Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Cara Indonesia Dan China Memanfaatkan Waktu 20 Tahun

*) Sistem Anti-Komunis Versus Pro-Komunis

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Rabu, 24 Mei 2017, 07:13 WIB
<i>Cara Indonesia Dan China Memanfaatkan Waktu 20 Tahun</i>
Foto/Net
TAHUN 1983, saat mengkuti program beasiswa pemerintah Prancis, saya tinggal di sebuah apartemen di Massy, luar kota Paris. Apartemen itu berfungsi sebagai asrama yang khusus disediakan bagi seluruh "stagiers" yang datang dari benua Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Banyak kesan yang tidak bisa dilupakan begitu saja dari pengalaman hidup di negara industri tersebut.

Kehidupan 34 tahun lalu di era Perang Dingin itu, cukup sarat dengan perjuangan dan persaingan ketat.

Salah satu yang cukup berkesan, melihat cara hidup dan bersaing para "stagiers" dari RRT (Tiongkok atau China Daratan).

Saat itu, RRT baru 5 tahun membuka diri dengan dunia luar, ditandai dengan pencairan hubungan diplomatiknya dengan Amerika Serikat pada tahun 1978.

Mahasiswa-mahasiswa komunis RRT (China), kemana saja mereka pergi, selalu bergerombol dan bersikap inklusif. Walaupun saat itu ada juga mahasiswa komunis dari Nikaragua, Amerika Latin, atau Angola, Afrika, tetapi nampaknya komunis China, komunis Amerika Latin, dan komunis ala Afrika, tidak gampang bersenyawa.

Orang-orang komunis China, nampaknya sadar diri, sekalipun datang dari sebuah negara terbanyak penduduknya di dunia, tetapi dalam banyak hal mereka jauh tertinggal dengan negara lain, termasuk Indonesia.

Terutama saat itu, Indonesia sudah mulai disebut-sebut sebagai negara berstatus calon "Macan Asia" atau NIC (Newly Industrialized Country-Negara Industri Baru).

Kemiskinan dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh penerapan ideologi komunis, sangat jelas terbaca dari cara mereka bersosialisasi.

Mulai dari cara berpakaian dengan mengenakan baju sederhana sampai dengan cara mereka mengkonsumsi makanan.

Mereka jarang makan makanan ala Prancis, yang rata-rata didominasi daging, roti kering, salad, keju, fromage dan minuman anggur. Mereka lebih memilih menu Asia berupa nasi atau mie dengan minuman teh. Dengan mengkonsumsi makanan Asia, mereka masih bisa berhemat beberapa franc, uang mana mereka "saving" untuk kebutuhan lainnya.

Menu Asia rata-rata lebih murah dan bahan-bahannya banyak dijual oleh toko-toko Vietnam. Prancis ketika itu tercatat sebagai salah satu negara Eropa Barat yang memiliki komunitas Vietnam yang relatif cukup besar.

Kehidupan demokratis, gaya hidup yang bebas yang sudah mandarah daging di kalangan orang Prancis, terkesan tidak sesuai dengan budaya RRT sebagai orang yang berpaham komunis.

Dan dari penampilan para mahasiswa RRT, mereka tidak sedang berusaha menyembunyikan keterbelakangan mereka.

Sebaliknya, sadar atas keterbelakangan itu, mereka belajar dengan sangat serius. Seakan setiap mahasiswa RRT mendapat pesan dari pemerintah Beijing, agar setiap orang harus memiliki etos yang tinggi dalam belajar.

Dari baju yang dikenakan, menunjukkan demikianlah tingkat kesederhanaan hidup orang-orang di daratan Tiongkok.

Di saat musim dingin, baju yang mereka kenakan, rata-rata terbuat dari bahan murah. Supaya bisa menahan rasa dingin yag menusuk tubuh, mereka kenakan baju berlapis-lapis. Sepintas, baju yang mereka kenakan, mirip dengan baju-baju yang dijual di Pasar Tanah Abang atau Pasar Senen, Jakarta Pusat.

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya 2003, untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Shanghai, RRT. Saya ikut serta dalam lawatan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Saya sungguh terkejut melihat kontrasnya kehidupan di RRT. Sangat bertolak belakang dengan bayangan orang-orang China yang dulu, dua dekade sebelumnya bersama-sama di Prancis.

Seperti tidak percaya, dalam waktu dua puluh tahun, RRT sudah melakukan loncatan raksasa yang demikian jauh. Kemanapun pergi di down town Kota Shanghai saya menemukan orang China yang seakan hidup dengan gaya Prancis. Tak ada lagi mahasiswa-mahasiswi kumuh dan lecek.

Shanghai sendiri, kota dagang terkemuka di RRT sesuai informasi yang dimuat majalah internal hotel, sudah berubah menjadi sebuah kota metropolitan yang dari segi modern, jauh lebih maju ketimbang Paris, ibukota Prancis.

Kalau di Paris pembangunan hotel baru, dengan peringkat bintang lima nyaris tidak ada, di Shanghai kegiatan pembangunan seperti itu sedang ramai-ramainya.

Selain hotel dan pencakar langit yang berada di lokasi-lokasi yang strategis, anak-anak muda RRT, sudah sangat familiar dengan fashion ala Paris.

Mall yang menjual baju, sepatu, parfum yang selama puluhan tahun menjadi khas dari Kota Paris, sudah mengkhiasi Kota Shanghai.

Mobil merek "Buick", salah satu merek terkenal di Amerika Serikat terlihat ramai di jalan raya. Tak ubahnya dengan jalan raya di Jakarta yang dibanjiri merek Toyota.

Jalan raya yang menghubungkan bandara dengan Kota Shanghai, demikian modern. Terdiri atas dua jalur, tetapi setiap jalur bisa dilalui oleh empat kendaraan sekaligus. Kedua jalur dipisahkan oleh semacam taman, di mana di dalam taman itu dibiarkan tumbuh bunga-bunga cantik sebagai penghias. Menjadikan estetika jalan raya utama itu, enak dilihat dan dilalui.

Pada malam hari, jalan raya yang panjangnya mencapai kira-kira Jakarta-Bogor, memancarkan pemandangan indah. Sebab dihiasi oleh cahaya lampu mercuri yang berada di sepanjang jalur taman itu.

Dari ukuran ini saja, kota Shanghai sudah jauh mengungguli Jakarta, ibukota negara kita.

Kehidupan keras di Paris, dengan uang beasiswa pas-pasan, yang kembali membayang, pupus dengan suasana kehidupan modern kota Shanghai.

Ketika di Paris, walaupun harus berjuang keras, tetapi saya merasa tidak perlu berjuang keras seperti cara para mahasiswa RRT. Ada perasaan sangat bangga menjadi orang Indonesia sekaligus mengasihani kehidupan manusia-manusia dari RRT.

Di tahun 1983 itu, untuk ke tempat pelajar dan praktek di lembaga pendidikan di jantung Kota Paris, harus naik kereta api selama tidak kurang dari 2 jam dari apartemen di Massy.

Manakala berada dalam satu kereta dengan para mahasiswa RRT, saya sering berpikir, ilmu jurnalistik yang bagaimana yang bisa dipetik atau dipelajari oleh mahasiswa komunis RRT dari sistem pers yang liberal ala Prancis?

Tapi saya tidak berani bertanya. Takut membuat rekan mereka tersinggung.

Bagi saya, ilmu apapun yang diajarkan oleh para profesor Prancis, kepada mereka yang datang dari negara non-komunis, ajaran itu tak akan membawa manfaat. Sebab dari sistem kebebasan, yang diadopsi oleh pers masing-masing, sudah berbeda jauh.

Di CFPJ (Centre de Formations et des Perfectionement des Journalistes) sebuah lembaga pendidikan jurnalistik tempat kami belajar, sering terjadi diskusi ataupun debat. Para mahasiswa RRT, lebih banyak pasif.

CFPJ itu letaknya dekat dengan Museum Louvre - museum yang menyimpan patung Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci.

Di dekat museum itu ada sebuah cafe yang saya lupa namanya, dimana kita bisa menikmati kopi expresso berjam-jam, ditemani sepotong roti croissant.

Cafe itu menjadi salah satu tempat persinggahan gadis-gadis Paris yang baru pulang kerja atau mahasiswi yang sedang menghabiskan waktu sendiri.

Kalau beruntung bisa berkenalan di antara mereka yang tengah sendirian.

Kalau mampu memikat dengan bahasa Prancis aksen Paris, misalnya dengan bercerita tentang betapa romantis Pulau Bali, perkenalan di cafe bisa berlanjut dengan makan malam berdua. Sekali sudah bisa makan malam apalagi diundang ke apartemen pribadi, makan malam serupa bisa dilakukan berulang-ulang. Dan seterusnya.

Beberapa teman dari RRT yang tahu kami dari Indonesia Meksiko, Argentina, Bolivia dan Peru sering mampir di cafe tersebut, hanya bisa senyum-senyum atau geleng-geleng kepala manakala melihat kami bersantai di cafe terebut.

Mereka merasa pergaulan kami di cafe tersebut tidak sesuai dengan kepribadian Asia.

Saat di Shanghai, tahuun 2003 itu, gemas rasanya saya tidak tahu dimana alamat sahabat orang komunis yang 20 tahun lalu bersama-sama di Paris.

Sebab yang saya temukan, sangat berbeda dengan yang saya bayangkan 20 tahun sebelumnya.

Media-media Tiongkok, baik cetak maupun televisi, sudah demikian maju, jauh meninggalkan Indonesia.

RRT punya beberapa saluran televisi dan satu di antaranya berbahasa Inggeris, dengan durasi siaran 24 jam non-stop dan dapat ditangkap di Indonesia dan seluruh benua.

Sementara kita di Indonesia dengan TVRI, dan punya satelit sendiri, siarannya agak 'megap-megap'. Untuk program bahasa Inggerisnya saja, hanya bisa menjangkau Jakarta dan sekitarnya. Tidak ada siaran TVRI yang bisa ditangkap sampai ke Shanghai.

Dalam soal life style, gadis-gadis cantik, amoy-amoy dari Shanghai, tak kalah modest dan menarik dibanding dengan para Madmoiselle dari Paris. Cafe ala Paris juga bertebaran luas di Shanghai. Dan pengunjungnya bukan lagi didominasi oleh orang bule atau asing, melainkan orang-orang lokal sendiri.

Artinya, tingkat kemapanan hidup orang RRT, sudah berubah.

Dunia berubah, dan saya perkirakan, Shanghai atau RRT di tahun 2017 ini, pasti jauh lebih berbeda.

Sebab apa yang tidak dimiliki Paris dan Prancis, kini hadir di Shanghai dan RRT.

Contoh kecil saja. Di kota ini setiap tahun digelar kejuaraan balap mobil 'Formula One", Tenis, Golf, yang ketiga-tiganya menyediakan hadiah jutaan dolar bagi setiap pemenang.

Satu hal yang belum pernah bisa dilakukan oleh Jakarta atau Indonesia.

Dalam kurun waktu dua puluh tahun, RRT sudah menjadi tuan rumah Olimpiade dan Asia Games. Sementara kita belum pernah sekalipun.

Kalau sudah begitu, saya sering membatin. Mengapa dalam 20 tahun RRT bisa berubah menjadi sebuah negara maju dan modern?

Sementara kita bertolak belakang. Reformasi yang sudah hampir 20 tahun saja, hasilnya justru membuat Indonesia lebih mundur.

Siapa yang salah? Atau apanya yang salah dengan negaraku ini. Apakah sistemnya?

Kita mengaku negara Pancasila, tetapi dalam prakteknya, kita menerapkan Pancasila dengan setengah hati.

Bahkan dari segi kebebasan, kita sudah menerapkan sistem liberal sampai ke tingkat yang mungkin mencapai 99,99 persen.

Indonesia merupakan negara anti-komunis, tetapi gagal dalam menerapkan sistem perekonomian anti-komunis itu.

Sebaliknya RRT merupakan negara komunis namun sukses menerapkan sistem perekonomian yang bertentangan dengan ideologi komunis! [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA