Kesederhanaan pesta pernikahan ini, tentu saja sayang kalau dilewatkan begitu saja. Dalam arti, sayang, kalau tidak disorot ataupun ditulis.
Mengapa?
Karena kesederhanaan sudah menjadi "barang mewah" bagi bangsa kita saat ini. Hidup dalam kesederhanaan, seolah bukan hal yang wajar.
Tapi kali ini, kesederhanaan itu ditunjukkan atau dihidupkan kembali oleh Presiden.
Lewat pernikahan putrinya, Presiden Jokowi membuktikan, bahwa sekalipun dia sudah menjadi Orang Nomor Satu di negara yang berpenduduk 250 juta jiwa, tapi dia tetap seorang anak bangsa yang sederhana.
Gaya hidupnya yang sederhana, tidak berubah hanya karena dia sudah terpilih sebagai Pemimpin, Kepala Negara.
Pesta pernikahan itu, tidak dieskpos oleh media secara berkelebihan.
Sekalipun Presiden Jokowi memiliki kewenangan dan pengaruh untuk menggelar pesta pernikahan putrinya di salah satu Istana Kepresidenan atau gedung mewah, hotel berbintang tujuh, namun hal itu tidak dilakukannya.
Jokowi adalah Jokowi, pernikahan putrinya, tidak ada kaitan dengan statusnya sebagai Presiden.
Jadi keputusan Jokowi untuk menggelar pesta pernikahannya dengan cara sederhana, membuktikan bahwa kehidupan yang sederhana bukanlah hal yang tabu atau terlarang bagi masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi bagi para elit.
Kita mungkin lupa dan tidak sadar, bahwa perubahan gaya hidup - dari kebiasaan sederhana menjadi hedonis, termasuk salah satu penyebab atas terjadinya krisis di negara kita.
Semua berlomba dan memaksakan diri untuk menjadi kaya. Sebab setelah kaya, bisa memiliki pengaruh dan kekuasaan. Sesudah punya kekuasaan, bisa menentukan atau mendikte orang lain. Pada akhirnya terjadi perbenturan.
Dalam perlombaan itulah, tercipta berbagai benturan.
Perbenturan sosial, terjadi dimana-mana. Di antaranya terciptanya sebuah jurang pemisah antara yang sukses dan gagal. Tercipta jurang pemisah dalam pola pikir.
Pandangan orang kaya tentang demokrasi, misalnya berbeda dengan yang miskin. Pandangan tentang krisis, bersebarangan antara politisi dengan orang non-partisan. Dan seterusnya.
Kondisi negara kita - sesunggguhnya masih dalam cengkeraman krisis. Tapi pemaknaan tentang krisis itu, tidak sama.
Jumlah orang yang miskin jauh lebih banyak dibanding dengan mereka yang berkepunyaan. Namun para ahli statistik, belum tentu mencatatnya secara akurat.
Karena birokrat yang membutuhkan data statistik, belum tentu setuju dengan data yang akurat tersebut. Lagi-lagi terjadi perbenturan.
Di antara orang miskin itu sendiri, banyak di antara mereka yang benar-benar tidak punya apa-apa. Saking miskinnya, mereka tidak tahu apakah esok hari masih ada makanan yang bisa mengisi perut mereka yang kosong.
Dan orang-orang miskin seperti ini, tidak semuanya mengisi pojok-pojok lampu merah di kota-kota Nusantara. Sehingga para ahli statistik pun tidak mendata fakta ini secara akurat.
Orang-orang termarginal seperti ini, banyak yang yang tak terdeteksi. Sebab mereka hidup di luar dari keramaian. Mereka menyepi, keluar dari keramaian, bukan karena ingin hidup tenang tanpa gangguan. Namun mereka ingin menyepi karena tidak bisa keluar dari lingkar kemiskinan.
Jumlah tenaga kerja yang menganggur masih dalam hitungan jutaan. Jumlah jutaan penganggur boleh jadi melebihi total penduduk sebuah negara kecil, negara sahabat.
Pengangguran, jelas mengganggu kestabilan sebuah negara. Apalagi kalau para penganggur itu banyak yang berpura-pura hidup sebagai 'bukan pengangguran'.
Dalam banyak hal dan sikap, krisis, kemiskinan dan pengangguran kita bantah dengan berbagai cara. Termasuk dengan penampilan seperti orang yang berpunya.
Kita juga tahu, jumlah orang kaya yang menunggak hutang dan pajak, masih cukup banyak. Tetapi karena mereka dekat dengan kekuasaan atau memiliki pengaruh untuk mengatur kekuasaan, hidup mereka tetap aman dan makin mapan.
Orang-orang kaya seperti itu, sebetulnya yang ikut menciptakan masalah bagi bangsa. Tapi karena kekayaan yang dimiliki, mereka bisa berdalih bahwa yang menciptakan masalah adalah bukan mereka.
Kitab hidup dalam ketidak jujuran. Kita mempraktekkan budaya hidup yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang sehat.
Secara ekonomi, negara kita belum atau tidaklah cukup kondusif bagi semua rakyat. Tetapi sejumlah elit khususnya, tetap ingin membantah, melalui gaya hidup yang serba mapan.
Kita mengalami krisis identitas dan rasa percaya diri. Semua pihak berlomba menjadi kaya. Ingin hidup di luar batas kemampuan. Ingin memiliki segala-galanya. Dari materi sampai dengan kekuasaan. Ketika semuanya sudah berhasil direngkuh, sebagai manusia, juga tokh masih tetap tidak puas. Ingin hidup dengan lingkungan yang serba wah dan melebihi kebutuhan.
Saya punya beberapa teman yang berhasil menjadi orang kaya. Uang misalnya, tak lagi menjadi sebuah persoalan. Saking berlimpahnya uang yang masuk ke pundi-pundi dan rekening pibadi, semua prilaku dan gaya hidupnya berubah.
Mereka menjadi selektif dalam berteman. Mereka melihat persoalan bangsa dengan cara yang berbeda. Maka solusi yang mereka tawarkan pun berbeda, Lagi-lagi terjadi perbenturan.
Dari tadinya biasanya makan nasi, diganti dengan kentang atau roti. Dari biasanya minum air putih diganti dengan anggur putih atau merah dari Prancis atau Itali.
Cara melihat soal kebutuhan sembilan bahan pokok pun menjadi berbeda.
Perubahan dan perbedaan-perbedaan seperti itu yang sesungguhnya ikut menciptakan krisis.
Semoga dalam pemahaman soal kesederhanaan, kita masih bisa bersatu pandang.
Semoga pesta pernikahan sederhana putri Pak Presiden, lancar dan sukses. Serta bisa menjadi rujukan kembali tentang sebuah kesederhanaan. [***]
Penulis adalah wartawan senior