Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Singapura, Tetangga Yang Tidak Cukup Kalau Hanya Diwaspadai

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 17 April 2017, 06:57 WIB
<i>Singapura, Tetangga Yang Tidak Cukup Kalau Hanya Diwaspadai</i>
Derek Manangka/Net
BERBURUK sangka, memang bisa disebut sebagai sikap yang tidak baik dalam sebuah persahabatan. Tetapi terlalu percaya kepada setiap sahabat, juga boleh jadi tidak bijaksana. Yang paling tepat adalah sikap dimana kita percaya tetapi harus ada ruang cadangan yang disisakan untuk antisipasi.

Inilah poin yang ingin disampaikan dalam mengkritisi hubungan kita dengan Singapura.

Sebagai tetangga, kita wajib membangun hubungan persahabatan yang baik dengannya. Tetapi hubungan baik itu juga harus atas saling menguntungkan. Bukan menjadikan Singapura terus-terusan untung, sementara Indonesia selalu dalam posisi yang dirugikan.

Hubungan kita dengan tetangga terdekat ini, perlu kita evaluasi, terutama setelah Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Jenderal Soeharto, sementara Singapura juga tidak lagi berada dalam komando Lee Kuan Yeuw.

Ketika dua tokoh senior tersebut, masih menjadi figur sentral di kedua negara, hubungan RI-Singapura relative baik. Hal mana terlihat dari banyak hal. Dimulai dari sikap Lee Kuan Yeuw maupun cara para pejabat bawahannya dalam melakukan diplomasi.

Lee sebagai pendiri Singapura dikenal seorang pemimpin yang berwatak keras dan rada over confidence, alias terlalu PD atau Percaya Diri.  
Tetapi terhadap Presiden Soeharto, seorang jenderal yang juga dikenal punya watak keras, sikapnya agak lain. Ia tunjukkan rasa respek dan sikap segannya terhadap Pak Harto.

Tahun 1971 sewaktu Lee sebagai Perdana Menteri untuk pertama kalinya berkunjung ke Indonesia, sikap kerasanya dia perlembut. Dia tidak bisa mengelak ketika protokol RI mewajibkannya untuk meletakkan karangan bunga di pusaran Harun dan Usman di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Harun dan Usman merupakan prajurit marinir yang berusaha melakukan sabotase di Singapura-pada tahun 1965. Saat itu negara pulau ini masih menjadi bagian dari Malaysia. Indonesia pada era itu sedang terlibat perang, konfrontasi dengan Malaysia.

Jadi peletakan karangan bunga itu, hanya peristiwa kecil kalau dilihat dari durasi acaranya. Namun secara simbolistis, hal itu justru merupakan sebuah peristiwa yang sangat besar. Itu merupakan sebuah siimbol pengakuan "bersalah" oleh Pemimpin Singapura itu atas keputusannya menghukum gantung kedua eks anggota Marinir itu pada 17 Oktober 1968 di negaranya.

Pasca kunjungan Lee ke Indonesia, dalam kerangka hubungan regional, terjadi perubahan yang luar biasa dalam hubungan bilateral, dalam konteks hubungan regional.

Singapura termasuk anggota ASEAN yang menempatkan Indonesia sebagai "big brother" bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Hampir tak ada penentangan Singapura terhadap gagasan Indonesia yang bermaksud membesarkan porto folio ASEAN.

Soeharto sebagai Pemimpin Indonesia, pun menjadi simbol pemimpin bangsa-bangsa di Asia Tenggara.

Namun itu tadi - setelah Soeharto dan Lee Kwan Yeuw tak lagi di lingkar kekuasaan, apalagi keduanya sudah kembali ke alam baka, hubungan kedua negara berubah. Dan perubahan ini lebih banyak dipicu oleh sikap sepihak Singapura sendiri. Yang memicu di dalam negeri Singapura itu, adalah generasi baru yang memimpin negara pulau tersebut.

Gaya kepemimpinan generasi baru di Singapura, berubah drastis. Singapura dijadikan model, negara kecil yang tak punya sumber daya alam, tetapi sangat unggul di bidang teknologi dan jasa. Singapura mencipatkan hampir semua bidang yang ada di negara tertangganya, barang tiruan dan dijadikannya sebagai prototip yang lebih baik.

Singapura menjadi kiblat dari semua negara di ASEAN.

Walupun yang menjadi pemimpin Singapura - seorang putera mahkota Lee Kwan Yeuw, tetapi Lee Hsien Loong, puteranya, tidak bisa dikatakan mengikuti cara berfikir mendiang ayahnya. Lee Junior tidak sama dengan Lee Senior. Atau The Son Is not Like His Father.

Perubahanan yang cukup drastis, terlihat dari sikap Singapura yang secara terbuka menyediakan negaranya menjadi salah satu pangkalan militer Amerika Serikat. Sementara penyediaan itu disadari Singapura sebagai kebijakan yang bertentangan dengan kesepakatan ASEAN.

Jadilah Sigapura sebagai salah satu Co-Founder ASEAN yang melanggar kesepakatan ASEAN.

Dalam perspektif diplomasi global, kehadiran pangkalan militer Amerika di Singapura, sama dengan menciptakan sebuah kecemburuan di antara negara-negara adi daya: RRT dan Rusia.

Siapa yang berani membantah bahwa kehadiran pangkalan militer AS itu telah melahirkan rasa curiga RRT terhadap agenda AS di Laut Tiongkok Selatan?

Siapa yang bisa menolak anggapan bahwa kalau militer AS dan RRT sudah hadir di Laut Tiongkok Selatan, maka Rusia juga boleh hadir di sana. ?

Sehingga bisa disimpulkan Singapura-lah sebetulnya yang memicu munculnya ketegangan di kawasan Asia Tenggara.Tiga negara adidaya yang memililki kekuatan militer, disatukan dalam satu “pot” di Asia Tenggara.

Nah yang menimbulkan kecurigaan, di saat suhu persaingan di Laut Tiongkok Selatan itu sedang  bereskalasi, tiba-tiba Singapura membujuk Indonesia untuk mencari solusi bagaimana cara meggelolah Laut Tiongkok Selatan agar tidak menjadi daerah konflik.

Presiden Joko Widodo dengan kepolosannya menerima bujukan tersebut, sehingga Presiden RI itu menerima PM Lee Hsien Loong di Semarang, tahun lalu, tepatnya 14 Nopember 2016.

Mengapa manuver Singapura itu perlu dicurigai ? Antara lain karena dengan cara itu, Singapura yang tidak punya akses di Laut Tiongkok Selatan, akhirnya memperolehnya secara mulus dan gratis.

Singapura yang tadinya bukan faktor penentu, akhirnya dengan menumpang tangan atau punggung Indonesia, akhirnya menjadi negara yang tak boleh diabaikan manakala bicara soal ketegangan dan konflik di Laut Tiongkok Selatan.

Singapur patut diwaspadai, sebab kebijakan luar negerinya ada kemiripin dengan AS yaitu yang selalu berstandar ganda.  

Dengan RRT, negara ini sangat dekat. Tetapi AS yang menjadi saingan RRT, juga tak kalah dekatntya. Antara lain dengan menyediakan negaranya sebagai pangkalan militer AS.

Memang sebagai sebuah negara terkecil di ASEAN setelah Brunei Darussalam, manuver Singapura ini tidak bisa disalahkan. Sebab yang dilakukannya adalah dalam rangka survival, perjuangan hidup.

Sama halnya ketika Singapura mendorong bank-banknya menampung hampir semua uang warga negara Indonesia.  Bahkan mungkin juga uang-uang hasil korupsi para koruptor. Kebijakan itu dalam rangka survival.

Singapura tak puya sumber daya alam. Kalau ada uang tunai yang bisa disedot dari luar negeri, mengapa tidak ?

Namun persoalannya menjadi serius dan sensitif. Sebab tindakan itu secara tidak langsung “menggerogoti” Indonesia.

Tindakan “penggerogotan” ini, memperlemah perekonomian Indonesia. Lemahnya ekonomi Indonesia cepat atau lambat dapat menimbulkan krisis serta mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
 
Mulai mengemuka persepsi, bahwa diberikannya tempat-tempat penampungan bagi uang yang dihasilkan di Indonesia tersebut oleh Singapura, makin hari makin memperlemah dan memperpanjang krisis ekonomi Indonesia. 

Uang yang mestinya bisa digunakan sebagai mesin pembangunan di Indonesia, justru memperkuat dan mempersehat negara lain.

Yang lebih ironis lagi, Singapura mulai berubah sebagai negara investor asing terbesar di Indonesia. Padahal uang yang diinvestasikan di Indonesia itu, boleh jadi uang milik orang Indonesia yang didepositokan untuk jangka panjang di Singapura.

Uang asal dari Indonesia itu hanya ditansfer beberapa kilometer dari Pulau Batam, kemudian dimasukkan kembali ke Indonesia, dan kita harus membayar bunganya secara komersil.

Singapura tersenyum, Indonesia tertawa kecut. Singapura makin makmur, Indonesia tetap merana.

Apalagi ada kejadian, ketika pemerintah Indonesia memperkenalkan Pajak Pengampunan tahun lalu, ada usaha dari aparat perbankan Singapura yang mau mengkriminalisasi nasabah Indonesia yang bermaksud memindahklan uangnya ke rekening bank di Indonesia. 

Tindakan ini jelas merupakan bagian dari usaha Singapura untuk menggagalkan semua upaya repatriasi modal ke Indonesia.

Sehingga diam-diam timbul anggapan, Singapura yang penduduknya beretnis Cina, secara sengaja menghalangi orang-orang Indonesia keturunan Cina untuk bersikap tidak   kooperatif atau mendukung program penyehatan ekonomi oleh  pemerintah RI.

Di pihak lain, di kalangan orang Indonesia keturunan Cina, ada  yang merasa kaya dan “berada di atas angin”, melihat berbagai krisis Indonesia sebagai akibat dari hadirnya rezim yang berizikan banyak birokrat  korup atau yang “bisa dibeli”. 

Ada sikap sinisme dan meremehkan.  Stigma para pejabat negara kita, seolah semuanya sudah menjadi birokrat yang bermental korup dan transaksional.

Pergantian rezim dari tahun 1998 sebanyak  5 kali, hanya bajunya saja yang berganti. Sementara mental korup dan transaksional, berubahnya minim sekali.

Sikap negatif ini, diakui atau tidak,  sudah atau sedang menjadi fenomena.  Apalagi yang muncul di persaingan dalam era sekarang, adalah generasi baru. Generasi ini tergolong mereka  yang tidak mengalami pahir getrnya kehidupan seperti yang dialami oleh Liem Sioe Liong di masa muda, atau perjuangan membela merah putih sebagaimana dilakukan oleh Rudy Hartono atau Liem Swie King.  

Sikap ini memperlemah kredibiltas pemerintah.

Situasi ini dibaca oleh Singapura, sebagai sebuah fenomena. Dan buat Singapura, negara  yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi bagaimana memanfaatkan fenomena yang bermuatan SARA ini,  hal ini lalu dimaksimalkannya.

Kalau boleh loncat ke topik yang tidak berkaitan langsung, tetapi memiliki aroma kuat yang mengundang kecurigaan,  kita beralih ke sebuah peristiwa di Changi, Singapura.

Persisnya berupa penghinaan oleh Steven Hadisurya Sulistyo (SHS), seorang WNI keturunan Tionghoa  terhadap Tuan Guru Baja atau Muhammad Zainul Majdi yang nota bene Gubernur Nusa Tenggara Barat.

Persistiwa ini patut dicermarti bahkan bila perlu kita lihat dari perspektif lebih luas. Peristiwa itu terjadi 9 April 2017 baru lalu.

Apakah hal itu terjadi secara spontan atau ada yang memprovokasi ataupun sengaja memunculkannya ?

Sebab kenyataannya, peristiwa itu dalam waktu singkat telah memancing kemarahan di antara para netizen. Kemarahan mana berpotensi merusak tatanan persatuan dan kesatuan bangsa. 

Bagi Indonesia, jika kejadian ini akhirnya memecah bangsa dan negara, yang rugi bukan Singapura.

Perpecahan ini sebaliknya bahkan akan menjadi alasan oleh orang-orang beruang, tak peduli dia Chinese, Cina, Tionghoa atau pribumi, bakal mengungsikan uang mereka ke luar.

Dan yang terdekat Singapura.

Peringatan sebagai “wake up call” ini perlu disampaikan.  Sebab demikian sistemiknya berbagai persoalan sensitif muncul ke permukaan, secara bergantian dan terus menerus. 

Gubernur NTB sendiri, seorang intelektual Islam yang disebut oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN di era SBY sebagai sosok yang memenuhi persyaratan menjadi RI-1 di waktu mendatang.

Dia  sudah memberikan maaf kepada SHS.

Tetapi netizen yang menggunakan sentimen SARA terus memviralkan kejadian tersebut. 

Ada apa ? Tidak bolehkah kita mencurigai atau mewaspadai peristiwa yang bermula di bandara Singapura tersebut? [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA