Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kita, Banjir Provokator, Miskin Rekonsiliator

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 09 Mei 2017, 23:56 WIB
<i>Kita, Banjir Provokator, Miskin Rekonsiliator</i>
Taufiq Kiemas/Net
"TOLONG anda sampaikan, pertemuannya dengan Ustadz Baasir, tidak patut. Untuk apa beliau memberi panggung kepada seorang tokoh yang jelas-jelas anti-Pancasila", begitu pesan Asyumardi Azra, seorang intelektual muslim terkemuka dan mantan Rektor Universitas Islam Indonesia Negeri, Jakarta.

Pesan dimaksud ditujukan kepada Ketua MPR-RI, Taufiq Kiemas yang sedang melakukan sosialisasi kembali tentang ideologi negara Pancasila, dengan tag-line baru, "Empat Pilar".

Sementara pesan dimaksud disampaikan lewat saya, karena ketika itu Pak Azra mengetahui, saya akan bergabung dengan rombongan pimpinan MPR-RI untuk bertemu Ustadz Baasir di Pondok Pesanternnya, di Sukoharjo.

Pak Azra seperti tidak percaya, saya sebagai seorang wartawan yang memeluk agama Nasrani, lalu mau berkunjung ke pesantren yang dipimpin seorang tokoh muslim sekaliber Baasir.

Pagi itu, 29 April 2010, secara kebetulan kami bersua di pintu keluar Bandara Adicucipto, Solo, dari penerbangan Jakarta. Masing-masing dengan urusan yang berbeda.

Saya akan bergabung dengan rombongon yang terdiri atas Ibu Melani Leimena Suharli, Hajriyanto Tosari, Lukman Hakim Saefuddin - kini Menteri Agama, Ahmad Farhan Hamid, semuanya Wakil Ketua, dan Taufiq Kiemas sebagai Ketua. Mereka sudah datang lebih dulu, lewat Yogyakarta.

Ustadz Baasir dikenal sebagai tokoh Islam yang anti-Pancasila. Sementara Taufiq Kiemas dikenal promotor sekaligus Advokat Pancasila sebagai ideologi negara.

Baasir oleh otoritas keamanan Amerika dituduh sebagai bagian dari organisasi "Al-Qaida", jaringan teroris internasional. Amerika bahkan meminta pemerintah RI untuk mengekstradisi Baasir, dalam rangka mempertanggung jawabkan apa yang Paman Sam sebut, berbagai kegiatan teroris.

Azra memperingatkan, pertemuan Ketua MPR RI dengan Pengasuh Pesantren Ngruki itu, pasti akan dipantau oleh Washington.

Ketua MPR-RI Taufiq Kiemas sendiri, selain sedang melakukan advokasi tentang "Empat Pilar" (baca - Panca Sila), juga tengah berjuang agar Hari Lahir Pancasila ditetapkan kembali - 1 Juni 1945. Sebab saat itulah Soekarno, Proklamator sekaligus Presiden pertama RI, disebut sebagai penemu Panca Sila.

Tetapi oleh sejarawan Orde Baru, khususnya Menteri Pendidikan di era Soeharto, Nugroho Notosusanto, hari kelahiran Panca Sila ditetapkan 18 Agsutus 1945, bersamaan dengan pembentukaan UUD 45, sehari setelah kemerdekaan RI.

Hari-hari di tahun 2010 memang merupakan waktu yang cukup berat bagi Taufiq Kiemas. Karena upayanya menghidupkan kembali nyala api Panca Sila, terjadi di saat masyarakat sedang tidak peduli dengan Panca Sila.

Terjadi semacam berada titik jenuh ketika rezim Orde Baru secara intensif mempromosikan Panca Sila. Dan begitu Orde Baru tumbang, masyarakat pun seperti terbebas dari beban untuk menghafal dan menghayati Panca Sila.

Pada Oktober Tahun 2010 itu juga, sebagai Ketua MPR-RI Taufiq Kiemas dijadwalkan akan menerima kunjungan kehormatan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

Momen itu diam-diam mau dimanfaatkan oleh Taufiq Kiemas untuk melobi Obama yang pernah tinggal di Indonesia, agar mendukung inisiatifnya pribadi menjadi Juru Damai Palestina - Israel.

Pertemuannya dengan Baasir harus berhasil. Dan keberhasilan, hal itu hendak dia jadikan bukti bahwa kalau seorang yang dituduh oleh Amerika sebagai teroris bisa diyakinkan atau dijinakannnya, semestinya hal serupa sudah menjadi modal. Bahwa Taufiq punya kemampuan mengajak Palestina - Israel berunding secara damai. Tidak perlu mencari siapa yang salah, ada tuduh menuduh siapa yang teroris dan siapa yang ekspansionis.

Pokoknya berunding kemudian berdamai. Sebab yang terjadi pada sengketa Palestina - Israel, belum pernah ada pihak yang benar-benar menjadi juru damai.

Beberapa saat sebelum rombongan bertolak dari Hotel Sahid, Solo, saya sampaikan pesan Asyumadi Azra.

"Justru karena kita tahu Baasir anti-Panca Sila, maka kita datangi dia. Kita mau dialog dan bertanya sama dia, apa alasan Pak Ustadz menolak Panca Sila".

Artinya Taufiq menolak saran Azra.

"Kita akan katakan bahwa Panca Sila sudah disahkan oleh rakyat Indonesia melalui MPR sebagai ideologi negara. MPR merupakan perwakilan dari semua rakyat Indonesia. Nah kalau sudah ada penjelasan seperti itu, kita ajak dialog. Jika Baasir masih tetap ngotot, melawan, kita tegaskan sikap kita dan jika dia masih tidak mau berubah, barulah kita hajar dia", ujar Ketua MPR.

Tak lupa Taufiq mengingatkan, kekeliruan rezim Orde Baru yang terlalu represif terhadap Baasir. Sehingga yang bersangkutan melarikan diri ke Malaysia.

Baasir baru kembali ke Indonesia, setelah rezim di Indonesia sudah berganti. Dan nyatanya penolakannya terhadap Panca Sila, tidak berubah.

Cerita tujuh tahun lalu ini, terus mengganggu memori. Terutama saya merasa gelisah dengan situasi negara tercinta ini, yang kosong akan pemimpin politik sekaliber almarhum.

Di parlemen ada 10 fraksi. Berarti di Republik ini ada 10 pimpinan partai politik. Layaknya para pemimpin partai itu juga pemimpin masyarakat.

Jumlah itu masih bisa ditambah dengan Ketua DPR, Ketua MPR dan Ketua DPD. Itu baru di Senayan.

Belum lagi ditambah dengan Presiden, Wakil Presiden dan mereka yang sering muncul di layar TV - yang kalau bicara merekalah yang merasa paling patut didengar dan dituruti.

Tapi yang terjadi, para pemimpin yang disebutkan di atas itu, justru yang membuat keadaan negara itu semakin mirip dengan situasi yang mau pecah Perang Saudara.

Suhu politik jelas sudah panas dan tinggal menunggu pemicu saja akan meledak. Namun tidak ada yang "turun gunung" mengajak semua pihak jangan terprovrokasi.

Saya heran, tak satupun yang tampil secara ksatria mengajak semua kekuatan bersatu.

Hampir semua pidato para elit, diwarnai oleh kosa kata yang semakin memperuncing suasana. Tidak ada yang benar-benar mau mengalah.

Dugaan saya, mungkin karena merasa sudah di atas, di puncak jabatan, bicaranya pun dipaksakan supaya selalu terdengar dan kedengaran benar.

Saya bertanya dalam diri sendiri, apakah para elit politik yang memimpin dunia politik kita saat ini, prilaku mereka menjadi demikian tak patut disebut pemimpin, berhubung cara mereka naik ke podium pemimpin tidak melalui sebuah proses pembelajaran?

Atau karena negara ini sedang dikutuk oleh yang punya bumi dan seisi jagat raya. Sehingga pemimpin yang diberikan saat ini, hanyalah sisa-sisa dari perang di abad batu? Manusia-manusia jahat yang pikirannya penuh virus pembunuh.

Atau karena alasan yang tidak pernah terjelaskan. Atau kalau dijelaskan, kemampuan para pempimpin itu, memang sudah mentok?

Bukannya mau mengkultuskan Taufik Kiemas. Tetapi banyak hal yang saya saksikan dari dekat atas perbuatan dan omongannya, cukup banyak yang positif dan menjadi bagian dari kelegendaannya.

Bahwa dia punya kekurangan dan kelemahan, sebagai manusia biasa, pasti ada. Namun yang kita bicarakan adalah sisi-sisi positif.

Keputusannya menemui Baasir, harus dilihat sebagai upayanya untuk mengedepankan misi rekonsiliasi. Bukan untuk basa-basi atau pencitraan.

Yang dilakukannya secara individu, tetapi melembaga, senan semua pimpinan MPR ikut serta.

Masih banyak hal yang saya alami dalam pergaulan dengan almarhum. Yang intinya dia selalu berusaha memgerti apa yang menjadi persoalan orang lain.

Bersahabat atau menjadi sahabatnya harus totalitas. Jangan setengah-setengah atau sepersekian saja. Menjadi pejabat negara, maunya juga totalitas.

Ingatan terhadap almarhum terus mengalir, sebab sebulan lagi dari sekarang, tepatnya 8 Juni 2017, merupakan hari kematiannya.

Taufiq meninggal dunia di Singapura, setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit setempat akibat terkena serangan jantung di Ende, Nusa Tenggara Timur.

Kepergiannya ke Ende dalam rangka kunjungan ritual ke tempat dimana penemu Panca Sila, Bung Karno, pernah diasingkan oleh penjajah.

Banyak yang tidak memaknai pengasingan oleh penjajah terhadap pejuang nasional tersebut. Sehingga lewat kunjungan itu bersama Wakil Presiden Boediono, Taufiq ingin membangunkan ingatan bangsa Indonesia.

Saya pribadi, butuh waktu baru bisa memahami sebahagian karakternya sebagai pemimpin. Setidaknya melalui beberapa test kepatutan.

Misalnya, pada satu saat Bang TK sedang menikmati makanan khas Palembang, daerah asal-asalnya "mpe-mpe".

Saya yang tidak terlalu doyan, berusaha menemani dan menikmatinya. Tiba-tiba dia sorongkan sebuah piring berisikan kuah "mpe-mpe". Lalu di ambil sendok sop dan memasukkan ke mulutnya.

Hanya dikunya sedikit, lalu kuah itu dimuntahkannya ke piring saya.

"Itu enak kuahnya. Coba kau coba sekarang", ujarnya.

Tatapannya serius. Saya perhatikan tatapannya dan seduh kuah "mpe-mpe" dari piring yang sudah ada 'muntahan'-nya.

Setelah saya teguk dan tanpa merasa kikuk, Taufik kemudian menepuk pundakku yang dekat dengannya sambil berkata: "Kau memang pantas jadi adikku …"

Antara paham dan setengah apa yang dimaksudkannya. Tetapi ia ingin melihat sejauh mana komitmenku pada persahabatan kami.

Sebab dia juga begitu, komitmen dalam berbangsa, tidak ada setengah-setengah.

Disengaja atau tidak, setelah kejadian itu, si Abang lebih banyak berceritera tentang masalah-masalah Kebangsaan.

Dia pernah ceritera tentang kebijakan pemerintahan Megawati Soekarnoputri terhadap Presiden ke-2 RI Soeharto.

Secara politik, Pak Harto orang yang patut dibenci oleh keluarga mendiang Soekarno. Tidak perlu diurai ceritanya di sini.

Tapi sebetulnya ketika Megawati menjadi Presiden di tahun 2001, itulah saat yang paling tepat keluarga Soekarno membalas semua 'kejahatan' yang dibuat pemimpim Orde Baru itu.

Tapi Taufiq berpikir untuk apa membalas dendam. Lebih baik pihaknya yang dizolimi yang memberi maaf. Cara keluarga Soekarno untuk memberi maaf pada Pak Harto, pun dia lakukan tanpa banyak bicara.

Dia minta kepada Jaksa Agung agar memperlambat proses pemeriksaan perkara Pak Harto.

Sampai akhirnya tiba saat umur Pak Harto sesuai dengan UU tidak bisa lagi diadili apalagi dijatuhi hukuman. Dan Taufiq legah dengan pilihan itu.

Sewaktu Pak Harto meninggal dunia pada 27 Januari 2008, Taufiq Kiemas sedang tidak dalam posisi berkuasa.

Dia tak lebih dari seorang manusia biasa.

"Saya legah Pak Harto tidak meninggal ketika Mba Mega sedang jadi Presiden. Bisa bermacam-macam tudingan yang muncul", ujarnya,

Berkaca dari penggalan cerita ini, saya hanya bisa membatin, mengapa tak ada sosok politisi yang punya aura perdamaian dan persaudaraan seperti Bang Taufiq?

Mungkinkan saya terlalu subyektif? Ah, gak peduli. Toh saya hanya ingin berbagi cerita. Bukan mau menggurui.

Yang pasti saya terlanjur beranggapan, negara kita saat ini terlalui miskin sosok yang mau mendamaikan orang yang bertikai - rekonsiliator.

Yang paling banyak adalah manusia-manusia, mereka yang suka menjadi provokator. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA