggunakan profesinya untuk berpolitik, Airlangga merupakan nara sumber yang berkompeten.

Tidak seperti kebanyakan nara sumber yang “quotable” yang sering “menawarkan” diri kepada para Jurnalis agar pernyataan mereka bisa masuk media, Airlangga justru terkesan lebih suka “menjauhi” publikasi.

Entah apa masalahnya. Bisa jadi karena pengaruh ayahnya - salah seorang Menteri Senior di bidang ekonomi di era Orde Baru. Yang lebih suka “irit bicara” dari pada seperti menteri lainnya yang “hari-hari omong kosong” (ha**oko).

Yang pasti sifat positif inilah yang antara lain melekat dalam dirinya.

Sifat ini kemungkinan besar yang telah merubah visi sekaligus menarik simpati para pengurus daerah Golkar.

Ketika tadinya sebuah forum Munaslub mau digelar untuk menggantikan Setya Novanto, sejumlah pendukung setia Setnov, berusaha menggagalkan rencana itu.

Yang ingin menggagalkan itu termasuk Sekjen Partai Golkar Idrus Marham yang kini menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum.

Belakangan dicurigai. Idrus Marham pun sebetulnya berambisi menjadi Ketua Umum, bersaing dengan Airlangga Hartarto.

Namun seperti dikatakan sebuah sumber di Golkar, Minggu pagi tadi - keinginan Idrus, sudah sulit diterima.

Sebab mayoritas elit Golkar sudah jatuh cinta pada Airlangga Hartarto.

Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang dikenal lebih suka mendukung kader yang berasal dari satu daerah dengannya seperti Idrus Marham, justru lebih bersimpati kepada Airlangga.

Hal mana membuat posisi Menteri Perindustrian tersebut, semakin besar peluangnya terpilih secara aklamasi, menduduki posisi Ketum Golkar, menggantikan Setya Novanto.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dikabarkan, ketika menerima audiensi sejumlah pengurus DPD Golkar, juga sudah menegaskan keinginannya yang lebih suka Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum Partai Golkar.

Sikap Presiden dan Wakil Presiden ini, mau tak mau menjadi rujukan para elit Golkar.

Karena inilah untuk pertama kalinya, Joko Widodo sebagai kader PDIP dan Jusuf Kalla selaku kader Golkar, memiliki visi dan persepektif yang sama dalam soal politik.

Jelas, baik Jokowi dan JK sebagai politisi, sama-sama berpikir tentang kekuasaan dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Bagi Airlangga sendiri menjadi Ketua Umum Golkar saat ini, sangat mungkin bagi dia membuat Golkar kembali berkuasa.

Setidaknya untuk tahun 2024 dengan menjadikan tahan 2019 sebagai Pemilu Transisi.[***]

Penulis merupakan wartawan senior 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA