Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

"Zone Perang" Di Pinggir Kebon Binatang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Kamis, 11 Mei 2017, 23:35 WIB
"Zone Perang" Di Pinggir Kebon Binatang
SEBAGAI wartawan, saya punya kesempatan melihat dari dekat Perang Saudara yang cukup kesohor di dunia. Yakni Vietnam (Selatan), Kamboja, Palestina, Libanon Selatan dan Kaledonia Baru. Semua Perang Saudara itu meletus diawali oleh persoalan kecil, perseteruan antar elit dan akhirnya meluas ke semua strata masyarakat.

Semua Perang Saudara menelan korban manusia. Dan korban yang paling menderita, rata-rata mereka yang tidak terlibat langsung. Mereka yang hanya terkena imbas. Mereka adalah anak-anak, wanita, orangtua rentah, pokoknya mereka yang tidak berkemampuan fisik untuk melawan.

Dan tidak ada Perang Saudara yang berakhir dalam hitungan di bawah satu dekade - sepuluh tahun. Kalaupun berakhir, menyembuhkan lukanya yang memakan waktu lama.

Juga tidak ada negara yang terlibat Perang Saudara lalu bisa menjadi negara kaya raya. Yang terjadi sebaliknya, negara gagal. Kemiskinan menerpa kemana-mana.

Mengunjungi wilayah yang ada Perang Saudara, sama dengan disuruh menyaksikan sebuah tempat yang hancur dan mendengar cerita tentang derita kemanusiaan yang memilukan.

Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Bukan karena senang melihat kehancuran dan derita bangsa lain yang dilanda Perang Saudara. Tetapi kejadian serupa tidak terjadi di Indonesia.

Saya juga bersyukur, sebab bisa lolos dari maut dalam Perang Saudara "Permesta" di daerah kelahiran, Manado, Sulawesi Utara.
Sewaktu "Permesta", yang meletus 1956, saya dibawa mengungsi ke hutan oleh orangtua, menghindari serangan "Tentara Pusat".

Pengertian "Tentara Pusat" adalah mereka yang dikirim oleh Jenderal Nasution, untuk membasmi Permesta.

Sejumlah perwira "Tentara Pusat" yang pernah menghabisi "Permesta" kelak dikenal di pemerintahan RI, Ali Sadikin, Sudomo dan Benny Moerdani.

"Tentara Pusat" yang sudah berhasil menguasai bandara Mapanget (Sam Rataulangi), pada malam hari sesekali menyerang hutan persembunyian kami dengan roket yang waktu itu dikenal dengan sebutan "32 lop".

Kami harus berlindung di bawah pohon raksasa karena belum ada lobang persembunyian di bawah tanah. Sabagai anak kecil, saya sungguh ketakutan mendengar gelagar desingan roket itu.

Pada satu pagi, paman saya, tergeletak tanpa myawa di tengah jalan, karena didoor oleh "Tentara Pusat". Sepupu saya yang masih dalam kandungan, begitu lahir tak pernah melihat ayahnya.

Itulah beberapa hal yang membuat saya bersyukur.

Tetapi belakangan ini, saya terus dihantui oleh rasa khawatir. Karena saya berspekulasi, Perang Saudara bakal terjadi di bumi tercinta ini.

Sebab semua elemen yang menunjang dan menjadi penyebab meletusnya Perang Saudara di Indonesia, sudah nyaris komplit.

Situasi politik di tanah air saat ini, dari kacamata awam saya, terus memanas.

Salah satu elemen yang bisa menjadi penyebab kasus Ahok Basuki Tjahaja Purnama.

Klimaks terjadi Selasa 9 Mei 2017 kemarin. Saya menyaksikan liputan langsung oleh televisi tentang persidangan Ahok Basuki Tjahaja Purnama.

Gila negara ini, kata saya dalam hati. Untuk pertama kalinya di luar sidang terjadi pemisahan dua kubu yang pro dan anti-Ahok.

Yang pro mengenakan baju yang didominasi oleh warna-warni dan membawa serta bendera merah putih.

Yang anti, berseragam baju putih-putih, kepala diikat semacam sorban.

Kedua kubu menampilkan bahasa tubuh yang siap berkelahi bahkan bunuh-bunuhan.

Kedua kubu punya mobil yang ada panggung dan dari panggung ada seseorang seperti Master Ceremony meneriakan yel-yel. Membakar emosi.

Dua kubu ini - kalau dari baju yang mereka kenakan, dibuat penafsiran, maka tafsirannya adalah yang satu ingin menegakan negara Merah Putih dan satu lagi yang non-Merah Putih.

Atau menyaksikan ratusan atau mungkin ribuan petugas Polri yang membentuk semacam wilayah pengaman (buffer zone), situasi di luar persidangan itu, menyisakan kesan baru.

Yakni polisi berperan sebagai Pasukan Perdamaian PBB yang mencegah terjadinya pertempuran.

Dua kubu yang membentuk wilayah sendiri, mirip dengan mereka yang bertikai di Libanon Selatan. Antara pasukan Hisbullah yang didukung oleh Syria dan Iran berhadap-hadapan dengan masyarakat Libanon yang dibela oleh tantara Israel.

Banyak yang tidak sadar, persidangan di kantor Kementerian Pertanian itu, letaknya tak jauh dari Kebon Binatang Ragunan.

Untung para penghuni Taman Marga Satwa tersebut, mulai dari yang buas sampai yang jinak, tidak mengerti ulah manusia-manusia yang berada di sekitar mereka. Dimana para manusia waras tersebut sudah membentuk "zone perang" di pinggir kota.

Edan!

Sidang itu, kalau dilihat dari kacamata biasa, yah memang hanya sebuah sidang untuk mencari siapa yang benar.

Tetapi melihat fomat penjagaannya, berikut hadirnya sejumlah pendukung yang sepertinya siap mati, maka tak heran bila pemandangan itu memberi kesan kepada saya sebagai sebuah suasana perang. Atau paling tidak sebagai bagian dari latihan perang menuju ke perang yang sesungguhnya.

Kekhawatiran terhadap kemungkinan meletusnya Perang Saudara, lewat tulisan, sudah saya lakukan dalam beberapa edisi.

Ini bukan berarti saya sok-sokan cinta pada perdamaian atau terlalu berlebihan menilai konflik yang tengah berlangsung di negara kita saat ini.

Tetapi lebih karena saya melihat, tidak ada satu tokoh nasional apalagi beberapa tokoh yang peduli pada perpecahan bangsa saat ini.

Kalau betul, memanasnya situasi politik ini antara lain karena sisa-sisa persaingan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Pilpres 2014 - atau juga sebagai persiapan kedua tokoh itu menghadapi Pilpres 2019, semestinya Prabowo dan Jokowi-lah yang berkewajiban menenangkan massa.

Mereka harus minta semua massa pulang ke rumah masing-masing.

Melihat menyeruaknya massa yang seakan mau berperang, sudah semestinya Prabowo dan Jokowi, bergandengan tangan terjun ke tengah "buffer zone" untuk meminta mereka bubar.

Bukan seperti kemarin. Jokowi sebagai Presiden terbang ke Papua sana sementara Prabowo yang kantor DPP-nya di seberang lokasi, entah dimana. Entah bersembunyi di Rumah Perlawanan di Hambalang, Jawa Barat atau Rumah Rekonsiliasi di Kertanegara, Kebayoran Baru.

Atau kalau betul SB Yudhoyono, seorang jenderal yang pernah bertugas menjaga perdamaian di Bosnia, negara pecahan bekas Yugoslavia, beliau juga boleh dong turun ke lokasi. Menciptakan perdamaian di antara rakyat sendiri.

Sebagai warga negara biasa, yang kebetulan punya secuil pengalaman melihat "the aftermath" berbagai Perang Saudara di bagian lain di dunia, saya cuma mendoakan, semoga akan hadir putra Indonesia yang bisa menyelamatkan bangsa kita dari kisruh Perang Saudara.

Dan saya berharap rakyat Indonesia belajar dari situasi sekarang. Semua pemimpin yang berkaor-kaor mau mensejahterkan rakyat, mau membangun NKRI, omong kosong semua. Omdo-Omong Doang. [***]

Catatan Tengah, Rabu 10 Mei 2017

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA