Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ahok, "Benturan Peradaban" Ala Samuel Huntington Dan "Nobel Prize"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 13 Mei 2017, 17:25 WIB
Ahok, "Benturan Peradaban" Ala Samuel Huntington Dan "Nobel Prize"
Ahok/Net
KAMIS dua hari lalu, sejumlah teman sepertinya marah, tersinggung atau tidak suka dengan postingan saya di Facebook. Yang isinya menyiratkan Ahok berpeluang menerima Hadiah Nobel Perdamaian.

Yang saya maksud dengan teman, para netizen yang menjadi teman di dunia maya. Jadi bukan merupakan teman sejati. Teman yang tidak paham tentang saya.

Dan ciri khas netizen, kalau sudah terusik, argumentasinya lebih banyak berputar-putar pada dikotominya sendiri.

'Pokoke aku yang benar', begitu kurang lebih prinsip batunya.

Ada yang menuduh saya sedang melakukan kegiatan PR-ing (promosi) dan Framing (menggiring) opini publik supaya citra Ahok positif. Sebuah tuduhan yang saya tafsirkan si penuduh telah membuat konklusi, seolah-olah sebagai anak buah, saya harus tunduk pada semua perintah atasan. Hahahaha……

Ada kesalahan memang yang saya buat. Postingan itu, hanya berbentuk seperti sebuah iklan. Singkat, bernada provokasi dan 'eye catching'.

Strategi yang saya gunakan memang mirip cara bekerja seroang "Copy Writer". Yang harus kreatif, mencari kosa kata yang tepat untuk menulis kalimat promosi, iklan sebuah produk.

Tak peduli isinya ‘menyesatkan’, yang penting pembaca, calon konsumen sudah lebih dulu tertarik membacanya.

Sehingga postingan singkat itu, mengecoh dan mengecewakan siapa saja yang anti-Ahok baik yang secara "full" maupun yang separuh-separuh.

Jadi memang tidak saya jelaskan secara lugas - apa yang melatar-belakangi kesimpulan Ahok berpeluang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.

Latar belakang yang saya gunakan adalah reaksi dari Komisi HAM PBB dan Amnesty Internasional (AI).

Selain itu berita harian "De Telegraaf" Belanda yang menyebutkan parlemen meminta agar Menlu negeri Kincir Angin itu mendesak Uni Eropa supaya menekan pemerintah Indonesia. Tekanan dengan tujuan, membebaskan Ahok dari penjara.

Saya juga salah, karena tidak menjelaskan, sebelumnya, menjelang pencoblosan Pilkada DKI 19 April, sudah beredar sebuah tawaran melalui dunia maya.

Isinya meminta dukungan pencalonan Ahok dengan cara mengisi sebuah blanko kosong, agar Gubernur DKI itu menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Tawaran mana tidak saya gubris.

Secara sadar mengabaikannya karena dari formatnya isian itu berasal dari koordinator relawan Ahok. Dan saya justru curiga usaha menominasikan Ahok sebagai pemenang Hadiah Nobel, dalam rangka mengangkat citranya. Mempengaruhi pemilih agar tertarik memberi suara kepadanya di Pilkada.

Tawaran itu yang patut disebut bagian dari PR-ing dan Framing. Boleh jadi tawaran itu hanya sebuah agenda pribadi koordinator relawan.

Kalau saya melakukan PR-ing dan Framing, saya pasti umumkan. Sebab hal itu demi sebuah integritas dan etika.

Nah yang mendorong saya memposting dengan 'menokohkan' Ahok sebagai sosok yang berpotensi menerima Hadiah Nobel, berdasar berita media.

Dan ketika postingan tersebut saya lakukan, Ahok sudah kalah di Pilkada bahkan sudah dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh Majelis Hakim. Ahok juga sudah berada di tahanan.

Jadi memang sangat berbeda waktu dan status terbaru Ahok sendiri.

Dalam situasi inilah berita tentang Ahok muncul di media internasional yang menunjukan, dunia, Barat khususnya sedang menyoroti Ahok dan Indonesia.

Pengalaman dan kepekaan sebagai wartawan mengajarkan jika media Barat, media liberal sudah mengutip persoalan seperti Ahok bisa jadi ada kekuatan luar di Indonesia yang punya agenda terhadap Ahok dan negara kita.

Pengalaman mengajarkan beberapa hal. Di antaranya kalau wartawan Barat sudah menyoroti sebuah kejadian di Indonesia, dengan mengutip pernyataan pejabat yang mewakili lembaga seperti PBB, Amnesty Internasional dan Uni Eropa, buntut atau gaung kelanjutannya pasti ada.

Dan inilah yang saya antisipasi!

Pers liberal selalu menggunakan kriteria: "kalau manusia menggigit anjing, itu jelas sebuah berita….". Pokoknya sesuatu yang kontroversil dan antagonistis selalu menarik diberitakan.

Berita tentang Ahok di media-media liberal, yang menonjol bukan soal dia dihukum, tetapi hukuman itu mereka anggap mengandung unsur kontroversi dan antagonistis.

Bahkan saya cermati, sejak Ahok kalah dalam Pilkada DKI, liputan tentang Gubernur non-aktif itu, semakin marak. Dan nampaknya liputan itu bertambah, setelah masyarakat justru merespons dengan kiriman ribuan Papan Bunga.

Liputannya terus bereskalasi, seiring dengan aktivitas para pendukung Ahok yang membuat balon merah putih, menyalahkan lilin.

Tak ketinggalan kegiatan menggelar konser di pagi hari di Balaikota yang lagu-lagunya berupa lagu kebangsaan dan yang bernafaskan persatuan dan kecintaan pada tanah air.

Kejadian fenomenal ini - oleh media-media internasional ditempatkan sebagai bagian dari kontroversi dan antagonistis yang saya maksud.

Format liputan media liberal pun bergeser. Ahok diberitakan sebagai seorang pemimpin merakyat, disukai rakyat dan populer.

Minus-minusnya ditutupi dengan mempersonifikasikannya sebagai seorang yang cinta perdamaian. Simbolnya lagi-lagi kembali ke soal bunga dan lilin-lilin. Simpel.

Kelebihan Ahok di mata media liberal, di setiap penampilannya, raut mukanya tenang. Tidak ada rasa takut, gusar, panik, grogi atau mengesankan dia sedang bermasalah. Dia memiliki karakter kuat dan unik.

Tidak semua orang bisa seperti itu. Bisa saja dia merasa dibela oleh Polri, TNI bahkan Presiden sebagaimana rumor yang bereda. Namun tampil di muka persidangan dengan wajah tegak, sementara di luar teriakan "bunuh Ahok" sangat jelas, tak mengubah mimik dan raut wajahnya, bukan hal yang gampang.

Boleh jadi Ahok memang sudah mewakafkan dirinya untuk Jakarta ataupun Indonesia. Sehingga dia sudah siap menghadapi situasi paling buruk.

Status Ahok sebagai seorang "double minority complex", (Cina dan Kristen) tentu saja menjadi bumbu yang makin membuat berita tentangnya, seperti makanan yang ditaburi bumbu penyedap. Sehingga semakin sedap disajikan.

Tolok ukur yang mereka gunakan, tidak didasarkan pada pemahaman yang utuh tentang kasus yang menyebabkan Ahok jadi tersangka kemudian terpidana.

Bahkan bukan mustahil kasus Ahok juga dilihat dari pelaksanaan hukum di Indonesia yang tidak sama dengan di negara liberal.

Ditambah dengan persepsi, penegakan hukum di Indonesia memiliki tarif pilihan. Bisa dibeli.

Sehingga sosok dan kasus Ahok semakin menjadi sorotan publik, termasuk para pejabat internasional yang bekerja di lembaga-lembaga seperti dimaksudkan di atas.

Jelas terjadi pemahaman yang berbeda dengan apa yang saya pahami dengan teman-teman di dunia maya.

Ini pemahaman saya, yang tidak harus sama dengan orang lain!

Selanjutnya saya sebetulnya bermaksud ingin mengajak berpikir secara tenang. Gara-gara persoalan pribadi Ahok, kita, masyarakat yang berjumlah lebih besar, terbelah-belah.

Ironisnya kita yang terbelah-belah tetapi yang mendapat nama baik justru hanya Ahok sendiri. Dan parahnya lagi, sebagai bangsa yang besar, kita sudah tidak kritis. Yaitu kita tidak bisa memetik manfaat dari nama baik yang diperoleh Ahok.

Di saat kita terjebak pada perseteruan yang disebabkan eksistensi Ahok, dunia luar justru mengesampingkan perseteruan dengan cara mengkapitalisasinya. Bahkan perseteruan kita menjadi semacam sebuah teater dan pantomim yang oleh dunia yang lebih beradab dijadikan obyek tontonan dan hiburan.

Perseteruan kita yang diwarnai oleh penggunaan frasa bernuansa SARA, semakin menarik, sebab penyebabnya adalah soal perbedaan budaya dan agama.

Ini secara kebetulan seperti membenarkan teori Samuel Huntington, profesor dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. Bahwa setelah Perang Dingin, perang antara blok komunis dan non komunis berakhir, muncul perang baru. Yakni "The Clash of Civilizations".

Predeksi dibuat Samuel Huntington, lebih dari 20 tahun lalu, tepatnya tahun 1996.

Melalui buku yang terjemahan bebasnya "Benturan Antar Peradaban", Samuel memprediksi bakal terjadi perpecahan, perbenturan di seluruh dunia. Pemicunya soal perbedaan budaya dan agama.

Saya melihat, kasus Ahok yang telah menyebabkan perpecahan di antara masyarakat Indonesia, mendekati kebenaran prediksi ilmuwan Amerika tersebut.

Lalu apa salahnya, bila saya mengajak kita melakukan introspeksi dan restropeksi, agar kita tersadar. Bahwa kita harus lawan teori Samuel Huntington, tidak terjadi di Indonesia.

Perkembangan terbaru menunjukkan dalam satu dua hari ini, di sejumlah kota di berbagai belahan dunia, akan ada penyalaan lilin secara massal. Hal mana semakin memperkuat keinginan saya untuk mengajak sesama bangsa untuk bersatu.

Jika penyalaan lilin di beberapa negara, untuk menyatakan sikap membela satu orang Ahok, yang ingin saya jangkau, persatuan seluruh rakyat Indonesia. Baik mereka yang berada di tanah air, ataupun yang di luar negeri. Mari kita menjadi Satu Indonesia.

Kita boleh saja berprasangka buruk bahwa penyalaan lilin secara teateral di berbagai negara, berbagai tempat sebagai sebuah rekayasa.

Tetapi dengan berprasangka buruk saja, hal itu tidak menjawab apalagi menyelesaikan persoalan. Dengan situasi seperti ini, kita juga tidak bisa melarang orang menyalahkan lilin.

Saya justru semakin berpikir, bukan hal yang mustahil jika reaksi global yang tidak pernah kita antisipasi itu bisa memperkuat nama Ahok sebagai calon berpotensi penerima Hadiah Nobel.

Dan kalau reaksi penyalaan jutaan lilin itu menjadi salah satu alasan, kita juga tidak bisa meyalahkan Yayasan Nobel.

Sebab di tahun 1996, kita juga punya pengalaman yang "menyakitkan" dengan keputusan yang diambil Yayasan Nobel.

Lembaga nirlaba yang berkedudukan di salah satu anggota Uni Eropa (Swedia) itu menjatuhkan pilihannya pada Carlos Felipe Ximenes Bello atau yang terkenal sebagai Uskup Bello dan Ramos Horta.

Keduanya putera Timor Timur. Bello seorang pemimpin informal dan Horta seorang lelaki oportunis - orang yang di tahun 1974 datang ke Jakarta, untuk meminta bantuan.

Tapi setelah dibantu oleh Menlu Adam Malik, Menhankam Maraden Panggabean, Horta kemudian membelok ke Australia. Di sana dia mendeklarasikan diri sebagai pejuang kemerdekaan bagi Timor Timur dengan status Duta Besar Keliling.

Yang perldu dicat, Bello dan Horta, dua sosok minoritas yang berseberangan dengan mayoritas penduduk Indonesia.

Tiga tahun setelah itu, tepatnya tahun 1999, Timor Timur yang saat itu merupakan Provinsi ke-27, berubah menjadi negara merdeka Timor Leste.

Anggaran dan tenaga yang kita buang di sana, termasuk matinya sejumlah prajurit di sana - yang berjuang sejak tahun 1975, supaya Timor Timur tidak jatuh ke rezim komunis menjadi sia-sia. Timor Timur lepas dari NKRI. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA