Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi, Menyembunyikan Yang Terlihat Mata...

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 05 November 2017, 07:49 WIB
Jokowi, Menyembunyikan Yang Terlihat Mata...
Joko Widodo/Instagram
SEBAGAI warga yang ‘keukeuh’ pada kebhinnekaan Indonesia, sebetulnya, posisi saya sebagai warga bangsa “fine-fine” saja, jika Joko Widodo terpilih kembali sebagai Presiden dalam Pilpres 2019.

Karena, selama Joko Widodo tidak menjadi pemimpin yang menggunakan isu agama dan ras sebagai alat perjuangannya, orang minoritas seperti saya, bisa hidup damai dan tentram.

Hidup di Indonesia, negara tercinta ini, tak akan merasa adanya tekanan. Atau tidak dibayangi oleh kekhawatiran untuk dipersekusi.

Diakui atau tidak, perasaan rasa tidak aman sebagai warga non-mayoritas, jelas sangat tinggi.

Terkadang saya ingin pulang kampung ke Manado sana, agar saya tetap merasa mayoritas. Atau pindah ke Spanyol, negara di mana saya punya anak mantu perempuan - dan tetap saya menjadi bagian dari mayoritas.

Yah, ancaman terhadap kaum minoritas itu eksis.

Ancaman itu berbentuk seperti “hantu”. Tidak terlihat manakala mau dicari. Tetapi selalu mengganggu manakala kita sendirian, berada di sebuah ruang sepi yang tanpa penerangan cukup.

Dan saya kira, perasaan tidak aman - selalu berada di posisi yang sulit, sebetulnya merupakan salah satu persoalan yang mengganggu warga bangsa lainnya, terutama etnik keturunan Tionghoa.

Perasaan tidak aman warga bangsa minoritas semakin mengental, setelah reformasi. Artinya reformasi, tidaklah menyentuh apalagi mengatasi masalah mayoritas-minoritas.

Hal mana dipicu oleh kenyataan, bahwa Pancasila, sebagai ideologi negara yang disusun oleh para pendiri bangsa, justru makin sering diperdebatkan pasca tumbangnya rezim otoriter. Seakan-akan Pancasila, tidak sesuai sebagai ideologi Indonesia, negara dan bangsa yang plularistis atau kebhinekaan. Sehingga Panvasila harus dibuang.

Rasa tidak aman, semakin membesar, ketika muncul tokoh-tokoh tertentu yang berkampanye secara terbuka. Menegaskan Indonesia bisa menjadi sebuah negara merdeka, berkat perjuangan oleh pemuka-pemuka agama yang agama mereka mayoritas.

Sejarah Indonesia mau dibelokkan.

Kampanye ini saya artikan sebagai sebuah sinyal bahwa kami sebagai turunan dari kaum minoritas, mau dikerdilkan peranan dalam pembentukan negara ini. Eksistensi kaum minoritas mau diabaikan.

Tokoh Minahasa dan minoritas seperti Sam Ratulangi, AA Maramis, Babe Palar, Arnold Mononutu, Daan Mogot, yang nama mereka tertera di buku sejarah, sekalipun ditulis di buku sejarah mau dinafikan. Atau Walter Monginsidi yang dieksekusi algojo Belanda, Westerling - karena ingin membela Indonesia, menjadi tak ada artinya. Pengorbanan nyawanya tak berarti.

Padahal film yang dibuat di era Soekarno memperlihatkan jiwa patriotismenya sebagai anak bangsa Indonesia. Monginsidi meminta eksekusinya dilakukan dengan mata terbuka.

Namun perasaan rasa aman terbangun kembali, ketika Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden yang mensosialisasikan kembali soal Pancasila. Dan Kepalanya, seorang intelektual Islam, Dr. Yudi Latif.

Pemahaman saya, Yudi Latif seorang murid cendekiawan muslim Nurcholis Madjid (almarhum). Yang berarti visi-visinya berlandaskan kebangsaan, kebhinekaan dan persatuan nasional.

Setelah UKP Pancasila dibentuk, Presiden Joko Widodo mengangkat Dr. Din Syamsuddin, seorang tokoh Muhammadiyah sebagai Utusan Khusus Presiden Untuk Dialog Antar Agama. Artinya sebagai pemimpin, saya melihat Presiden Joko Widodo sangat paham tentang pentingnya Pancasila sebagai ideologi negara, tidak diganti.
Dan berbagai perbedaan yang menimbulkan konflik, perlu diatasi melalui dialog-dialog.

Tapi rasa aman itu sifatnya hanya sementara. Sebab persoalan lain yang tidak kalah beratnya dan agaknya tidak bisa dilihat atau tak dapat diatasi oleh Presiden Jokowi sendiri. Persoalan itu, terletak pada kredibilitas dan akuntabilitas Kabinetnya. Sangat terasa, melalui pernyataan-pernyataan di media serta bahasa tubuh, sejumlah Menterinya, sebetulnya mereka tidak bekerja secara koordinatif.

Dua kali perombakan kabinet, ternyata tidak membuat koordinasi di kepemimpinan nasional, membaik. Dengan kata lain, tidak ada kekompakan yang nyata di antara sesama Anggota Kabinet. Lantas di mana kekuatan dan wibawa seorang Presiden?

Sebagai salah satu contoh, ketidak harmonisan komunikasi antara Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Persoalan dua menteri ini sudah terbuka ke publik

Intinya kedua menteri berbeda visi dalam soal PLN yang terlilit hutang yang cukup besar. Hutang besar itu pada akhirnya menjadi beban pemerintah. Dan keadaan itu akan sangat mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk “bertahan hidup”.

Semua kata-kata di atas dari saya. Kalimat yang mungkin terasa vulgar, tetapi lebih mudah dimengerti orang awam.

Persoalan PLN belum selesai, Menteri Keuangan sudah membuat pernyataan bahwa hutang luar negeri yang harus dibayar Indonesia saat ini, cukup besar dan membebani negara atau pemerintah. “Kalau Pulau Bali bisa kita jual, maka hasil penjualannya bisa kita gunakan untuk melunasi hutang”, demikian kurang lebih pernyataan Menteri Keuangan.

Pernyataan Menkeu ini semakin menunjukkan hadirnya "ketidak disiplinan" dalam diri pejabt tinggi. Ataupun pejabat yang tak tahu kepatutan dalam pemerintahan Joko Widodo, sah-sah saja.

Sekalipun saya tidak berpengalaman di pemerintahan, tetapi saya melihat pernyataan Menteri Keuangan tersebut sesuatu yang sudah keluar dari koridor. Secara tidak langsung, Menteri Keuangan sudah terang-terangan menegaskan, Indonesia sudah berada dalam status “gagal bayar”, “tidak mampu bayar” alias “bangkrut”.

Ibarat Indonesia sebuah keluarga yang ada rumah tangganya. Keadaan yang bersifat aib di rumah tangga Indonesia - oleh sang ibu yang memegang semua uang belanja, sudah bicara ke tetangga. Bahwa ayah anak-anak atau suaminya sudah tidak punya kemampuan membiayai rumah tangga mereka.

Memalukan khan? Yang lebih mengejutkan lagi, sebagai pejabat yang dipercaya mengelolah keuangan, Menkeu, ternyata tidak mampu menghasilkan apa yang dia janjikan.

Lihat saja kebijakannya tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Yang kalau kita buka kembali dokumen-dokumen pernyataannya, jelas berbeda dengan apa yang dia prediksikan.

Saya juga menandai, sorotan terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman, anak buah Jokowi, juga cukup intensif.

Yang terbaru soal proyek reklamasi Teluk Jakarta. Mengejutkan. Sebab Presiden Jokowi sendiri yang memberi “sinyal”. Bahwa izin reklamasi, tidak pernah diberikannya, baik semasa dia menjabat Gubernur Jakarta maupun setelah menjadi Presiden. Lalu muncul pertanyaan, siapa Menteri yang memberi izin tersebut ?

"Kalau begitu yang jadi Presiden, siapa dong…?" komentar beberapa netizen menyindir. Hal mana menunjukkan masyarakat Indonesia saat ini, sudah tidak seperti di era Orde Baru. Yaitu, rakyat sudah semakin kritis. Yang terjadi keberadaan pemerintah tidak lagi ditempatkan seperti di sebuah wilayah yang tidak dapat dan tidak boleh disentuh.

Tak boleh lagi ada anggapan, sekalipun kebijakan pemerintah, salah, rakyat akan tetap menerima dan mengamininya.

Masih di seputar kabinet dan cara Presiden memperlakukan para Menterinya.

Lagi-lagi saya akui, saya tidak punya pengalaman berada di dalam pemerintahan.
Walaupun begitu saya tidak berlagak sok tahu. Keberanian saya menyoroti Presiden Jokowi, terutama karena landasannya kejujuran dan tanggung jawab sebagai warga bangsa. Tidak punya agenda tersembunyi. Misalnya mengeritik tajam lalu berharap dikasih jabatan, proyek atau angpao.

Perspektif saya, Presiden sebagai pemimpin perlu kita beri masukan. Caranya melalui tulisan seperti ini. Presiden, tetap saja manusia biasa yang punya kelemahan dan kekurangan.

Selain itu saya bermodalkan logika sehat, sikap kritis dan pengalaman sebagai wartawan Istana, di era Presiden Soeharto. Plus pengalaman lainnya -pernah dekat sekali dengan Taufiq Kiemas, almarhum, yang di era Megawati, sempat dijuluki sebagai “Presiden Bayangan”.

Yang saya pedulikan cerita atau berita lainnya yang menyebutkan Kementerian BUMN ingin menjual sejumlah perusahaan milik negara kita.

Saya pertegas kata “kita” karena walaupun saya tidak punya saham liquid di semua perusahaan BUMN tersebut, tetapi secara konstitusional, BUMN itu milik semua warga negara Indonesia. Kaget dan bercampur bingung. Mengapa rencana menjual itu tidak muncul di awal pemerintahan Jokowi-JK ? Mengapa baru sekarang ? Mengapa tiba-tiba ? Artinya saya menandai gagasan itu, merupakan cerminan bahwa pemerintah saat ini tengah berada dalam keadaan terdesak atau menghadapi krisis keuangan.

Intinya, tidak punya uang untuk membiayai pembangunan dan mungkin juga jalannya pemerintahan. Tidak puas dengan keadaan itu saya lakukan berbagai “survei”. Caranya dengan menanyai sejumlah relasi yang saya anggap memiliki pengetahuan menyeluruh tentang bidang terkait.

Terakhir saya bertemu dengan Suryo Bambang Sulisto, mantan Ketua Umum KADIN Indonesia. Suryo, yang akrab dipanggil “Gembong” oleh teman-teman dekatnya, dengan tegas mengingatkan, bahwa BUMN merupakan Benteng Terakhir pertahanan ekonomi Indonesia. Semua urat syarat bisnis, berada di sana.

Jadi kalau dijual dan yang membelinya pihak asing, dengan transaksi itu, Indonesia otomatis sudah dikuasai asing. Dan Gembong sangat yakin, tidak ada orang Indonesia yang mampu membeli BUMN-BUMN kita.

Jadi kalau ada perorangan atau bahkan korporasi, maka pembeli itu pasti hanya dijadikan “perantara”. Di balik mereka berada pihak asing yang menjadi pengendali.

Saya berharap Presiden Joko Widodo peka dengan apa yang dikatakan, Gembong Sulisto, seorang pengusaha yang pernah diangkat Presiden RI sebagai Duta Besar Keliling untuk Wilayah Amerika.

Tapi apapun ceritanya, di sini saya merasa “kasihan” dengan Presiden kita ini. Presiden kita orang yang baik. Wajah dan bahasa tubuhnya menunjukkan, dia tidak punya aura untuk ‘menipu’ rakyat Indonesia. Dia bisa menjadi Walikota, Gubernur tanpa melakukan korupsi. Karena itu, sulit menuduhnya sebagai seorang Presiden yang suka makan duit rakyat.

Rakyat Indonesia, sebagian besar menaruh kepercayaan pada dirinya. Untuk membangun dan mengangkat derajat Indonesia, sehingga sejajar dengan negara-negara maju. Sayangnya, dia tidak punya tim pembantu yang kuat. Dia tidak seperti Jenderal Soeharto (almarhum) yang dalam waktu singkat bisa menentukan siapa pajabat yang harus menjaga pos strategis Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Sekretaris Kabinet.

Sudharmono dan Moerdiono (semuanya sudah almarhum) sepanjang Soeharto berkuasa, tidak pernah ditempatkan jauh dari kedua pos itu.

Kekuatan Soeharto - sehingga mampu berkuasa di Indonesia selama 32 tahun, antara lain terletak di keputusannya menentukan siapa yang patut menduduki posisi penting dan strategis.

Jokowi yang saking baiknya, tidak melihat jauh ke depan seperti Soeharto. Jokowi menyusun kabinet seakan-akan hanya membagi kursi.

Lupa atau tidak sadar, kursi yang diberikannya itu, sangat penting dan strategis. Sebab kursi-kursi itu bisa berubah wujudnya. Kursi di pemerintah sama dengan KEKUASAAN !

Karena itu, sudahlah. Saya sarankan agar Jokowi ikhlas tidak maju lagi di Pilpres 2019. Biarlah Jokowi sebagai legenda. Sifatnya sebagai orang baik itu kita jadikan sebagai rujukan. Bahwa Indonesia pernah punya Presiden yang kebaikannya dimanfaatkan oleh orang-orang tidak berbudi baik.

Maafkan yah Pak Presiden kalau ungkapan saya kali ini, mungkin terkesan sombong dan menggurui. Jangan lihat ungkapannya. Tapi nilailah apa yang tersirat.

Sejauh ini saya lihat Pak Jokowi terus berusaha menyembunyikan apa yang terlihat jelas dan pandangan mata dan dirasakan oleh nurani. Maksudnya sih baik. Tapi hasilnya tidak demikian.[***]


Penulis Adalah Wartawan Senior  

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA