Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peran Soekarno 'Didegradasi' Oleh Anies Baswedan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 30 Oktober 2017, 14:05 WIB
Peran Soekarno 'Didegradasi' Oleh Anies Baswedan
Anies Baswedan/Net
KETIKA Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI berbicara tentang perlunya kebangkitan pribumi di Jakarta, saya melihat hal itu sah-sah saja. Bukan sesuatu yang bisa menyebabkan NKRI ‘kiamat’.

Bahkan ketika membaca naskah pidatonya yang diviralkan oleh Ichan Loulembah, mantan anggota DPD-RI dari Sulawesi Tengah, saya sepakat, isi pidato itu tidak sedang mempersoalkan eksistensi pribumi dan non-pribumi.

“Tidak ada yang salah dari pidato kawan saya itu”, demikian tulis Ichan, bekas Senator dan produser Radio Trijaya FM tersebut.

Terminologi pribumi itu menjadi sensitif, mungkin karena faktor psikologis saja.

Gubernur Baswedan pada Pilkada 2017, berhasil menyingkirkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Seorang putera Indonesia keturunan Tionghoa yang masih diberi label sebagai “non-pribumi”.

Diakui atau tidak, Pilkada DKI 2017, telah menyebabkan masyarakat ibukota “terbelah”. Mereka yang pro terhadap Baswedan dan yang lebih suka Ahok. Yang nota bene, dua-duanya bukan “pribumi”.

Itu sebabnya saya tidak tertarik membahasnya secara panjang lebar. Karena pada akhirnya hanya akan memperpanjang perdebatan yang tidak produktif.

Pidato Baswedan soal pribumi lebih terkesan, dia masih bereforia atas kemenangannya terhadap Ahok. Jadi manusiawi saja.

Yang tidak tepat adalah karena Anies seolah-olah masih ingin melanjutkan perdebatan dan persaingan Pilkada DKI. Ini yang tidak patut dan tak elok.

Oleh pernyataannya itu, Pilkada DKI 2017 yang sudah lama usai, dihidupkan kembali dengan aroma seperti persiapan Pilpres 2019.

Ditambah dengan peliputan pers yang tidak cukup akurat atau utuh, maka jadilah pernyataan itu menimbulkan kehebohan.

Masalahnya menjadi berbeda, sewaktu Anies Baswedan pekan ini mempersoalkan peran Soekarno. Terutama peran Proklamator itu dalam Konperensi Asia Afrika.

Dan Baswedan mempersoalkan peran Soekarno, hanya selang beberapa hari setelah pernyataannya tentang pribumi.

Baswedan menilai �" kalau saya tidak salah menafsirkannya, Soekarno bukanlah orang yang berperan besar dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa Asia Afrika.

Persoalan Soekarno dan isyu pribumi, menjadi berbeda, terutama karena pernyataan itu muncul di saat yang tidak tepat.

Saat masyarakat sedang rindu atas hadirnya ketenangan dalam dunia politik, Baswedan justru menyampaikan pernyataan yang dapat menyebabkan politik bergejolak lagi.

Saat masyarakat berharap Baswedan bicara soal Jakarta, dia justru bicara soal sejarah dan peran seorang Proklamator.

Baswedan belum kelihatan bekerja bagi rakyat Jakarta, tapi yang dia prioritaskan soal Sejarah Politik Soekarno.

Urusan sejarah Soekarno, tidak ada relevansinya dengan tugasnya sebagai pemimpin Jakarta. Kecuali jika Baswedan ingin merobohkan Monas, ikon Jakarta yang dibangun di zaman Presiden Soekarno.

“Kali ini Gubernur Anies Baswedan, Gabener”, begitu celoteh seorang netizen. Celotehan mana sungguh sesuai dengan apa kata hati nurani saya.

Sekalipun pernyataannya tentang Soekarno - hanya dipahami dari pemberitaan di media-media sosial, tetapi di sini saya memperoleh kesan, pernyataan bekas Menteri Pendidikan yang diberhentikan Presiden Joko Widodo saat masih menjabat, sudah keluar dari “rel kepatutan”.

Kalau pernyataan itu disampaikannya ketika kampanye Pilkada 2017, mungkin masih bisa dipahami.
Atau pernyataannya tentang Soekarno akan dianggap patut, sekiranya sebelum diberhentikan dari kabinet, Baswedan dikenal sebagai guru sejarah atau sejarawan sekaligus peneliti dari LIPI.

Artinya bisa ditafsirkan, Baswedan ingin kembali ke profesi lama, menjadi Guru Sejarah.

Sayangnya yang terkesan, Baswedan sebagai seorang politisi nasional atau setara dengan anggota DPR-RI.
Dia seolah menunjukkan kepada masyarakat, sebagai Guberner ibukota NKRI, dia bisa bicara tentang apa saja. Termasuk mengoreksi bahkan mendegradasi peran Soekarno sebagai tokoh bangsa-bangsa Asia Afrika.

Dalam diri saya tidak mengalir sedikitpun titisan darah Soekarno. Saya juga bukan anggota partai yang mengadopsi paham Soekarno.

Walaupun demikian, saya memiliki perasaan dekat terhadap ketokohan Soekarno. Lewat buku-bukunya antara “Soekarno Penyambung Lidah Rakyat”, “Sarinah” atau “Indonesa Menggugat”, saya memperoleh marwah dan aura, betapa bangganya menjadi bagian dari rakyat Indonesia. Atau negara yang pernah dipimpin oleh Soekarno.

Saya percaya dengan sejarah dan Civic yang diajarkan di SMP dan SMA di kota kelahiran saya. Bahwa Soekarno merupakan sosok yang berperan besar dalam menentukan identitas bangsa.

Peran signifikannya, tidak bisa dibantah.

Peran dan pengakuan atas Soekarno dalam terselengaranya pertemuan pemimpin-pemimpin Asia Afrika di Bandung, April 1955, tak pernah diragukan sama sekali.

Pengakuan ini saya dapatkan dari berbagai kalangan. Antara lain melalui wawancara dengan sejumlah nara sumber di luar negeri.

Dan saya berani bertaruh, pekerjaan mewawancarai seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Anies Baswedan.

Tahun 1993-1995, sebagai wartawan “Media Indonesia” saya ikut mengumpulkan data bagi penyusunan buku Gerakan Non Blok �" “The Non-Aligned Movement Towards Next Milineium”.

Editor buku tersebut Prof. Dr. Juwono Sudarsono.

Untuk kebutuhan tersebut, selama hampir dua tahun, saya bolak-balik Jakarta-New York (Markas Besar PBB).

Di Markas Besar PBB itu tugas utama saya hanya satu: mewawancarai semua Duta Besar dari negara-negara Afrika dan Asia yang menjadi anggota Gerakan Non Blok (GNB).

Sekalipun yang dibahas soal GNB, tetapi para narasumber selalu merujuk pada KTT GNB pertama di Beograd, Yugoslavia. Momen dimana seluruh wakil negara-negara Afrika dan Asia yang terjajah bertemu.

Kesimpulannya antara lain, yang membuat KTT GNB pertama itu bisa digelar, berkat peran besar Soekarno dari Indonesia, sebelumnya. Yaitu Konferensi Asia Afrika.

Mengapa Konferensi Asia Afrika bukan di New Delhi (India) atau Kairo (Mesir) ?

Tidak lain karena yang dianggap sebagai tokoh utama yang membangkitkan semangat melawan penjajahan adalah Presiden Indonesia Soekarno.

Secara geografis hampir semua negara peserta Konperensi AA, lebih dekat ke Kairo atau New Delhi. Tetapi mereka lebih merasa bersemangat, bertemu di Bandung sekalipun lokasinya lebih jauh. Penyebanya faktor Soekarno.

GNB tidak lahir, bila tidak didahului oleh Konferensi Asia Afrika, Bandung. Dan peran Soekarno selalu disebut sebagai sangat sentral.

Respektasi terhadap Soekarno dan Indonesia diberikan oleh semua diplomat Afrika dan Asia.

Ketika Konferensi Asia Afrika Bandung dan KTT GNB pertama di Beograd digelar, banyak di antara para Dubes negara yang saya wawancarai, mengaku - saat itu negara mereka masih dijajah oleh Inggeris, Prancis, Spanyol atau Portugis bahkan Belanda dan Belgia.

Mereka paham sejarah dan peran Soekarno. Bertolak belakang dengan Gubernur Jakarta saat ini.

Soekarno diakui sebagai pembangkit dan penyebar semangat. Pidato-pidatonya mampu membangkitkan semangat pejuang-pejuang Afrika dan Asia, keluar untuk melawan penjajah yang rata-berkulit putih atau datangnya dari Eropa.

Buku GNB - yang dimotori Dr. Juwono Sudarsono kemudian diberikan sebagai hadiah oleh Presiden Soeharto sebagai Ketua GNB periode 1992-1995, bagi para anggota GNB yang ber-KTT di Kartagena, Kolombia.

Pak Ju (Juwono) sebagai intelektual sangat sadar bahwa GNB indentik dengan peran besar seorang Soekarno. Dan Presiden Soeharto pada waktu itu sedang berupaya menunjukkan kepada Indonesia dan dunia secara keseluruhan bahwa dialah yang berhasil membesarkan GNB.

Di era Soeharto pula, Konferensi Asia Afrika yang ke-30 tahun, diperingati pada tahun 1985, atau 7 tahun sebelum KTT GNB di Jakarta.

Pada peringatan itu walaupun Soeharto sangat berkuasa, tidak ada acara yang dibuat untuk mendegradasi Soekarno.

Itu sebabnya ketika menulis tentang peran Soekarno di GNB dan Konferensi Asia Afrika, Pak Ju sebagai seorang terpelajar yang paham politik, sangat hati-hati menyebutkan Soekarno.

Namun yang menarik, tak sedikitpun muncul pernyataan baik secara implisit apalagi blak-blakan dari Presiden Soeharto untuk mendegradasi peran Soekarno.

Sebuah sikap terpuji dari seorang pemimpin.

Tidak itu saja, buku GNB tidak mengalami sensor sama sekali. Padahal di era itu, rezim Soeharto sangat terkenal dengan sensor-menyensor.

Padahal biaya pembuatan buku sebanyak US$ 5,- juta berasal dari kantong Bambang Tri, putera Presiden Soeharto yang saat itu menjabat Dirut PT Bimantara Citra.

Sebelum dan selama proses penulisan buku tersebut, Pak Ju dan tim, tidak pernah menerima pesan dari Cendana bagaimana memformat isi buku tersebut. Agar lebih berat atau miring ke Soeharto. Atau peran Soekarno dikecilkan.

Termasuk, tidak ada pesan supaya peran Soekarno di Konferensi Asia Afrika dan GNB, supaya didegradasi.

Sehingga hal ini membuat saya bertanya-tanya. Apa sebetulnya yang ada di balik benak bekas Menteri Penddikan Anies Baswedan ini?

Apakah sebuah kecelakaan, keseleo lidah atau ada maksud-maksud lainnya?

Sementara itu upayanya untuk mengerdilkan peran Soekarno di perjuangan bangsa-bangsa Asia Afrika sangat tidak patut apalagi jika tujuannya didasarkan pada kalkulasi politik.

Mengapa?

Dia tidak belajar dari bossnya, Pak Prabowo Subianto.

Sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, partai yang mendukungnya dalam Pilkada 2017, Prabowo dikenal sebagai salah seorang pengagum Soekarno. Hal mana antara lain tercermin dari caranya berpakaian, ala Soekarno.

Sehingga menjadi sangat janggal dan tidak “nyambung”, kalau Baswedan berusaha mendegradasi Soekarno.

Singkatnya, argumentasi Baswedan sudah tidak valid. Atau bak sejarawan Baswedan tengah berupaya membelokkan sejarah. Atau membohongi publik. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA