Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Seri Kebangsaan: Ketika Militer Tergoda Berkuasa

3 Jenderal Berebut Pimpin Parpol

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 12 September 2016, 11:57 WIB
PERTENGAHAN 2008, saya sempat mendengarkan uneg-uneg Moerdiono (almarhum), Mensesneg di era Presiden Soeharto. Dalam percakapan berdua selama sekitar 7,5 jam itu, Moerdiono menyoroti eskalasi politik menjelang Pilpres 2009.

Yang paling dia prihatinkan dari situasi politik pada waktu itu maraknya jenderal yang berpolitik dan ingin menjadi Presiden.

Penulis Pidato Presiden Soeharto selama 3 dekade itu, menilai sikap para jenderal itu bisa mengurangi bobot persatuan. Padahal sebagai anggota militer, para jenderal itu tahu betul militer memiliki tugas penting penjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Para jenderal (pensiunan) yang dimaksud Moerdiono ketika itu adalah Wiranto, Sutiyoso, Prabowo Subianto dan beberapa nama lainnya. Mereka digadang-gadang ingin muncul sebagai pemimpin Indonesia.

Saat para jenderal tersebut masuk gelanggang politik, Indonesia di masa itu dipimpin Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Mereka itu khan berasal dari satu korps. Tidak sepatutnya mereka bersaing satu sama lain. Kalau mereka masih ingat akan sumpah prajurit, semestinya mereka tidak perlu bersaing begitu", kata Moerdiono yang juga pangkat terakhirnya jenderal bintang dua atau Mayor Jenderal.

Moerdiono memprediksi, persaingan para jenderal di tahun menjelang Pilpres 2009 tersebut, tidak berhenti di tahun itu. Tapi bakal berlanjut ke tahun-tahun berikutnya.

Yang gagal menyaingi SBY di tahun 2009, pasti akan berusaha bertarung lagi. Karena kegagalan, berkaitan dengan gengsi. Tentara termasuk manusia yang sangat kuat gengsinya.

Namun kalau persaingan itu terus terjadi, terutama karena gengsi, diperkirakannya, akan berimbas negatif ke masyarakat. Para jenderal kemungkinan besar akan membentuk kelompok (partai) pendukung masing-masing. Dengan kelompok itu mereka punya legitimasi. Dan dengan legitimasi, mereka akan mengklaim sebagai pemimpin yang pantas menjadi Presiden.

Ketika saya menginterupsi dengan alasan bahwa keinginan menjadi presiden dari para jenderal merupakan sebuah hak demokrasi, Pak Moer tersenyum. Tapi senyumnya masih dibumbui dengan ucapan : "Apa lagi sih yang dicari para jenderal itu?. Mereka sudah punya semua".

Pada tahun itu, Moerdiono masih terdaftar sebagai anggota Partai Gerindra. Belakangan ia mengundurkan diri dari partai yang didirikan oleh jenderal Prabowo Subianto itu.

Tiga tahun kemudian, tepatnya 7 Oktober 2011, Moerdiono meninggal dunia di Singapura, setelah menderita sakit sekitar 17 bulan.

Selasa pekan lalu saya berbincang-bincang dengan seorang pensiunan Mayor Jenderal. Yaitu AA Nasution. Temanya juga sekitar politik dan peran militer atau jenderal di NKRI.

Kami berkenalan tahun 1996, saat Pak Nasution menjabat Direktur Utama PT Telkom. Tapi selama 20 tahun, kami tidak saling kontak walaupun masing-masing menyimpan nomor HP Telkomsel, anak perusahaan PT Telkom.

Dua pekan sebelum itu, Pak Nasution menelpon saya, karena katanya ia terdorong oleh sejumlah tulisan-tulisan saya. Dia tidak menyebut "Catatan Tengah", tapi saya tahu itu maksudnya.

Pak Nas bertanya apakah saya melihat bahwa Indonesia saat ini sedang 'dihancurkan' oleh kkuatan lain, kekuatan luar, sementara kita sibuk berantem? Tanpa menunggu jawaban, Pak Nas melanjutkan:

"Anda sebagai wartawan senior harus angkat persoalan ini. Anda punya tanggung jawab untuk menjelaskan sekaligus mengingatkan. Bahwa serangan terhadap negara kita saat ini tidak lagi melalui senjata. Tapi melalui non-senjata seperti gaya hidup, narkoba dan teroris".

Sama dengan Pak Moer, SBY, Wiranto, Sutiyoso dan Prabowo Subianto, Pak Nasution juga berasal dari TNI Angkatan Darat.

Berbeda dengan Pak Moer yang menjadi birokrat papan atas di rezim Orde Baru, Pak Nas lebih banyak berkecimpung di dunia pendidikan seperti Seskoad, Seskogab dan Lemhanas.

Ia menjadi Direktur Utama PT Telkom (1996-2000), tapi penugasannya di BUMN itu lebih untuk mengamankan sistem telekomunikasi negara kita.

Pak Nasution sendiri seorang penulis buku. Satu di antaranya "Indonesia Dicengkram Subversi?".

Lewat analisanya, ia mensinyalir sudah terjadi subversi terhadap negara kita. Para elit bangsa saat ini, tidak sadar sedang diadu diomba. Siapa yang mengadu domba, tidak bisa diindentifikasi. Tetapi bisa diduga adalah pihak asing.

"Kita dibuat berkelahi terus", kata lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1964 tersebut.

Nasution misalnya menyinggung 'persaingan' antara TNI dan Polri. Anak buah kedua institusi itu sudah beberapa kali terlibat perkelahian. Menurutnya persoalan tersebut cukup serius. Persaingan ataupun perkelahian tersebut boleh jadi memang diciptakan atau ditumpangi kekuatan luar.

Nasution juga kurang sependapat pemberantasan teroris ditangani oleh kepolisian. Semestinya tugas itu diberikan kepada TNI. Sebab teroris itu sebetulnya sebuah pemberontakan. Dan hanya TNI yang bisa menghadapinya.

Tetapi diserahkannya peran itu kepada Polri, bisa juga sebuah ciptaan pihak luar dan kita tidak sadar.

Wewenang Polri diperbesar. Tetapi kewibawaan Polri terus diganggu dengan berbagai cara. Di antaranya dengan pembakaran pos polisi. Ironisnya polisi dengan alasan HAM tidak berani bertindak tegas.

"Kantor polisi, harus dilihat sebagai sebuah simbol negara. Sebab di dalam kantor itu ada lambang burung Garuda. Jadi polisi tidak boleh ragu apalagi takut menembak mereka yang membakar simbol negara. Sebab dari situlah kewibawaan negara dihancurkan", ujar jenderal bergelar Master lulusan Florida Institute of Technology itu.

Percakapan dengan dua jenderal senior memang terjadi dalam momen yang berbeda. Tapi prediksi Pak Moerdiono dan penglihatan Pak Nasution ini, saya tandai relevan dengan situasi yang kita hadapi dewasa ini.

Di samping itu pekan lalu juga beredar sebuah postingan yang mengeritik sepak terjang seorang jenderal dan beberapa kawannya.

Kritikan itu muncul di sebuah WAG bernama "News-Prop-Ads".

Seorang jenderal yang tidak diindentifikasi jati dirinya, dituding mengajak masyarakat untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo melalui "people power". Nantinya dia bertindak sebagai pemimpin.

Anggota WAG ini mengingatkan kondisi masyarakat kita yang sudah susah. Kalau keadaan yang sudah susah masih ditambah dengan protes berbentuk "people power", pasti kehidupan akan lebih susah lagi. Bukan mustahil terjadi benturan dan anarki.

Sehingga dia menyarankan agar sang jenderal memperhitungkan situasi buruk yang diakibatkan oleh pelengseran Presiden Joko Widodo di tengah jalan.

Diyakininya bahwa tidak ada yang bisa menjamin pelengseran serta merta akan membuat Indonesia menjadi jauh lebih baik.

Anggota WAG "News-Prop-Ads" ini berjumlah 250 orang. Berasal dari berbagai latar belakang status dan profesi. Ada menteri dan bekas menteri, politisi, diplomat, aktifis, akademisi dan wartawan.

Mereka semua diperkirakan juga punya teman dan jaringan di kalangan jenderal. Sehingga bisa jadi protes di atas juga ikut menyasar ke akun pribadi media sosial para jenderal.

Sorotan terhadap manuver jenderal tersebut tambah menarik, karena Mayor Jenderal (Purn) TB Hasanuddin, seorang politisi PDIP, secara kebetulan bersuara.

TB Hasanuddin yang mantan ajudan Wapres Jenderal Try Sutrisno dan Presiden BJ Habibie, meminta - bagi siapa saja yang tidak puas dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo, hendaknya bersabar.

"Tunggulah Pilpres 2019 untuk menjatuhkan atau mengganti Joko Widodo. Jadi harus melalui konstitusi dan bukan pelengseran di tengah jalan", ujar bekas Sekretaris Militer Preside, era Megawati tersebut..

Moral dari tulisan ini antara lain terletak pada prediksi almarhum Pak Moer. Tetapi yang lebih mendasar lagi pada pengamatan Jenderal AA Nasution. Bahwa kita tidak sadar sedang diadu domba dan sulit mencapai persatuan.

Terlemparnya Sutiyoso dari Kepala BIN, digantikan Jenderal polisi Budi Gunawan, boleh jadi hanya sebuah koinsidens.

Tetapi bagaimana dengan perebutan jabatan Ketua Umum di PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) ?

Mungkinkah terjadinya perebutan antara Jenderal Hendropriyono dan Jenderal Haris Sudarno yang sekaligus menggeser Jenderal Sutiyoso dari PKPI hanya sebuah kebetulan?

Menariknya lagi inilah untuk pertama kalinya 3 jenderal berebut jabatan di sebuah partai yang tergolong partai gurem, tidak punya wakil di DPR-RI.

Di ranah lainnya, disinyalir juga berlangsung persaingan antara Jenderal Hendropriyono dan Jenderal Luhut Binsar Panjaitan.

Hanya saja bentuk dan sifat persaingan antara dua bekas anggota Kopassus ini, tidak secara terbuka dan bising.

Pemerhati hanya meraba-raba, bahwa keduanya berusaha dengan berbagai trik, agar bisa memperoleh kepercayaan dari Presiden Joko Widodo. Pokoknya yang penting harus dekat dengan kekuasaan.

Persaingan Hendro dan Luhut tercium melalui kasus Arcandra Tahar, (mantan) Menteri ESDM.

Sebelum Tahar dipecat sebagai menteri oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2016, adalah Hendropriyono yang pasang badan, membela Tahar.

Melalui akun twitternya, Hendro antara lain menyebut bahwa kalau Tahar atau Candra tidak direkrut pemerintah Indonesia, maka manusia bertalenta ini akan diambil dan dimanfaatkan negara lain.

Pembelaan mantan Kepala BIN tersebut muncul saat status kewargangeraan Candra Tahar mulai terendus. Bahwa Tahar sudah berganti status dari WNI menjadi warga Amerika.

Candra Tahar akhirnya dipecat dan pos yang ditinggalkannya Menteri ESDM dijabat oleh Luhut Panjaitan.

Walaupun status Luhut hanya sebagai Plt atau Pelaksana Tugas, tetapi keputusan Presiden tetap dimaknai sebagai satu bagian dari 'persaingan' antar jenderal. Minimal antara Luhut dan Hendro.

Di era Jenderal Soeharto, Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu, situasi seperti ini, persaingan antar jenderal, tak pernah terjadi. Begitu pula antara TNI dengan Polri. Apalagi sesama Korps Baret Merah.

Lantas gejala apakah ini ? Ada yang menilainya sebagai yang wajar. Dengan perspektif bahwa militer juga tidak banyak berbeda dengan partai politik. Di dalamnya selalu ada persaingan.

Jenderal juga sama dengan politisi. Para jenderal juga sama dengan pimpinan partai politik.

Tapi yang lebih mendasar, mereka semua manusia biasa. Yang punya obsesi dan sama-sama punya naluri untuk berkuasa.

Keinginan berkuasa itu muncul karena sifat manusia yang tidak pernah puas. Manusia yang tidak puas biasanya akan berusaha untuk eksis sebagai penguasa. Bahkan bukan cuma sebatas itu - jadi pengusaha.

Mungkin yang perlu dicegah jangan terjadi, manusia yang sudah berkuasa masih mau menjadi pengusaha. Gabungan penguasa dan pengusaha di satu tangan, jelas sangat berbahaya bagi kelangsungan bangsa. *****

Penulis adalah jurnalis senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA