Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menyimak Isu-Isu Mengganggu, Yang Tak Penting Tapi Terpenting

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 23 April 2017, 02:14 WIB
<i>Menyimak Isu-Isu Mengganggu, Yang Tak Penting Tapi Terpenting</i>
Derek Manangka/Net
BEGITU hasil sementara hitung cepat Pilkada 2017 beredar, beredar pula sejumlah postingan di media sosial maupun mainstream yang isinya rata-rata cukup sensitif, ditinjau dari sudut persatuan dan kesatuan nasional.

Yang pertama soal postingan yang menyebutkan adanya rencana kudeta terhadap pemerintahan Joko Widodo.

Gambaran yang diberikan dalam artikel itu, situasinya sudah begitu gawat sebab semua pihak yang merancang kudeta tersebut sudah dalam posisi 'siap perang'.

Diungkapkan rencana kudeta itu didukung oleh sejumlah perwira militer dan mereka masih aktif dalam pemerintahan Joko Widodo. Selain itu  bersama mereka, bergabung sejumlah pensiunan.

Dan yang dijadikan alasan untuk makar adalah persoalan Ahok.

Yang kedua soal penistaan oleh Steven Hadisurya Sulistyo, seorang WNI keturunan Tionghoa terhadap Gubernur NTB, Tuanku Raja Baja.

Penistaan itu terjadi di Bandara Changi Singapura 8 April kemudian menjadi viral sebagai berita menjelang pemungutan suara Pilkada DKI 19 April 2017.

Kemarin, berita itu dikatakan berasal dari sebuah akun palsu. Sebab baik foto yang digunakan di akun Steven, bukan foto yang bersangkutan.  Akun itu langsung tak bisa lagi dakses, tak lama setelah hitung cepat Pilkada DKI menunjukkan Ahok sudah kalah.

Hal lain yang jadi sorotan atas penyebaran postingan itu, adanya beberapa fakta yang patut jadi bahan analisa.

Misalnya ada jaringan media yang satu-satunya terus memberitakan penistaan tersebut. Intensitas pemberitaannya semakin tinggi, menjelang pencoblosan 19 April. Sebaliknya mereda setelah hasil Pilkada menunjukkan dimenangkan oleh pasangan Anies-Sandiaga.

Jaringan media itu dimiliki seorang konglomerat keturunan Tionghoa. Dan komglomerat ini punya kepentingan merusak nama baik Ahok. Kelakuan Steven, menista Gubernur NTB, mengingatkan cara Ahok menista orang lain, orang pribumi.

Ketiga, postingan yang menyebutkan adanya dukungan tiga konglomerat papan atas, konglomerat yang semuanya keturunan Tionghoa, terhadap pasangan Anies-Sandiaga.

Artinya yang mau dikesankan, tidak semua konglomerat Tionghoa atau Cina mendukung Ahok yang nota bene seorang Tionghoa yang disebut-sebut didukung oleh "Sembilan Naga".

Atau sikap anti-Cina yang disuarakan Paslon 3, hanya jargon yang kontradiktif.

Substansi dari berita ini bahwa bagi para pebisnis, pemilik uang, siapapun yang berkuasa, tidak peduli ras dan agamanya atau latar belakangnya.

Dengan kekuatan uang, mereka bisa bermain di dua kaki, dua kubu atau dua kandidat yang bertarung. Bisa saja mereka mendukung Ahok, tapi diam-diam juga mendukung Anies.

Secara implisit disarankan agar generasi saat ini jangan percaya begitu saja terhadap konglomerat Tionghoa. Mereka menerapkan standar ganda. Dan merekalah yang selalu memetik keuntungan dari setiap perbedaan pendapat antar orang-orang pribumi.
 
Standar ganda ini nyata, ketika kemarin (Jumat) ditunjukkan gambar Anies Baswedan, Gubernur terpilih yang naik helikopter yang diduga berasal dari RS Siloam, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, kemudian turun di "helipad" Hotel Aryaduta di Menteng, Prapatan,  Jakarta Pusat.

Anies yang selama kampanye mengesankan "anti-Cina" sampai-sampai mengulas sejarah dan peran orang Arab dan Cina Indonesia, belum apa-apa sudah "lengket" dengan komglomerat Cina.

Sehari setelah pencoblosan, Anies Baswedan memang bertemu Gubernur Ahok di Balaikota, yang jaraknya tidak jauh dari Hotel Arya Duta.  Lalu disebutkan, dari lobi hotel itu, Anies naik Alphard ke Balaikota. Nah siapa pemilik Alphard ini tidak jelas. Yang pasti yang mau dikesankan, Anies tidak memiliki mobil mewah itu. Anies sedang "dirusak" oleh yang punya uang.

Heli, hotel dan RS Siloam itu dikenal kepunyaan Lippo Grup. Sementara kediaman pribadi Anies di daerah Lebak Bulus, tak jauh dari lokasi RS Siloam.

Untuk menghindari macet, dari rumahnya ke Balaikota, ia menempuh naik Heli milik konglomerat.

Postingan yang menyebutkan adanya dukungan diam-diam oleh tiga konglomerat Tionghoa terhadap Anies-Sandiaga, menggoda perhatian. 

Sebab dilengkapi dengan foto tiga konglomerat yang duduk berdampingan pada satu acara. Hanya saja tidak disebutkan kapan foto itu dibuat.

Postingan tentang rencana kudeta, saya tempatkan paling atas, karena postingan tersebut perlu diwaspadai.

Boleh jadi rencana makar itu tidak ada, tetapi wartawan Amerika ini sengaja melakukan insinuasi. Dan stigma bahwa di negara seperti Indonesia, kudeta merupakan jalan atau pilihan yang disukai, sedang dikembangkan.

Kewaspadaan makin diperlukan, sebab cara bekerja wartawan Amerika terkadang seperti politik luar negeri negara itu, yaitu berstandar ganda. Selain menjadi wartawan, bisa juga merangkap sebagai agen.

Mereka sangat suka mengeksploitir konflik di sebuah negara demi suksesnya agenda AS yang juga suka melakukan campur tangan di sebuah negara.

Bisa dikatakan, tidak ada negara di dunia ini yang terjebak dalam situasi terus berkonflik, tanpa dipicu pemberitaan media AS - yang isinya baik secara insinuatif maupun provokatif.

Untuk menghasilkan kesimpulan tentang rencana makar tersebut, Allan Nairn melakukan serangkaian wawancara dengan para nara sumber di Jakarta.  Hal mana memberi kesan, bobot investagasinya "second to none".

Hasil investigasi itu sendiri dimuat di website "The Intercept" - dalam bahasa Inggeris tentunya pada 19 April 2017 jam 0850 pagi. Kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia atas izin penulisnya untuk dimuat di portal "tirto.id", pada tanggal yang sama. 

Luar biasa cepat dan sempurna koordinasinya!

Saya mencatat, untuk menerjemahkan artikel yang cukup panjang itu memerlukan waktu yang juga cukup panjang. Sementara dalam catatan portal yang menteremjahkannya antara lain disebutkan ada beberapa petikan yang sengaja dihilangkan.

Judulnya cukup provokatif. Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih begini: "Para Sekutu Trump di Indonesia Tidur Dalam Satu Kasur Bersama Milisi Yang Didukung ISIS Untuk Menyingkirkan Presiden Terpilih (Trump's Indonesian Allies In Bed With ISIS-Backed  Militia Seeking To Oust Elected President)". 

Trump yang dimaksud tentunya, Presiden AS Donald Trump yang terpilih dalam Pemilu 8 Nopember 2016 dan dilantik pada 20 Januari 2017.

Allan Nairn sendiri bukanlah wartawan yang asing bagi sejumlah elit di Indonesia. Antara lain karena dia selalu hadir di negara kita, biasanya di saat tensi suhu politik Indonesia sedang tinggi.

Saya tertarik mengomentari tulisan Allan Nairn, karena reportasenya tentang Indonesia muncul bersamaan dengan saat hubungan negara kita dan negaranya, sedang berada dalam fase transisi.

Dengan kata lain, kepentingan AS di Indonesia, negara terbesar dan terbanyak penduduknya di Asia Tenggara serta geopolitiknya yang sangat strategis,  sedang mengalami gangguan.

Pengaruh AS di negara kita, sedang tergerus bersamaan dengan menguatnya porto folio politik RRT di dunia pada umumnya dan Asia Tenggara khususnya.

"Sengketa" pemerintah Indonesia dengan swasta Amerika dalam bisnis tambang di Papua, PT Freeport, sedikit banyaknya menunjukkan tingkat kepercayaan Indonesia terhadap AS, sedang dalam gejolak.

Selain itu, bukan tidak mungkin pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Joko Widodo, bisa lebih mendekat ke Rusia, negara adidaya yang sangat diperhitungkan oleh AS. Sebab berbagai kebijakan AS yang merugikan Indonesia, tak bisa diabaikan begitu saja.

Ingat, ketika Indonesia membeli pesawat tempur Sukhoi dari Rusia, pembelian itu langsung direspon AS dengan berbagai cara.
Sukkhoi yang kemudian bermaksud memasarkan pesawat komersilnya, terkendala.

Sebuah unit Sukhoi Superjet 100  yang sedang diuji coba dalam penerbangan di Jakarta dan Jawab Barat, mengalami kecelakaan di Gunung Salak Sukabumi, pada9 Mei 2012.

Beberapa media internasional melaporkan, pesawat itu disabotase agen Amerika yang bekerja di Pangkalan Militer RI, Halim Perdana Kusumah.
 
Allan Nairn atau pihak yang mensporinya, bisa jadi membaca trend perkembangan d Indonesia yang perlu diantisipasi. Sehingga lahirlah ulasan inisinuatif tersebut.

Saya percaya militer kita yang saptmargais, lebih berkepentingan menjaga keutuhan negara ini. Kalaupun ada ketidak puasan, belum tentu ketidak puasan itu diwujudukan dalam bentuk kudeta.

Sebab serapih apapun kudeta itu dilakukan, hasilnya tak akan serta merta membuat negara ini melejit seperti meteor, menjadi negara yang teratas di antara semua negara di dunia.

Dalam koteks itu, kita perlu menyimak dan mewaspadai sejumlah isu yang berpotensi merusak keutuhan bangsa. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA