Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KPK Bidik Mega, Konseptor BLBI, Dilindungi?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 29 April 2017, 23:17 WIB
KPK Bidik Mega, Konseptor BLBI, Dilindungi?
Derek Manangka/Net
YANG dimaksud dengan Mega dalam judul tulisan ini, tidak lain, seorang wanita bernama lengkap Megawati Soekarnoputri yang menyandang jabatan; Presiden ke-5 Republik Indonesia dan Ketua Umum DPP PDIP.

Dan kalau judul di atas bisa menimbulkan kesan, tulisan ini bermaksud melakukan keberpihakan kepada Megawati Soekarnoputri, selaku Ketua Umum DPP PDIP, kesan itu tepat sekali.

Saya bukan ahli ekonomi, keuangan dan perbankan. Juga bukan ahli hukum yang menguasai seluk beluk persoalan dalam mega skandal perbankan.

Tetapi sebagai wartawan hari ini saya terusik dengan mega skandal yang dikenal BLBI (Bantuan Likwiditas Bank Indonesia). Sebab ada kecenderungan, diangkatnya kasus BLBI oleh KPK, bukan murni pemberantasan korupsi, tetapi lebih dilatar belakangi oleh agenda politik.

Saya menaruh curiga atas keputusan KPK yang tiba-tiba membongkar kasus BLBI secara partial dan tidak menyeluruh.

BLBI, hanya satu dari sekian banyak persoalan yang terpetakan. Sebagai sebuah persoalan, BLBI hanya buah dari pohon yang bermasalah.

Kalau pohon itu diibaratkan sebuah Indonesia, maka persoalan yang melilit Indonesia, berbeda-beda. Ada persoalan akar, batang, cabang, ranting, daun dan buah.

Nah menyelesaikan persoalan yang ada di buah, tidak dijamin akan membuat semua persoalan dalam pohon Indonesia tersebut, teratasi.

Walaupun BLBI bukan persoalan kecil tapi yang lebih penting diselesaikan, siapa yang menjadi akar?

BLBI secara sosiologi, merupakan sebuah perampokan yang dilakukan secara terselubung. Perampokan dilakukan oleh orang pemerintah yang dipercaya menjaga uang negara di Bank Indonesia.

Uang yang dirampok dari Bank Indonesia dalam kisaran ratusan triliun rupiah.

Coba simak, untuk mendapatkan kredit sebesar Rp. 10,- milyar, prosedurnya luar biasa berbelit.

Sementara untuk uang talangan triliunan rupiah, petugas BI bagai membagikan ransom makanan di sebuah panti asuhan. Pembagian ransom dengan cara seperti ini, tidak beda dengan perampokan.

Nah perampok BI inilah yang menjadi akar permasalahan.

Seharusnya sebagai warga negara yang peduli atas penegakan hukum saya senang dengan pengungkapan kasus Temenggung, bekas Kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Lembaga yang dipercaya pemerintah untuk menampung semua asset hasil sitaan karena kegagalan bayar.

BPPN juga bertugas menjual kembali asset-aset sitaan itu ke pembeli baru, dengan harga murah.

Namun entah mengapa saya curiga. Usaha untuk membongkar kasus ini, tidak menyentuh akar permasalahannya.

Dr. Soedradjad Djiwandono, mantan Menteri Muda di sebuah departemen di era Orde Baru, saat penggelontoran ratusan triliun tersebut terjadi, menduduki posisi orang nomor satu di Bank Indonesia.

Namun yang janggal, walaupun akibat skandal BLBI sejumlah pejabat Bank Indonesia sudah diadili, tetapi Soedradjad sebagai Orang Nomor Satu dan yang memberikan "okey" atas BLBI, tidak pernah tersentuh hukum.

Selama 20 tahun BLBI menjadi beban bagi setiap pemerintahan, tak sekali pun saudara ipar Jenderal Prabowo Subianto itu disinggung sebagai pihak yang perlu memberikan klarifikasi.

Kejanggalan semakin terasa. Karena di saat negara terus dilanda oleh kesulitan keuangan, para obligor BLBI tetap dengan status sebagai orang kaya atau konglomerat.

Negara yang menanggung semua derita krisis, sementara para pengemplang BLBI terus bertambah kaya.

Tidak disebut-sebutnya nama Soedradjad Djiwandono mengingatkan pada skandal Bank Century. Mega skandal ini juga terjadi di Bank Indonesia.

Seakan berulang atau terulang. Hampir semua pejabat di bawah Gubernur BI menjadi terpidana, sementara Budiono sebagai figur kunci di bank sentral tersebut, aman-aman saja.

Skandal ini diperkarakan, tapi entah alasan apa, Budiono, yang saat itu menjabat Gubernur BI, juga tidak tersentuh hukum.

Sementara tanda tanya besar atas keterlibatannya menggantung, tahun 2009 Budiono dijadikan Wapres oleh SBY. Dengan menduduki posisi Wapres tersebut, jejaring hukum makin tak bisa menyentuhnya.

Jadi setidaknya sudah dua Gubernur BI yang saat terjadi skandal di bank sentral tersebut, tetapi selalu lolos dari jejaring hukum.

Kini seorang Tumenggung yang secara hirarki kelembagaan, lebih rendah dari seorang Gubernur Bank Indonesia, tengah menjadi pecundang.

Pertanyaan, apakah yang menjadi korban dan pecundang dari setiap mega skandal, memang harus jatuh ke mereka yang berpangkat rendah ?

Jujur, saya curiga, atas penetapan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung oleh KPK.

Apakah itu hanya akan berhenti di situ? Temenggung dijadikan tersangka dalam pemberian pemutihan hutang BLBI.
Temenggung memang digadang-gadang kenal dekat dengan petinggi PDIP.

Kecurigaan muncul, karena belum lagi Temenggung diumumkan sebagai tersangka, sejak tahun lalu sudah ramai beredar kabar di media sosial bahwa Megawati bakal diperiksa oleh KPK dalam kasus BLBI (Bantuan Likwiditas Bank Indonesia).

Baru menjadi berita saja, opini publik sudah terbentuk bahwa putri Proklamator RI tersebut, ternyata bukanlah politikus yang “bersih”.

Dan ketika muncul pengumuman soal Temenggung, bersamaan dengan itu nama Megawati, mulai disebut-sebut sebagai pihak yang menjadi atasan Tumenggung.

Disebut-sebut bahwa Temenggung akan bertanggung jawab atas kebijakannya yang memberi pemutihan bagi obligor BLBI.
Perlu dicari tahu apakah Temenggung melakukan hal tersebut atas keputusannya sendiri atau atas perintah atasan.

Dan atasan itu bernama Megawati Soekarnoputri.

Sehingga agenda utama dalam pengungkapan kasus Temenggung ini mengundang kecurigaan dan tanda tanya.

Apakah Temengung menjadi pintu masuk - untuk menjerat Megawati Soekarnoputri. ?

Sekalipun Mega belum tentu bisa dinyatakan bersalah dalam kasus ini, tetapi bagi penegak hukum - untuk bisa membawa bekas Presiden itu ke forum pengadilan, itu saja sudah lebih dari cukup dan merupakan sebuah prestasi.

Karena jika itu terjadi – apalagi di saat menjelang Pilpres 2019, maka persidangan atas Mega otomotis bisa mempengaruhi posisi politik PDIP. Pengaruh itu bisa berupa terjadi penurunan suara dalam Pemilihan Umum Anggota Legislatif.
Suara PDIP bakal tergerus.

Ketika suara PDIP turun, peluang partai berlambang banteng ini, akan sulit mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Bargaining politik PDIP, otomatis melemah.
Kalau sudah begitu, semakin mudah bagi kekuatan lain bertarung dalam memperebutkan kursi Presiden RI pada Pemilu 2019.

Keberpihakan yang saya lakukan ke Megawati dalam kasud BLBI ini, bukan karena saya anggota partai atau kader PDIP.
Keberpihakan ini wujud dari tanggung jawab profesional sebagai wartawan, dalam rangka kontrol sosial.

Keberpihakan – dalam rangka kontrol sosial, untuk mencegah terjadinya pengaburan atas persoalan BLBI.

Pengaburan atas persoalan ini, terletak pada banyak hal.
Mulai dari mengapa kasus yang terjadi di akhir tahun 1997 itu, baru diangkat setelah 20 tahun ?

Ada usaha yang mau mengesankan bahwa BLBI yang menyebabkan Indonesia mengalami kerugian hampir Rp. 200,- triliun, terjadi akibat kebijakan yang salah oleh Presiden Megawati.

Padahal saat BLBI diluncurkan tahun 1997, Megawati masih berada di luar kekuasaan. Mega menjadi Wakil Presiden Oktoberf 1999.

Baru di tahun 2001, Mega menjadi Presiden menggantikan Abdurrahmam Wahid (Gus Dur).

Memang di era Megawati (2001 – 2004) Presiden ini memberi pengampunan kepada sejumlah obligor BLBI dengan apa yang dikenal Release and Discharge (R & D).

Tetapi R & D berlaku bagi semua obligor. Dan pemberlakuan itu sebagai bagian dari perintah MPR-RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia).

Dalam kasus Temenggung, tidak disebut-sebut adanya perintah MPR tersebut. Dan yang dituduhkan, Temenggung memberi pemutihan hutang ke grup Gajah Tunggal.

Begitu juga yang menanda-tangani R & D. Tidak disebutkan sebelum dokumen itu ditanda-tangani Presiden, terlebih dahulu diparaf oleh Menko Perekonomian (Dorodjatun Kuntjorjakti), Menko Polkam (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Jaksa Agung M.A Rachman).

Lalu mengapa seperti terjadi penggiringan bahwa Presiden Mega bertindak sendiri?

Yang juga terkesan bahwa ada upaya mengaburkan BLBI, tercermin dari berbagai wacana.

Antara lain disebut-sebut akibat tidak diselesaikannya BLBI, kerugian negara sudah mencapai Rp. 600,- Triliunan. Dan membengkaknya kerugian itu dikesankan sebagai akibat salah urus manajemen Indonesia, sejak Megawati naik kekuasaan pada pertengahan tahun 2001.

Cerita tentang BLBI sebenarnya terus berubah. Perubahan dibarengi oleh berbagai versi. Mulai dari jumlah angka kerugian yang diderita Indonesia, sampai dengan keberadaan para obligor.

Perubahan dan versi itu merupakan persoalan fundamental karena dipengaruhi oleh perkembangan politik.

Latar belakang yang terakhir ini membuat kecurigaan saya terhadap penjeratan Syafruddin Temenggung, makin bertambah.

Dan saat portio folio politik Megawati dan PDIP-nya sedang melemah, di saat itu pula kasus BLBI diangkat ke permukaan.

Semoga ada yang bisa meyakinkan bahwa semua kecurigaan saya tidak berdasar. Maturn Nuwun, Terima Kasih. [***]

Penulias adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA