Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perang Saudara Syria, Tragedi Kemanusiaan Yang Kita Abaikan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Rabu, 12 April 2017, 06:56 WIB
<i>Perang Saudara Syria, Tragedi Kemanusiaan Yang Kita Abaikan</i>
Derek Manangka/Net
MUNGKIN Syria, salah satu negara Islam yang terletak di Timur Tengah, yang karena letaknya terlalu jauh dari Indonesia, membuat kita di sini tak terlalu memperlihatkan kepeduliannya. Perbedaan waktu dengan Jakarta saja, sekitar 4 jam. Sehingga tidak semua orang Jakarta apalagi Indonesia yang peduli dan cukup melek dengan apa yang terjadi pada rakyat Syria.

Begitu rendahnya tingkat kepedulian kita, sampai-sampai negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) minggu lalu sudah menghujani kota Homs dengan roket Tomhawk dengan 59 hulu ledak, tak membuat bangsa Indonesia tergerak ataupun tersentuh.

Serangan itu pasti menimbulkan korban di kalangan rakyat sipil. Namun karena kerusakannya tidak diberitakan oleh media, membuat kita hanya berpaku diam. Tidak ada rasa pilu.

Serangan AS tersebut apapun alasannya, merupakan sebuah pelanggaran kedaulatan atas sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

Semestinya pemerintah Indonesia melakukan protes.  Dubes kita di PBB, New York, harus protes. Jangan hanya Dubes AS di PBB Niki Haley yang terus-terusan berusara atau membela diri.

Kalau tidak berani protes, minimal lakukan aksi boikot. Bentuknya terserah. Yang penting tunjukan kepada dunia, bahwa Indonesia masih eksis di bumi Nusantara dan tetap peduli dengan masalah kemanusiaan.

Jika terhadap Syria, AS bisa berbuat seenaknya seperti itu,  bukan mustahil hal serupa juga bisa dilakukannya pada Indonesia.  Lalu siapa yang akan peduli pada kita, jika kita tidak pernah memperlihatkan kepeduliannya terhadap nasib bangsa lain?

Jangan lupa, soal campur tangan dengan kekerasan AS  sepertidi Syria  ini, bukan baru kali ini dilakukan oleh negara adidaya tersebut.  

Kita semua sibuk dengan kepentingan kelompok dan diri sendiri. Yang koruptor terus saja menikmati hasil korupsinya, para politisi busuk tetap saja dengan jargon-jargon yang membohongi masyarakat. Dan yang tidak tahu apa-apa makin dirasuki dengan paham-paham yang menyesatkan.

Sesungguhnya apa yang dialami bangsa Syria saat ini, sudah sama dengan kehidupan di kiamat.

Yah, kita semua  memang kita tidak tahu bagaimana persisnya bentuk dari sebuah alam kiamat. Tapi kalau penderitaan yang diajarkan di kitab-kita suci - agama manapun, yang dijadikan ukuran, penderitaan yang dialami bangsa Syria, sudah seperti itu.
Di sekeliling Syria hanya ada api dan kematian. Tak ada kesejukan apalagi janji adanya sebuah nirwana.

Bagaimana tidak, dalam Perang Saudara selama 4 tahun, yang  terbunuh sudah mencapai 450 ribu  Jumlah itu bagi Indonesia yang berpenduduk 250 juta jiwa, bukanlah angka yang signifikan.  

Tapi coba bayangkan mayat-mayat yang meninggal akibat ledakan bom yang bertebaran di sebuah pemukiman.  Atau sebuah kuburan massal yang menyediakan liang lahat seanyak 450 ribu lobang. Kalau kesadaran anda sebagai manusia tidak tersentuh, itu berarti roah moral anda sudah mati.

Selain yang meninggal ratusan ribu, terdapat 6 juta pengungsi yang berpotensi meninggal karena kesulitan hidup. Jumlah pengungsi itu hampir seperempat dari total penduduk penduduk Syria, 22 juta jiwa.

Kalau kita boleh bermain angka, jika jumlah pengungsi  itu diambil dari sebuah desa terpadat di Pulau Jawa, berapa banyak desa yang tiba-tiba kosong? Jumlah itu sama dengan jumlah TKI yang bekerja di luar negeri.

Sisi tragis dari pengungsi Syria antara lain terletak pada ketersediaan negara yang bersedia menampung atau membantu mereka. Negara tetangga sekitar Syria, tak kuat lagi menampung pengungsi. Sebab selain Syria, masih ada pengungsi dari Palestina yang juga berdiaspora di kawasan Timur Tengah.

Begitu pula negara Arab yang kaya minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar, bersikap alergi terhadap pengungsi dari negara Arab  miskin itu. Negara Arab kaya itu sebetulnya cukup dekat dengan Syria.

Namun sejajar dengan sikap itu, pengungsi Syria pun lebih suka mengungsi ke Eropa Barat walau resiko kematian juga tak kalah besarnya..

Tahun lalu terjadi eksodus besar-besaran dari Syria. Para pengungsi memutuskan berjalan kaki menuju Eropa. Mereka berjalan sepanjang ribuan kilometer dengan resiko bisa mati konyol di tengah jalan.  Sebab sepanjang perjalanan itu, mereka tidak punya persediaan makan dan minum maupun  obat-obatan.
 
Pemandangan dari udara atas eksodus rakyat Syria ini, dalam bentuk foto dan video berwarna, sangat indah. Kontras dengan kehidupan sesungghuhnya daqri para pengungsi itu sendiri.

Sebab sesungguhnya jauh di balik hati mereka yang dalam, mereka terus menangis. Memikul beban yang lebih berat dari timbangannya. Ada yang menggendong bayi dan anak kecil atau memapah orangtua rentah yang sakit-sakitan.

Ketidakpedulian kita terhadap Tragedi Surya merupakan keniscayaan dan sebuah sikap yang "absurd".

Banyak orang yang tahu Turki, negara Islam modern dan makmur. Tetapi kelihatannya tak banyak yang tahu bahwa Syria merupakan negara Islam miskin yang berbatasan langsung dengan Turki.

Banyak yang menjadi pemuja Presiden Turki Erdogan yang dulunya dikenal sangat dekat dengan AS. Sebaliknya banyak yang tidak mengenal sosok Bashar Assad, Presiden negara Syria yang tidak disukai AS.

Turki dan Syria merupakan contoh faktual bagaimana negara liberal seperti Amerika memainkan politiknya yang tidak sama terhadap dua negara Islam di Timur Tengah. Yang satu dirangkul, satunya lagi dihancurkan.

Rakyat kita banyak yang memuja Erdogan, tanpa banyak yang sadar, keberhasilan Turki menjadi sebuah negara Imodern, tak bisa dilepaskan dari sokongan Amerika Serikat (AS) dan negara liberal lainnya Uni Eropa.

Sama dengan ketidak sadaran kita bahwa kehancuran Syria, dikarenakan oleh ketidak sukaan AS terhadap pemimpin negara Arab tersebut. Syria tidak memperoleh perlakuan sama  dari Amerika sepeeti yang dinikmati Arab Saudi.

Pasalnya antara lain Arab Saudi mengizinkan AS membangun pangkalan militernya, sementara Syria memberikan salah satu wilayahnya bagi pangkalan militer Rusia.   Syria juga dimusuhi AS, karena kedekatannya dengan Iran, musuh utama AS di dunia Islam.

Begitu minimnya kepedulian kita terhadap apa yang dialami bangsa Syria. Sehingga doa-doa keselamatan bagi warga Syria yang masih hidup, tak pernah kita kirimkan.

Gereja atau rumah ibadah lainnya, tak terdengar menyuarakan permintaan kepada Tuhan Allah agar menjatuhkan keselamatan dan menghilangkan beban penderitaan bagi bangsa Surya. Apakah hal ini akibat ketidak tahuan para Majelis pengkhotbah bahwa di Syria juga banyak pemerluk Kristen (Katolik dan Protestan), atau karena alasan lain?

Saya berani menyatakan demikian, karena walaupun media-media terus memberitakan tragedi Syria, para pemimpin agama kita, tak tergerak.

Tempat tinggal saya di Jakarta Selatan yang tergolong masih seperti kampong, yang boleh dibilang dikelilingi oleh sejumlah masjid. Setiap kali sholat subuh, tak sekalipun saya dengar  ada Imam atau Ustadz yang memanjatkan doa bagi bangsa Syria.

Kesimpulan sementara saya sederhana : kita telah mengabaikan saudara-saudara kita yang ada di Syria. Saya sebut saudara, sebab bangsa Syria juga mirip dengan Indonesia. Bangsa Arab yang majemuk baik dari segi agama maupun etnis.

Kita mengabaikan Surya, mungkin karena rakyat Jakarta terlalu fokus dan sangat peduli pada Pilkada 2017. Kita lebih tertarik pada persoalan politik, kekuasaan atau hal-hal sejenis dengan pemilihan calon pemimpin atau penguasa.

Jangan lupa, Perang Saudara di Syria, sesungguhnya terjadi karena soal perebutan status siapa yang layak jadi pemimpin dan atau penguasa. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA