Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Putin, Trump, Jinping, Salman Dan Netanyahu Bersahabat Dalam Permusuhan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Rabu, 05 April 2017, 01:28 WIB
Putin, Trump, Jinping, Salman Dan Netanyahu Bersahabat Dalam Permusuhan
Derek Manangka/Net
HUBUNGAN antar negara di zaman generasi "milenium" seperti saat ini, nampaknya tidak bisa lagi diukur dengan parameter generasi "baby boomers".

Cara berbisnis, berpolitik dan berhubungan antar negara, mengalami perubahan secara radikal. Yang menjadi pelaku utama dari perubahan ini adalah generasi "milenium".

Generasi "milenium" dan generasi "baby boomers", sebetulnya hanya sebuah terminologi sosiologi. Semata-mata hanya untuk mempertegas adanya perbedaan pendekatan dan sikap dari tiap generasi tersebut.

Sebab secara fisik atau lahiriah, seseorang bisa berada di luar kedua generasi tersebut, namun secara mental, cara berpikir bisa masuk ke kedua generasi yang berbeda itu.

Generasi "baby boomers" dipersepsikan sebagai mereka yang lahir tahun di awal 1950-an. Sedangkan generasi "milenium" mereka yang lahir di akhir tahun 1990-an.

Presiden Joko Widodo, secara lahiriah tidak lagi masuk kategori generasi "baby boomers". Karena dia lahir di tahun 1961. Dan mereka yang lahir di tahun 1960-an itu, juga ada istilahnya tersendiri.

Tapi untuk memudahkan pemahaman, kita sebut saja Joko Widodo sebagai genersi "kejepit".

Sebagai Presiden yang berada di generasi "kejepit", menarik untuk melihat bagaimana Joko Widodo memimpin Indonesia dan melakukan interaksi dengan pemimpin negara lain.

Mari kita bandingkan kebijakan-kebijakannya dengan membandingkan perubahan konstalasi dunia.

Pembantunya lebih dari 30 orang. Tapi Presiden dikenal memiliki seorang yang disebut sebagai sosok paling dipercaya saat ini. Dia adalah Menko Kemaritiman, Luhut Panjaitan.

Menteri Luhut, jika dilihat dari kelulusannya di Akademi Militer, ia tergolong generasi "baby boomers". Usia Luhut sepertinya seangkatan dengan penulis artikel ini.

Luhut tidak masuk kategori generasi "milenium", terutama kalau dilihat dari caranya mengaktualisasikan diri di kabinet.

Generassi "milenium" dikenal sebagai generasi yang lebih banyak semyum, pragmatis dan cenderung santai dalam melihat persoalan.

Soal kecil saja, khususnya cara berpakaian. Generasi "milenium" cenderung tidak suka yang formal-formalan, seperti berjas dan berdasi.

Cara berbicara, berdiskusi dan pendekatan, rada keluar dari tata cara umum.

Lihat saja Mark Zuckerberg, pendiri Facebook atau Simon Cowell, penggagas sekaligus juri dari kontestasi penyanyi "Idol".

Untuk acara yang cukup formal saja, Mark dan Simon, tetap PD (Percaya Diri) dan nyaman menggunakan kaos oblong.

Mark dan Simon, tergolong orang muda yang kaya raya. Tetapi dalam melihat dan mengelolah kekayaan, Mark dan Simon berbeda jauh dengan cara Bill Gates, pendiri Microsoft, sekaligus manusia terkaya di dunia.

Kalau ditafsirkan secara sederhana, cara berpikir generasi "milenium" kurang lebih begini: sesuatu yang mudah tidak usah dipersulit.

Sedangkan "baby boomers" rada berbelit. Persoalan yang mudah selalu menjadi sulit dan yang sulit tambah diperumit atau dipersulit.

Tanda-tanda yang ada, elit yang berkuasa di Indonesia, rata-rata masih terdiri atas mereka yang berpikir seperti "baby boomers". Elit dimaksud, termasuk mereka yang berada di parlemen Senayan.

Sikap ini bertabrakan dengan era generasi "milineum". Sehingga inilah yang nampaknya membuat Indonesia tidak bisa "connect" (tersambung)  dengan dunia luar. Atau tidak bisa "move one", meminjam istilah Presiden.

Negara lain di belahan dunia sana semakin hari semakin maju. Sementara kita terus berkutat dengan persoalan yang kadang masuk ketegori remeh temeh.

Coba perhatikan konstalasi perpolitikan dunia serta mari kita telaah apa dan bagaimana cara kita menghadapi konstalasi itu.

Ciri hubungan antar negara saat ini, sangat berbeda dengan era sebelumnya. Permusuhan dan persahabatan semakin sulit dicari dimana letak pembatas dan perbedaannya.

Sebuah negara yang secara ideologi bermusuhan, dalam realita baru, bisa memiliki hubungan persahabatan yang begitu kental.

Hubungan Rusia dan Amerika Serikat bisa menjadi sebuah contoh. Kebetulan dua negara ini pernah mendapat julukan Negara Adidaya.

Vladimir Putin sebagai pemimpin Rusia, secara pribadi, ternyata bersahabat baik dengan Donald Trump, Presiden baru Amerika Serikat.

Menlu AS saat ini Rex Tillerson yang nota bene merupakan "Orang Kuat Ketiga" di AS setelah Presiden dan Wakil Presiden, sudah lama menjalin hubungan baik dengan Putin.

Hubungan baik itu dibuktikan dengan pemberian penghargaan khusus kepada Rex oleh Putin, ketika Rex masih menjabat sebagai CEO ExxonMobil, perusahaaan minyak terbesar Amerika Serikat.

Dan saat keduanya menjalin hubungan baik, Presiden Putin dan Presiden AS sedang berada dalam tingkat permusuhan yang tinggi.

Hubungan Rex deng Putin semakin menarik, jika dilihat dari perspektif, bagaimana Donald Trump merekrut Rex sebagai Menlu. Dia anggota kabinet pertama yang diumumkan oleh Trump.

Semenjak itu kemudian beredar kabar bahwa antara Trump dengan pemerintahan Rusia memang sudah terjalin sebuah hubungan khusus.

Padahal pendahulu Trump, Barack Obama begitu memusuhi Rusia plus Vladimir Putin.

Walaupun belum ada bukti yang kuat, tapi dari kegaduhan yang ada di Senat dan Kongres AS saat ini jelas ada sebuah kejanggalan terjadi.

Yaitu Vladimir Putin berperan besar dalam membantu Donald Trump mencapai kemenangan dalam Pilpres AS bulan Nopember tahun lalu - 2016.

Peran Putin dimainkan oleh para diplomat Rusia di AS sementara kepentingan Trump dilakonkan oleh para pelobinya yang tersebar di berbagai lembaga.

Barack Obama, Presiden yang digantikan Donald Trump, sangat kesal terhadap Vladimir Putin.

Sebulan sebelum meninggalkan Gedung Putih Obama mengusir 35 diplomat Rusia yang bertugas di Washington. Pengusiran diplomat dalam jumlah sebanyak itu, dicatat sebagai yang terbesar dan terunik dalam sejarah hubungan diplomasi antar negara.

Sebab tindakan Obama tidak dibalas oleh Putin. Padahal biasanya, di era sebelum ini, tindakan resiprokal pasti dilakukan oleh pihak seperti Rusia. Putin menunggu hingga Obama digantikan Trump.
 
Sejak Trump terpilih, hubungan AS dengan RRT, mengalami goncangan. Pasalnya Donald Trump tidak ingin kebijakan "Satu China", berlanjut.

Trump ingin agar Taiwan yang merupakan "China Kecil" di Asia, harus diakui sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.

"Buat apa kita sudah bantu persenjataan yang demikian banyak kepada Taiwan, tapi kita tidak mau mengakuinya sebagai sebuah negara", ucap Trump di akhir tahun 2016, sebelum ia dilantik sebagai Presiden pada 20 Januari 2017.

Bagaimana akhir dari goncangan itu, belum bisa diprediksi. Namun Presiden RRT, Xi Jinping, tak mau ketinggalan. Ia langsung bereaksi. Memutuskan menemui Trump di Trump Tower, New York, sebelum Trump pindah ke Gedung Putih di Washington.

Rencananya, dalam waktu dekat ini Presiden RRT itu kembali akan menemui Donald Trump di salah satu kediaman pribadi Trump di Florida.

Tujuan KTT untuk mendiskusikan hubungan kedua negara secara lebih komprehensif. Pertemuan itu kelak menjadi KTT resmi antara AS-RRT di era Donald Trump.

Pemikiran yang mewarnai hubungan Trump dan Jinping tergolong bagian dari cara berpikir generasi "millenium".

Manusianya boleh jadi masih generasi "baby boomers", tetapi cara berpikir dan bekerjanya sudah seperti generasi "milenium".

Kita pindah ke hubungan RRT dengan Arab Saudi. Selama ini hubungan kedua negara biasa-biasa saja. Tapi kunjungan Raja Salman ke Beijing bulan lalu, mengubah peta dan konstalasi politik.

Tak pernah ada yang menduga kalau Arab Saudi yang selama ini hanya percaya pada pebisnis Amerika atau Eropa, tiba-tiba berani berinvestasi di RRT. Dengan jumlah mencapai ratusan milyar dolar Amerika.

Arab Saudi sendiri selama ini disebut-sebut sedang mengalami kesulitan keuangan, sehingga Raja Salman melakukan "road show" ke Asia untuk menjual saham miliknya di perusahaan minyak Aramco.

Tidak ada yang menduga, Raja Salman membuat keputusan sebaliknya. Ia memutuskan untuk menanam saham di negeri komunis itu. Menanam saham, itu sama dengan membangun sebuah hubungan baik dengan 'orang kafir'. Sebab RRT sebagai negara komunis tidak mengakui agama manapun.

Tapi yang juga tak kalah mengejutkan, tak lama setelah Raja Salman meninggalkan Beijing, RRT menerima Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu. Misinya juga sama untuk membangun kerja sama bisnis baru. Bedanya, Israel lebih memfokuskan diri pada bidang teknologi.

Di sini terlihat bagaimana Xi Jinping sebagai seoang atheis, tidak beragama, memainkan portofolionya yang bisa bersahabat dengan pemimpin yang beragama.

Yang beragama Islam (Raja Salman) dan penguasa yang menindas masyarakat Islam di Palestina (Benyamin Netanyahu).

Bagi Jinping yang penting duitnya bukan soal agama atau ideologinya.

Beralih ke Putin dan Jinping.

Sebetulnya hubungan mereka tak perlu lagi dibahas, jika bukan karena ada perubahan konstalasi. Sebab keduanya sudah ckup bersahabat.

Rusia dan RRT bersama Brasil, India dan Afrika Selatan sudah membentuk sebuah pakta ekonomi yang dikenal dengan sebutan BRICS.

Moral dari cerita ini, semua negara yang disebut di atas, kini sedang melakukan kerja sama untuk memajukam negara mereka masing-masing. Untuk  mensejahterahkan rakyat.

Dalam rangka mewujudkan kerja sama itu, cara mereka berpolitik tidak dijejali oleh pemikiran partisan dan sektarian.

Resminya negara-negara yng disebutkan di atas hanya bekerja sama secara bilateral. Tetapi kondisi yang ada membuat mereka sebetulnya melakukan kerja sama multilateral.

Kerja sama tersebut hanya mungkin terjadi karena dalam kesepakatan itu, tidak diberlakukan prinsip-prinsip lama yang sudah menjadi bagian dari konsep para "baby boomers".

Kita, kadang tak sadar bahwa dunia sudah mengalami perubahan secara signifikan. Sementara kita masih terus melanjutkan kebijakan yang tidak lagi sesuai dengan zaman.

Ketika kita sadar, akhirnya kita bingung sendiri. Tidak tahu tindakan atau kebijakan apa yang harus kita ambil.

Dalam soal agama, isu yang sangat sensitif di Indonesia.

Kita mungkin tidak sadar bahwa masalah agama sudah mengalami pergeseran. Termasuk agama terbanyak pemeluknya. Ini, sebuah perubahan.

Tak terkecuali dunia Islam. Yang sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Lihat saja apa yang terjadi di negara-negara Teluk yang kaya minyak, sepertti Uni Emirat Arab dan Qatar. Kalai mau ditambah, Bahrain.

Keniscayaan yang ada, negara-negara Islam di atas memilih berhubungan dengan negara yang bisa memberi keuntungan. Bukan lagi atas dasar keyakinan.

Rekrutmen tenaga kerja misalnya mereka lakukan, juga didasarkan pada profesionalisme tanpa melihat apakah dia seorang pribumi Arab atau non-Arab. Ratusan ribu tenaga kerja dari Filipina, negara Katolik, bekerja di dunia negara tersebut.

Untuk bidang penerbangan saja, Qatar dan Emirat Airlines keduanya  merekrut CEO yang bukan warga Arab.

Sebuah keniscayaan baru telah lahir. Dimana permusuhan semakin dihindari. Pendekatan berdasarkan keyakinan tak lagi menjadi keharusan.

Yang ada, setiap yang ingin maju memilih sikap bersahabat. Musuh pun harus bisa kita jadikan sahabat. Atau bersahabat dalam permusuhan. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA