Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengapa Perang Saudara Syria, Pelajaran Penting Bagi Indonesia? (Penutup)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 09 April 2017, 03:23 WIB
Mengapa Perang Saudara Syria, Pelajaran Penting Bagi Indonesia? (Penutup)
Derek Manangka/Net
ALASAN AS memusuhi Presiden Joko Widodo, cukup kuat. Sebab Presiden ke-7 RI ini sedang membangun hubungan baik dengan Rusia dan RRT.

Dua negara terakhir ini, merupakan saingan global AS baik secara bisnis maupun militer.

Alasan kuatitu terletak pada sejarah. Naiknya Joko Widodo ke kursi Presiden, mulai dari Walikota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta, sampai akhirnya menjadi Presiden RI, tidak lepas dari peran dan skenario AS.

Negara adidaya ini, berkesimpulan hanya seorang Presiden yang berkarakter seperti Pak Jokowi yang akan mampu mereka kendalikan. Dia berwajah innocent, tidak banyak musuh dan berasal dari Partai Politik yang masih berbau titisan Soekarno. Kali ini AS memberi "panggung" ke partai yang menjadi pendukung Soekarno.

Jokowi adalah pilihan tepat ketimbang Prabowo Subianto, seorang militer berlatar belakang pendidikan Barat. Yang rekam jejaknya sudah diketahui AS sebagai sosok yang tak bakal bisa dikendalikan.

Peran AS itu dimainkan oleh para lobiest AS di Indonesia. Sekalipun secara kasat mata, peran itu tak bisa dibuktikan apalagi dilihat.

Yang ada hanya dirasakan, plus cerita rumor yang beredar atas dasar "katanya-katanya".

Usaha Joko Widodo yang tidak menyenangkan AS, terdapat pada keputusannya mengunjungi Iran, baru-baru ini. Mengapa ? Yah karena Iran merupakan negara sekutu terkuat Rusia di dunia Islam.

Selain itu sejak Revolusi Islam Iran di tahun 1980-an dimana Shah Iran, rezim dan dinasti yang didukung AS, ditumbangkan, telah menyebabkan hubungan Washington - Teheran, putus total.

AS sangat dirugikan atas situasi itu. Sebab para mahasiswa Iran yang belajar berbagai teknologi tinggi di AS, kini sudah kembali ke Iran, membangun nagara itu atas visi Revolusi Islam.

Jika Iran diketahui memiliki kemampuan memproduksi senjata nuklir, itu tidak lain karena ilmu yang diperoleh para mahasiswa Iran, saat belajar di AS, tahun 1970-an.

AS akhirnya menempatkan Iran sebagai negara Islam Syi'ah.

Di sisi lain, AS menempatkan Arab Saudi sebagai sekutu tandingannya dengan Iran, selaku negara Islam Sunni.

Perbedaannya, kalau Syi'ah dimusuhi AS, Sunni, tidak. Atau sama dengan AS merangkul Arab Saudi tetapi memusuhi Iran. Rangkulan AS terhadap Arab Saudi, diperkuat dengan hadirnya pangkalan militer AS di negara tempatnya kota suci umat Islam, Mekkah dan Medina.

Dampaknya antara lain, terjadi perpecahan di kalangan dunia Islam yang membagi Sunni versus Syi'ah.

Kunjungan Jokowi ke Iran, diawali dengan lawatan ke India. Negara ini juga termasuk yang tidak terlalu akrab dengan AS.

Penyebabnya antara lain, India yang merupakan negara yang memiliki penduduk kedua terbanyak di dunia, setelah RRT, memiliki nasionalisme yang kuat. India juga sama dengan Indonesia berada dalam grup negara anggota Non Blok, gerakan yang tidak disukai AS.

Bisa diartikan, di mata AS, Joko Widodo mulai berprilaku nakal. Dia lupa yang menjadikannya sebagai Presiden bukan hanya pemilih Indonesia, tetapi AS sebagai negara adidaya yang pengaruhnya terhadap kehidupan politik Indonesia sangat kuat.

Selain Rusia dan India, ada faktor RRT.

Kehadiran RRT di Laut Cina Selatan, sepertinya tidak dimusuhi oleh Presiden Joko Widodo. Hal mana menambah kecurigaan, bahwa Indonesia saat ini memang sudah semakin iengket dengan RRT.

Kedekatan ini tentu saja cukup menimbulkan kecembiuruan AS. Sebab dengan begitu AS gagal menciptakamn jarak antara negara komunis itu dengan Indonesia. Sementara yang menciptakan permusuhan RI - RRT pada tahun 1965, justru AS.

Maka jadilah RRT bersama Rusia yang dua-duanya ibarat darah ada DNA komunisnya, sebagai ancaman potensil buat negara anti-komunis AS, di kawasan Asia.

Kedekatan RI-RRT makin mengancam AS, sebab keduanya terlibat dalam proyek yang saling menguntungkan. Yaitu jual beli gas, gas yang berasal dari Tanggu, Papua.

Selain itu, kedua negara juga masih bekerja sama dalam berbagai proyek. Masih ada proyek raksasa, seperti kereta api tercepat Jakarta - Bandung.

Tapi gas Tanggu semakin senistif bagi AS, sebab kesepakatan itu dicapai kedua negara ketika Indonesia dipimpin Megawati Soekarnoputri. Sementara Megawati merupakan putri mendiang Soekarno, yang dikenal sebagai salah seorang pemimpin Indonesia yang jadi musuh utama AS.

Soekarno dimusuhi AS karena ideologi nasionalismenya, bertentangan dengan sistem kapitalisme dan demokrasi liberal yang jadi urat nadi AS.

Sedangkan Rusia, pecahan bekas negara komunis Uni Sovyet - eks musuh AS di era Perang Dingin. Negara ini sedang mengincer Pulau Biak, di Papua Barat.

Rusia mau menjadikan Biak, sebagai tempat peluncuran berbagai jenis satelit. Keinginan Rusia ini tidak disukai AS dengan sejumlah alasan.

Biak yang memiliki lebih dari satu lapangan terbang, berkemampuan menampung pesawat militer.

Semua lapangan terbang di Biak, dibangun di eraJenderal Douglas McArtur, Panglima Pasukan Sekutu AS di Pasifik, di era Perang Dunia Kedua/Perang Pasifik.

Pembangunan bandara di Biak, dilakukan lebih dari 70 tahun lalu dengan tujuan sebagai basis semua armada udara AS untuk memerangi Jepang, dalam Perang Pasifik.

Jika di era sekarang, Biak jatuh ke Rusia, secara psikologis, hal itu sama dengan sebuah kekalahan dalam perang diplomasi. Atau jatuhnya Biak ke tangan kompetitor AS, sama dengan hilangnya pengaruh dan legacy-nya AS di Papua atau Pasifik.

Sehingga kedekatan Indonesia dengan RRT dan Rusia, atau kehadiran RRT dan Rusia di Papua, secara geopolitik, sangat mengganggu eksistensi AS.

Apalagi di Papua sejak 50 tahun lalu, beroperasi Freeport, perusahaan tambang terbesar di dunia, milik AS.

Seperti sebuah mimpi di siang bolong, AS yang sudah "berkuasa" di Papua, sejak 1967, tiba-tiba diminta "berbagi" kekuasaan oleh Indonesia untuk memberi kenyamanan terhadap tetangga baru, RRT dan Rusia.

Tambang Freeport ini sendiri disebut-sebut sangat vital bagi AS. Sebab konon Freeport menjadi pemasok uranium, komponen penting bagi pembuatan senjata nuklir di Amerika.

Dari tambang Papua, AS juga disebut-sebut berhasil memperoleh cadangan emas terbesar di dunia. Bisnis emas di dunia goncang , jika emas di Papua jatuh ke Indonesia atau negara lain yang bukan AS.

Bisnis emas dunia bakal goncang, jika kelak AS tak lagi seleluasa di Papua, seperti setengah abad terakhir ini.

Kembali ke soal 'pembantaian', tanpa penyelidikan pihak independen, beredarlah video pembantaian di Papua, yang berviral ke seluruh dunia. TNI dituduh bertindak brutal.

Padahal dalam era sekarang, pembuatan video berdurasi singkat seperti itu, bisa saja diproduksi oleh produsen film Hollywood.

Apa sih sulitnya membuat film pendek, mendanai proyek video seperti itu ? Sementara Hollywood mampu memproduksi film kolosal yang seolah-olah sebuah kisah nyata, plus biaya jutaan dolar.

Jadi bukannya apriori terhadap tudingan bom kimia yang dijatuhkan tentara Syria terhadap rakyat Syria. Tapi sangat mungkin apa yang dituduhkan itu, merupakan bagian dari Perang Urat Syaraf ataupun "War by Proxy".

Sulitnya, tak ada lembaga independen yang mampu memverifikasi. Sedangkan PBB, tak bisa lagi diharap banyak karena sudah dikooptasi oleh Washington.

Walaupun ada videonya yang kini beredar luas di YouTube, saya pribadi masih ingin ada yang bisa memastikan keabsahannya.

Sebab untuk membuat video seperti itu, orang awam saja, sudah bisa melakukannya.

Jangan kaget jika saat ini banyak beredar video editan yang sengaja diproduksi untuk kepentingan propaganda maupun agenda tertentu. Sebab teknologi video, bukan lagi termasuk tekno tinggi.

Masih menjadi tanda tanya besar apakah seorang Presiden Syria, rela membunuh rakyatnya sendiri dengan bom kimia ?

Sejarah mencatat, negara yang bisa membuat senjata seperti itu, bukanlah negara miskin seperti Syria. Kemiskinan Syria, tak memungkinkan rezim ini membeli senjata kimia yang harganya mahal.

Sejarah Perang Indochina, membuktikan negara yang menggunakan senjata kimia di perang tersebut bukan tentara komunis Vietkong. Tetapi tentara AS.

Lantas Trump, Presiden AS yang hanya memperoleh laporan sepihak dari aparat intelejen - katakanlah CIA, memutuskan membombardir Jakarta atau wilayah lainnya yang dianggap posisi kunci NKRI.

Jangan lupa AS, menginvasi Irak di tahun 2003, berdasarkan laporan CIA. Bahwa Irak yang dipimpin Saddam Husein memiliki senjata kimia dan senjata pemusnah massal (mass destruction weapon).

Laporan CIA itu terbukti tidak benar, walaupun akhirnya laporan tidak benar itulah yang dijadikan dasar untuk menghancurkan Irak termasuk menggantung Saddam Husein-nya, setelah melalui pengadilan yang sudah diatur.

Karena itu, pengandai-andaian ini, bukan sebuah usaha menimbulkan anti pati pada AS. Tapi sebagai "wake up call" untuk semua warga yang cinta NKRI. Dan bagian dari tanggun jawab intelektual, untuk berbagi apa yang bisa dibagi.

Perlu pengandaian, sebab serangan terhadap Indonesia bisa menjadi sebuah keniscayaan.

Serangan itu dapat dilakukan kapan saja oleh berbagai pangkalan militer AS yang mengelilingi wilayah se Nusantara. Kita mungkin tak perlu berandai andai sekarang, misalkan Donald Trump beristerikan salah seorang wanita asal Indonesia.

Serangan itu bisa berasal dari Diego Garcia (Samudera Indonesia), Darwin, Singapura, Clark dan Subic Bay (Filipina) atau Armada VII yang bebas berseliweran melintas di dalam wilayah Indonesia.

Saya tidak berharap bombardemen itu terjadi. Namun tak ada salahnya bagi kita untuk tidak menganggap remeh, atau menafikan apa yang terjadi di Syria dan prilaku AS yang mengobok-obok negara di Timur Tengah.

Dari Perang Saudara Syria, cukup jelas terbaca, konflik internal di sebuah negara, sangat mudah dijadikan pintu masuk oleh kekuatan asing untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan sebuah bangsa.

Di sini, perbedaan agama dan suku, kaya dan miskin, yang jadi awal konflik internal, tidak lagi menjadi isu sentral. Hanya sebagai pendomplengan.

Hanya jembatan untuk memasuki wilayah kedaulatan kita - biar tak kelihatan kasar, melanggar kedaulatan.

Saya harap anda bersepakat. Namun kalau tidak, tak apa-apa.

Permintaan saya, cuma satu ; abaikan dua artikel ini jika tidak berkenan dan tidak harus menunjukkan kritik yang penuh egoisme dan arogansi. Tamat. [***]

Penulias adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA