“Permesta†adalah sebuah Perang Saudara yang melanda Minahasa khususnya atau Sulawesi Utara umumnya pada tahun 1957-1961.
Yang sangat terekam dalam memori, kejadian 60 tahun lalu, sebelum kami menjadi pengungsi Perang Saudara. Setiap malam, maut dan kematian itu seperti sudah di depan kamar.
Pasalnya, pada malam hari, ketika sedang berada dalam peraduan, kami (orangtua dan saya) dibangunkan oleh dentuman roket yang ditembakkan dari jarak jauh.
Perkiraan, roket itu berasal dari Mapanget, bandara yang sudah dikuasai oleh Tentara (Pemerintah) Pusat.
Kalau sebelumnya, setiap kali ada dentuman, kami berlari ke hutan di belakang rumah di desa Warisa, untuk berlindung. Kami berdiiri di balik pohon besar. Belakangan kami bersembunyi di dalam bunker. Lobang persembunyian yang digali di dalam rumah.
Tapi sekalipun sudah berlindung di dalam bunker, penembakan roket itu tetap menimbulkan ketakutan.
Daya rusaknya sangat kuat.
Sebelumnya sudah jatuh korban. Seorang warga yang kalau tidak salah namanya Dary, sedang berada di kebon yang menjadi wilayah “Permestaâ€. Dia tewas tertembak oleh peluru yang ditembakkan dari pesawat patroli, milik Tentara Pusat.
Sehingga tak ada cara lain kecuali meninggalkan desa Warisa, bebas dari serangan roket di malam hari.
Kami mengungsi ke arah bandara Mapanget (kini Sam Ratulangi). Dengan begitu kami sebetulnya sedang menyerahkan diri ke Tentara Pusat.
Saya pun, sekalipun masih bocah sangat takut berada di wilayah Tentara Pusat. Walaupun ada tembakan roket, saya lebih merasa aman berada di lingkungan “Permestaâ€. Gerakan ini punya daya tarik. Oleh pelatih, saya diberi kursus tentang cara meledakkan granat Taiwan dan buatan Amerika. Termasuk menggunakan senjata laras panjang “Renville†buatan Amerika. Juga cara bertiarap seperti ular paiton, agar tidak terdeteksi mahluk manusia di sekitar. Cara mematikan ular untuk kemudian bisa disantap, sudah saya pelajari dengan sangat antusias.
Yang harus dihindari adalah “ular hitamâ€. Ular ini katanya berbisa dan sering dikaitkan dengan kematian.
Kalau kelaparan di hutan, dan tak ada buah apalagi nasi, saya sudah tahu jenis pohon mana yang bisa membunuh rasa lapar. Kalau haus, akar pohon yang bagaimana yang harus diminum. Dan seterusnya.
Secara instan, saya sudah menjadi Tentara Permesta. Sekalipun belum diberi pangkat, dan senjata permanen. Karena masih dianggap anak-anak.
Orangtua pun yang sekalipun tiap makan harus berdoa, melengkapi saya “opo-opo†yang didahului ritual. Katanya, dengan “opo-opoâ€, tubuh saya sudah kebal sabitan peda, semacam kelewang. Entah kalau soal peluru. Jadi PD-nya bukan kepalang. Saking PD-nya diam-diam saya ingin berduel satu-lawan-satu dengan Tentara Pusat.
Tapi orangtua merujuk ke paman Bus Kairupan yang sudah lebih dulu mengungsi, ke wilayah Tentara Pusat. Pak Tua Bus, demikian saya memanggilnya, justru masuk ke jantung wilayah Tentara Pusat, di Komo Dalam, kota Manado.
Paman Bus Kairupan, aman di sana. Padahal puteranya, Frans Kairupan, sepupuh saya, berada di Minahasa Selatan sebagai anggota “Permesta†sekaligus pengawal pribadi Kolonel Wim Tenges.
Orangtua yang membawa bungkusan besar yang berisi baju, selimut menyatu dengan piring dan alat perkakas lainnya, terlihat membawa beban yang cukup berat.
Dengan nafas yang terasa berat, mereka tetap melarang saya memandang ke kiri dan ke kanan. Apalagi menengok ke belakang. Padahal saya ingin melihat nasib hewan piaran saya.
Ada pameo di hutan, sekali kita berjalan, tidak boleh menengok ke belakang, Itu pemali.
Setelah menyeberangi sungai yang disebut “Kuala Talawaanâ€, dan berjalan kaki sejauh enam kilometer, tibalah kami di desa Wusa. Di desa itu juga sudah ada pengungsi dari desa-desa sekitar. Semua pengungsi ditampung oleh keluarga setempat.
Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja kami sudah menumpang di rumah Keluarga Pussung - Kullit.
Orangtua, memutuskan mengungsi bukan hanya rasa takut terkena serangan roket, tetapi karena kemampuan memberi makan kepada tantara “Metaâ€, julukan bagi “Permestaâ€, sudah habis.
Semua bekal makanan yang seharusnya menjadi milik kami, diambil oleh tentara “Metaâ€. Yang diambil, bukan hanya yang ada di dalam rumah. Tetapi juga yang berada di luar seperti ternak sapi yang diikat di kebun yang ada rumput-rumputan.
Apalagi yang namanya ayam dan babi piaran. Satu persatu diminta oleh tentara “Meta†yang nota bene masih saudara dekat atau saudara jauh yang tetesan darahnya, satu sumber.
Keadaan ini justru mulai menimbulkan friksi baru. Karena dua-duanya - pihak “Meta†dan pihak kami butuh hidup. Lama-lama, hukum rimba mulai berlaku. Siapa kuat dia yang hidup.
Saya tidak ingat persis, berapa lama kami berstatus pengungsi. Tetapi rasanya lamaaaaaa sekali.
Rasa lama itu terjadi, karena hidup sebagai pengungsi, harus kuat menahan cibiran warga setempat dimana kami menumpang. Lebih banyak tidak nyamannya.
Di rumah keluarga Pussung - Kullit itu, kami cukup beruntung. Keluarganya baik semua. Berbulan-bulan kami makan gratis, makan bersama dalam satu meja. Keluarga Pussung - Kullit ini, saat itu tergolong orang terkaya di Wusa. Sebab mereka punya usaha jual beli kopra.
Orangtua saya, sempat menawarkan diri menjadi buruh kasar di Gudang Kopra milik mereka. Misalnya mengisi kopra ke dalam karung kemudian di muat ke mobil yang membawanya Gudang Pembeli terdekat. Sebagai kompensasi makan dan tinggal gratis di rumah mereka. Tapi sang tuan rumah tidah membolehkan.
Semakin orangtua saya merasa sa;ah tingkah dan berhutung budi. Sementara untuk mencari penghidupan lain, tidak ada dan tidak mungkin. Kami tidak punya uang sepeserpun, kecuali Uang Permesta yang tidak berlaku. Jadi kami harus hidup dari rasa kasihan orang lain.
Tiga anak lelaki mereka, Herman yang dipanggil Geis, Yafet dan Uce, semuanya bersekolah di kota Manado. Sementara dua anak kembar wanita mereka - Lelly dan Melly, seumuran saya, masih tinggal di Wusa.
Sebagai anak-anak saya diajari orangtua, bagaimana bersikap ketika makan siang atau makan malam bersama. Kelakuan saya sebagai anak tunggal, yang apapun saya mau harus dituruti, harus dibuang.
“Walaupun ngana so lapar skali, ngana nimbole lebe dulu ambe makang. Tunggu jo sampa mama atau papa ambe akang makanan for nganaâ€, nasihat kedua orangtua.
Yang kalau diterjemahkan, artinya kurang lebih begini ; Jangan sekali-kali kamu mengambil makanan di atas meja, sekalipun sudah lapar sekali. Biarkan ibu atau ayah yang mengambilkan makanan.
Orangtua terpaksa menasehati dengan keras seperti itu, sebab rupanya mereka perhatikan. Di saat sedang doa makan, semua menutup mata dan menundukkan kepala, keadaan itu saya manfaatkan mengambil sebuah potongan ikan di meja. Soalnya aroma makanan di meja itu sangat menggiurkan.
Setiap malam sebelum tidur, saya diberi pemahaman tentang apa artinya menjadi pengungsi, menumpang di rumah orang. Saya harus menyapu, membersihkan halaman yang dikotori dedaunan. Dua kali sehari, untuk halaman yang luasnya mungkin 1.000 meter.
Demikian banyak yang tidak boleh dilakukan. Dan yang cukup berat adalah saya tidak boleh makan banyak atau setiap saat bilang lapar.
“Kalu terpaksa kita hanya makan sekali saja dalam sehariâ€, saya ingat pesan mama dalam Bahasa Melayu Manado yang sangat nyelekit.
Saya disarankan, kalau sudah mendekat waktu makan malam agar cepat-cepat ke tempat tidur dan berpura-pura sudah pulas tertidur. Pada waktu itu saya akan ditemani oleh ibu atau bapak. Dengan berlinangan air mata saya turuti nasehat orangtua.
Sehingga yang makan bersama dengan pemilik rumah yang kami tumpangi, hanya satu orang - mama atau papa.
Pada satu waktu, saya tidak ingat persisnya, desa dilanda kekeringan. Sumur-sumur di setiap rumah, tak menghasilkan air sama sekali. Sehingga tak ada air yang bisa digunakan untuk minum, memasak dan mandi.
Dalam keadaan itu, saya harus ikut rombongan anak-anak pergi ke sebuah sungai, dipinggir desa Wusa. Sambil membawa bambu yang ada lobangnya - sehingga bambu itu bisa diisi air bersih. Berjalan kaki sekitar dua kilometer ke sungai dekat desa Tumbohon tersebut. Di sana saya mandi sekalian mencuci baju. Mandi dan cuci baju tanpa sabun.
Pekerjaan itu saya lakukan secara terpaksa, karena anak-anak desa setempat juga mengerjakan hal yang sama.
Memikul bambu berisi air memang cukup berat. Tetapi yang lebih memberatkan, bagaimana memilih air bersih dari sungai itu yang layak diminum.
Pasalnya, air sungai itu sendiri sudah tercemar. Terutama oleh kotoran manusia. Secara keseluruhan airnya masih sangat jernih, karena berasal dari pegunungan. Tetapi berhubung penduduk desa di bagian atas (hulu?), juga menggunakan air dari sungai yang sama, mereka juga menggunakannya semaunya.
Manakala sudah kebelet, ingin membuang air besar, yah di saat itu juga mereka melakukannya. Lalu kotoran manusia yang kadang berwarna kuning dan sudah terpecah-pecah, mengalir ke desa tempat kami mengungsi.
Dari situlah kami harus pandai-pandai memilih dan memilah air yang bisa dimasukkan ke bambu, tempat penampungan air bersih. Sebuah keterpaksaan, dan tak ada pilihan lain.
Tuhan memang maha penyayang. Menghadapi kesulitan seperti itu, saya tidak pernah jatuh sakit. Demikian pula orangtua. Artinya, sekalipun saya pernah minum air bening yang pernah dikotori oleh tinja manusia “Permestaâ€, tetapi tubuh saya tetap imun dari penyakit.
Yang tersisa adalah Sejarah Permesta, sebuah Perang Saudara, membuat saya sangat membenci kepada siapapun yang suka memprovokasi keadaan.
Karena dalam kalkulasi politik saya, Perang Saudara hanya mungkin terjadi jika ada provokator. Sebaliknya kalau sebuah perang bisa diakhiri, setelah terjadi kehancuran, seharusnya sebuah Perang Saudara pun bisa dicegah terjadi atau dihindari.
Semoga pengalaman hidup di era Perang Saudara “Permestaâ€, tidak dialami oleh anak cucu dan cicit saya. Sembari berdoa agar warga bangsa dan NKRI, dihindarkan dari Perang Saudara. Amin dan GBU semuanya.
[***]Penulis adalah wartawan senior