Dosa terbaru Singapura, berupa upayanya secara terang-terangan menghambat repatriasi uang warga Indonesia di negara itu.
Ini namanya Singapura menyabot program "Tax Amnesty", sebuah kebijakan nasional yang sudah menjadi UU. Untuk jangka panjang, sabotase Singapura ini bisa mengancurkan NKRI.
Sehingga tidak boleh ada pihak di setiap sudut NKRI ini yang menganggap remeh usaha sabotase dan berbagai dosa Singapura terhadap Indonesia.
Laporan kepada polisi itu harus dilihat sebagai awal dari usaha Singapura untuk mempersulit pemerintah Indonesia. Agar kalau tak ada uang dari hasil Pengampunan Pajak yang masuk pemerintah tidak punya uang untuk menghidupi 250 juta rakyatnya.
Sebagai warga negara yang tidak bodoh-bodoh amat dalam melihat hubungan antar negara, gemes bercampur marah melihat keadaan.
Tapi rasa marah tahap pertama saya alamatkan kepada pemerintah. Karena kalau kepada Singapura, tak ada gunanya. Saya hanyalah seorang warga Indonesia.
Bagaimana tidak marah, menghadapi negara yang begitu kecil itu, kita seperti tak punya daya atau kehilangan akal.
Tapi begitu menghadapi warga negara sendiri, pemerintah atau pejabat pemerintah kita begitu begitu galak.
Walaupun belum ada yang ditempeleng oleh pejabat pemerintah karena berulah. Tapi saya prihatin mendengar kalimat-kalimat bernada ancaman yang keluar dari mulut para pejabat kita.
Sepertinya, menjadi pejabat saat sekarang, kalau tidak kelihatan galak apalagi tidak mengancam rakyat sendiri, seakan tak punya wibawa.
Sebaliknya kalau kita memelihara hubungan baik dengan Singapura dengan cara tidak membuat gaduh, lantas kita disebut sebagai negara bermartabat.
Busyet!
Ada pejabat yang mengancam, bahwa semua data pribadi akan hilang, bila warga terlambat mengurus E-KTP.
Ada juga yang mengancam akan melibas WNI di Papua, kalau coba-coba berulah.
Ada lagi yang bilang akan membuldozer mereka yang coba-coba mengganggu sebuah kebijakan.
Eh giliran Singapura berulah, dan berkali-kali berulah, cuman didiamin. Tak ada pejabat kita yang berani buka suara.
Takut karena seolah-olah Singapura seekor Singa yang sedang tidur.
Kita tidak boleh mengeluarkan ancaman kepada Singapura.
Kita cukup diam dan berdoa saja menurut agama dan keyakinan kita masing-masing.
Nanti juga Singapura, akan kena kualat, kutukan atas perbuatan-perbuatan dosanya terhadap Indonesia.
Mungkin begini cara berpikir pejabat-pejabat kita yang konon sangat agamis.
Sikap keras kepada WNI dan sebaliknya lembek kepada Singapura, memang aneh dan kayaknya sedang menjadi sebuah fenomenal.
Pemerintah bersikap lembut , baik hati serta hati-hati terhadap negara tetangga itu. Karena solah-olah Singapura merupakan penentu bagi masa depan Indonesia. Kita sangat bergantung pada Singapura.
Di atas kertas mungkin kita yang tergantung dan bergantung pada Singapura. Tapi sebetulnya itu hanya fatamorgana dan kepicikan kita.
Kalau kita mau jujur, keadaannya tidak seperti itu. Atau kalaupun memang demikian, keadaan itu tetap bisa kita balik.
Sepanang ada rasa kebersamaan, berani bersikap, tanpa Singapura, negara justru bisa lebih baik.
Negara kita bisa keluar dari krisis.
Coba bayangkan, kalau tak ada lagi yang berbelanja ke Singapura, mau menjadi apa negara itu ?
Berarti banyak uang yang tersedot oleh pasar dalam negeri.
Coba kita tutup sejumlah destinasi "Singapore Airlines" dan anak perusahaanya "Silk Air", ke Indonesia, mau menjadi apa perusahaan penerbangan itu ?
Coba kita beri ultimatum, kepada WNI yang punya KTP Singapura. Pilih Indonesia atau Singapura?
Saya yakin sehebat apapun kekayaan mereka, para pemegang KTP Singapura itu pasti akan berpikir. Apapun kenyamanan yang ditawarkan oleh KTP Singapura, tetap punya keterbatasan.
Jadi bukan saatnya lagi kita berlemah lembut terhadap Singapura.
Kalau sikap lembut, tidak tegas, Singapura akan terus berulah.
Menurut kantor berita Inggeris "Reuters" sedikitnya ada tiga bank lokal yang melaporkan nasabah berkewarganegaraan Indonesia kepada polisi setempat. Mereka dilaporkan karena mau menarik uang mereka dari bank Singapura lalu memindahkannya ke Indonesia.
Langkah para nasabah itu diyakini sebagai repons positif atas diberlakukannya UU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.
Berita ini sudah beredar sekian lama di media-media sosial. Tetapi kesan yang ada, berita ini seperti tidak dianggap penting oleh pemerintah.
Ini terbukti dari tak adanya pernyataan sikap dari pemerintah terhadap pelaporan tersebut.
Ini sekaligus menunjukkan memang kita kurang peduli, kurang memberi perlindungan kepada warga kita yang bermasalah di luar negeri.
Sekalipun tidak dirinci isi laporannya, tetapi pelaporan ini sudah cukup jelas. Singapura ingin mempersulit nasabah asal Indonesia yang menyimpan uang di bank setempat.
Tujuannya juga jelas Singapura ingin menyabot program Tax Amnesty Indonesia, program yang sudah diperkuat dengan UU.
Sepatutnya pemerintah Indonesia bersikap tegas dan aktif. Tegas dalam arti harus memprotes kebijakan itu dengan melindungi kepentingan nasabah yang berkewarga negaraan Indonesia.
Aktif dalam arti, lakukan tindakan balasan yang bersifat resiprokal. Apakah menutup perwakilan bank Singapura yang beroperasi di Indonesia atau yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak menerima kebijakan tersebut
Jangan seperti ungkapan sarkartis beberapa sahabat yang merasa harga diri bangsa Indonesia saat ini seperti diinjak-injak Singapura. Dan kita hanya diam. Seperti penolakan Singapura terhadap Letjen (Purn) Suryo Prabowo pada 16 Agustus 2016 lalu.
Kata beberapa sahabat, maaf beribu maaf, kalau begini sikap otiritas kita, diberi tinja pun muka kita oleh Singapura, pemerintah kita masih senyam senyum.
Ungkapan di atas, pasti maksudnya tidak untuk meremehkan pemerintah.
Melainkan cerminan sebuah ekpresi yang kecewa atas perlakukan negara kecil kepada kita sebagai negara dan bangsa yang besar.
Rakyat mengingatkan, pejabat kita berbuat semakimal mungkin sesuatu yang bermanfaat bagi Singapura.
Eh salah. Maksudnya, bagi INDONESIA. Berbuatlah yang terbaik bagi NKRI. *****
Penulis adalah jurnalis senior