Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengapa Perang Saudara Syria, Pelajaran Penting Bagi Indonesia? (I)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 09 April 2017, 00:13 WIB
Mengapa Perang Saudara Syria, Pelajaran Penting Bagi Indonesia? (I)
Derek Manangka/Net
PERINTAH Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada militernya yang berbasis di Timur Tengah untuk membombardir posisi tentara Syria di dalam negeri Syria, apapun alasannya jelas merupakan sebuah pelanggaran kedaulatan atas sebuah negara merdeka.

Maknanya bagi kita - kalau Amerika Serikat (AS) bisa melakukan kepada Syria, perlu ditafsiran, hal serupa juga bisa dilakukannya terhadap Indonesia.

Apalagi AS sudah berpengalaman mengobrak abrik kedaulatan sejumlah negara di semua benua, kecuali Australia.

Indochina di tahun 1970-an, diintervensi AS. Setelah itu, Afghanistan, Irak, Libya dan lain-lain dalam dekade terakhir ini. Tak dihitung negara di Amerika Latin.

Dan kini Syria yang secara resmi, diintervensinya sejak 4 tahun lalu.

Serangan AS terhadap wilayah Syria, semakin mengentalkan aksioma, siapapun yang memimpin di Gedung Putih, politik luar negerinya sama.

Partai Demokrat (terakhir dipimpin Barack Obama) dan kini Partai Republik (era Donald Trump), prilaku dan ideologi keduanya, sama.

Setiap negara yang tak patuh pada Washington, apalagi yang berkaitan dengan bisnis raksasa, harus dikerdilkan, bila perlu dieliminir atau dihancurkan.

Demokrat dan Republik, hanya berseberagan dalam isu dalam negeri. Tetapi terhadap isu internasional khususnya perang, mereka sama dan solid.

Lihat saja sikap Donald Trump.

Presiden yang berlatar belakang pebisnis ini, tadinya mengesankan, sebagai pemimpin yang anti perang militer.

Ia mau bersahabat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, kendati Putin sudah di-stigmakan sebagai pemimpin Rusia yang tak cocok jadi sahabat AS.

Trump berusaha melakukan perlawanan atas stigma itu. Tapi akibat berbagai tekanan dalam negeri, akhirnya berbalik, memusuhi Rusia.

Untuk gambarannya bisa dilihat dari perubahan peliputan di televisi CNN.

Trump yang tadinya dimusuhi oleh media milik Ted Turner tersebut, di 24 jam hari terakhir, berbalik 180 derajat. Itu gara-gara kebijakannya menyerang Syria, negara yang dipimpin Bashar Assad.

Perubahan Trump menunjukkan Presiden AS melanjutkan politik luar negeri Presiden Obama yang digantikannya.

Itu sebabnya, cara pandang terhadap Amerika, tidak bisa hanya dari statusnya sebagai kampiun demokrasi. Tetapi harus dicermati secara kasus per kasus.

Indonesia hendaknya jangan terlalu percaya pada analisa dari mereka, alumni lembaga pendidikan AS yang cenderung mengamini semua kebijakan internasional AS.

Jaringan lobi Amerika di Indonesia yang juga sangat kuat, patut diwaspadai. Tidak boleh dianggap remeh.

Pandangan mereka, para lobiest AS yang berpihak, bisa meminimkan sikap kritis dan nasionalisme kita.

Indonesia perlu selalu alert atau waspada!

Namun tidak berarti harus memusuhi AS secara membabi buta pula.

Hubungan bersahabat yang baik, tetap perlu dijaga. Paling tidak meniru Meksiko. Negara ini sebagai tetangga terdekat bersahabat baik dengan AS. Namun dekatnya jarak, tidak membuat Meksiko kehilangan daya kritis dan kewaspadaannya.

Perlu ketajaman mencium, seperti seekor anjing dalam mendeteksi gerak-gerik seorang yang patut dicurigai. Perlu diterapkan sikap yang tidak gampang dipegang, licin seperti ikan belut.

Atau piawai seperti burung merpati yang selalu kooperatif, ketika diajak membantu. Namun tetap sesuai batas kemampuan.

Tadinya, dunia sudah berharap, Perang Saudara Syria, bakal berakhir setelah pasukan pemerintah Syria, berhasil membebaskan Allepo dari kelompok oposisi yang didukung AS, tahun lalu.

Oposisi di Allepo bercampur baur dengan ISIS. Sehingga tidak gampang membedakan, siapa yang berambisi melengserkan Assad dan siapa yang mau menegakkan negara Islam.

Di Allepo pula bisa dilihat kebijakan AS yang berstandar ganda.

Sebab di satu sisi AS katanya memerangi ISIS di Irak, tetapi di Syria, tetangga terdekat Irak, AS merangkul pentolan ISIS yang satu ideologi dengan mereka yang di Irak.

Kemenangan pasukan pemerintah Syria, di Allepo, merupakan kekalahan atas AS yang saat itu dipimpin Barack Obama.

Kekalahan ini sangat memalukan AS. Kekalahan di Syria, seperti menjadi akhir dari upaya AS menjadi "Polisi Dunia".

Kekalahan di Allepo mirip dengan kekalahan AS di Indochina tahun 1975.

Posisi Presiden Barack Obama di kekalahan Allepo, mirip yang dialami dua Presiden AS terdahulu, Richard Nixon dan Lyndon B Johnson.

Keduanya menjadi penentu kebijakan di Perang Vietnam, dipermalukan oleh semangat rakyat setempat. Rakyat Vietnam yang hanya bersenjatakan "bambu runcing", mendukung tentara pemerintahnya, untuk melawan tentara AS yang dipersenjatai senjata modern.

Akhirnya rakyat Vietnam-lah yang mengakhiri Perang Saudara Vietnam.

Kemenangan Presiden Asad atas Allepo sangat berarti. Sebab Allepo merupakan salah satu kota paling strategis dalam banyak hal di Syria. Sekaligus memperkuat ikatan Assad dengan Rusia atau sama dengan Presiden Vietnam dengan Uni Sovyet, induknya Rusia.

Donald Trump yang tahun lalu masih menjadi kandidat Presiden, sudah menegaskan, jika dia menang dalam Pilpres 8 Nopember 2016, pihaknya tidak akan mendukung penggulingan Assad.

Trump menunjukkan simpati persahabatannya dengan Putin, seorang Presiden yang berlatar belakang agen rahasia.

Dalam konflik Allepo, Putin dan Trump seakan dipersatukan.

Sebab Donald Trump juga ingin menjaga kedudukan Assad yng dilindungi Vladimir Putin.

Trump secara verbal menegaskan tidak mau melanjutkan tradisi AS yang selalu menumbangkan sebuah rezim, bila berbeda haluan dengan Washington.

Tak ada lagi dukungan Trump terhadap kekuatan oposisi di sebuah negara. Karena cara itu di mata dia hanya membebani anggaran belanja negara AS.

Sejalan dengan kebijakan itu, Trump berrencana membubarkan NATO, sebuah pakta militer yang didanai AS di Eropa. Dana buat NATO mubasir.

Pembubaran NATO merupakan kabar baik bagi Putin atau negaranya Rusia, yang bertetangga dengan negara Eropa yang jadi anggota pakta pertahanan militer itu.

Dampak pembubaran NATO, diseut-sebut bakal merembet ke konsep pertahanan global AS.

Bukan mustahil mempengaruhi kehadiran semua pangkalan militer AS di luar wilayah AS.

Diperhtungkkan bakal ditutup pangkalan-pangkalan AS di Diego Garcia, Samudera Indonesia, yang lokasinya menghadap ke Jawa bagian Selatan.

Atau merembes ke pangkalan militer di Darwin, Australia Utara yang dekat dengan Papua maupun Nusa Tenggara Timur.

Juga diperhitungkan, AS bakal tak akan ikut campur dalam konflik kepemilikan pulau di perairan Laut Cina Selatan. Wilayah yang berdekatan dengan Natuna, pulau terujung Indonesia di Riau Kepulauan.

Naga-naganya, suasana damai di dunia yang didukung Donald Trump bakal jadi kenyataan.

Tetapi belum lagi gagasan Donald Trump tersebut terlaksana - serdadu AS di Timur Tengah tiba-tiba beraksi. Menyerang kedaulatan Syria. Dan serangan itu atas perintah Trump.

Ironis, karena serangan itu terjadi dalam kurun waktu kurang dari 100 hari Trump berkuasa di Gedung Putih.

Dan Trump mengaku, dia berubah pikiran terhadap rezim Assad.

Tindakan bombardir ini tidak hanya merugikan Syria, tetapi menciptakan permusuhan baru antara Trump dan Vladimir Putin, Presiden Rusia yang mendukung pemerintahan resmi di Syria.

Ngeri, membayangkan jika kebijakan yang tidak pro damai ini dilakukan AS di Asia, khususnya Indonesia.

Mengingat dalam beberapa isu, persoalan Syria, ada kesamaannya dengan kondisi Indonesia.

Yang paling dekat terletak pada adanya kekuatan tertentu yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Keberadaan sumber daya alam yang tak terbatas di bumi Nusantara, menjadi inceran pebisnis raksasa yang didukung oleh negara adi daya seperti AS. Sama dengan pebisnis gas di AS yang mengincer enerji di Syria.

Di Papua, wilayah paling Timur Indonesia, terdapat sumber daya alam yang kandungannya tak terbatas. Tetapi juga disana ada OPM yang ingin memerdekakan pulau tersebut, terpisah dari NKRI.

Konflik, sangat berpotensi pecah di Papua.

Bukan rahasia lagi OPM memiliki lobi kuat di berbagai lembaga di AS, antara lain dengan menggunakan isu rumpun Melanesia. Dan di AS, rumpun Melanesia lebih dikenal dan berpengaruh ketimbang rumpun Melayu apalagi Indonesia.

Kita berandai-andai, OPM bisa diprovokasi agar lebih militan menghadapi rezim Jakarta.

Dibuatlah skenario yang menyebut telah terjadi pembantaian masyarakat sipil di sebuah daerah terisolir di Papua oleh sekelompok pasukan TNI.

Pembantaian itu divideokan, kemudian diviralkan ke dunia maya. Lalu dimunculkan tuduhan, bahwa Presiden Joko Widodo yang bertanggung jawab atas pembantaian tersebut.

Kebetulan posisi politik Presiden Joko Widodo sedang tidak dekat dengan AS. Ketidakdekatan ini sama dengan ketidaksukaan.

Isu inilah yang menjadi alasan dan embrio untuk memusuhi Indonesia. Bersambung. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA