Boro-boro terpenuhi - gengsi BIN sebagai sebuah lembaga, digadang-gadang seperti sudah kehilangan marwahnya. Menjadi anggota BIN sudah seperti menjadi anggota partai politik atau LSM (lembaga swadaya masyaakat) - dimana semuanya harus serba terbuka.
Atau BIN sudah seperti sebuah perusahaan yang menjual saham perdananya kepada masyarakat yang harus melakukan kebijakan "full disclosure" sebagaimana tuntutan Otoritas Keuangan dan Pasar Modal. Semua terbuka dan tidak boleh ada yang dirahasiakan sepanjang hal itu berkaitan dengan perusahaan yang "go public".
Ketika tahun lalu seorang anak muda memposting SK pengangkatannya sebagai anggota BIN, lewat media sosial, publik pun menjadi "nyinyir" terhadap lembaga itu.
Begitu pula ketika ada yang melihat sebuah mobil mewah berplat nomor B - 1 - N, berselancar di jalan raya ibukota, publik mencurigai bahwa pemilik kendaraan itu boleh jadi Kepala BIN.
Publik pun menjadi bertanya-tanya. Fenomena apa yang terjadi dalam dunia intelijen Indonesia ?
Diam-diam terjadi semacam ketidakpuasan yang tersembunyi terhadap Presiden Joko Widodo. Presiden sipil ini semakin memperbesar liabilitasnya. Di era pemerintahanya dialah terjadi "pertunjukan" yang fenomenal seperti di atas.
Pemerintahan Joko Widodo semakin menghadirkan banyak teater yang mempertontonkan hal baru. Sayangnya hal baru itu kecenderungannya lebih ke hal yang kontra produktif.
Sewaktu Kepala BIN Sutiyoso mempertontonkan keberhasilannya menangkap seorang pengemplang BLBI yang sudah bertahun-tahun bersembunyi di Tiongkok, banyak yang merasa aneh melihat cara itu. Tetapi itulah salah satu teater yang disuguhkan oleh dunia intelijen kepada bangsa Indonesia.
Mulai muncul penilaian bahwa ternyata Sutiyoso yang sudah berusia 71 tahun itu, diberi baju untuk dikenakan oleh Presiden dengan ukuran dan warna yang tidak enak dipandang mata.
Kalau dilihat dari kacama mata fashion, baju itu sesuai dengan mode zaman sekarang. Namun ukurannya berupa "slim fit" atau "slim shape" yang sebetulnya lebih cocok untuk anak muda berusia 17 tahun begitu.
Warna bajunya pun terlalu "ngejreng", agak norak begitu. Sebab warna untuk pemuda berusia 17 tahun, dikenakan oleh lelaki usur berusia 71 tahun.
Dengan kata lain baju BIN yang diberikan Presiden untuk seorang Sutiyoso, tidak sesuai dengan padanannya.
Suka ataupun tidak suka, terpaksa harus dikatakan, Sutiyoso sudah terlalu tua atau terlampau senior untuk jabatan tersebut.
Arti lainnya, Sutiyoso sendiri menafsirkan bahwa begitulah seharusnya peran dan fungsi BIN serta kepalanya.
Rakyat yang kritis, diam-diam semakin sinis dalam menanggapi beberapa kinerja Presiden Joko Widodo.
Sekalipun yang membuat penafsiran aneh tentang kinerja BIN itu seorang Sutiyoso, tetapi kritikan atau umpatan terbesar lebih banyak ditujukan kepada Presiden ketimbang kepada Kepala BIN itu sendiri.
Salah satu kritikan yang hingga kini masih menjadi buah bibir terjadi pada keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat kemudian memberhentikan Archandra Tahar selaku Menteri ESDM. Sebab ternyata Tahar, putera asli asal Minangkabau yang sudah memiliki paspor Amerika Serikat.
"Lho, masa BIN tidak bisa memberi masukan kepada Presiden......", demikian antara lain kritikan kepada Presiden. Tetapi sebetulnya kritikan itu juga ditujukan kepada Kepala BIN.
Sutiyoso sendiri dikabarkan membela diri dengan mengatakan dalam soal Arcandra Tahar, pihaknya tidak dimintai konsultasi.
Entah siapa yang patut dipercaya dalam kasus ini. Yang pasti awal September 2016 ini muncul sebuah keputusan yang menyebutkan pergantian Kepala BIN.
Letjen TNI (Purn) Sutiyoso akan menyerah terimakan jabatan itu kepada kepada pejabat baru. Jenderal pensiunan bintang tiga TNI AD itu digantikan oleh Budi Gunawan, jenderal bintang tiga yang masih aktif dari matra kepolisian.
Agenda pergantian Kepala BIN ini serta merta menarik perhatian publik. Setidaknya itulah yang ditangkap oleh Populi Center.
Lembaga swasta yang dimotori Ichan Loulemba ini, Sabtu 3 September kemarin, menggelar sebuah talk show di Radio Smart FM.
Sebab selain pergantian terkesan cukup sarat dengan kepentingan politik juga menimbulkan tanda tanya, mampu dan pantaskah Budi Gunawan seorang anggota Polri mengisi jabatan itu?
Di sisi lain, Populi Center sendiri, nampaknya termasuk yang plong dengan keputusan Presiden mengganti Kepala BIN. Setidaknya hal ini tergambar dari bahasa tubuh Ichan Loulembah sewaktu memandu talk show berdurasi dua jam itu.
Tetapi untuk menjaga keseimbangan, mantan Senator dari daerah pemilihan Sulawesi Tengah ini, meminta pendapat dari beberapa nara sumber.
Di antaranya Dr.Salim Said, Dr. Connie R. Bakrie dan Meutia Hafid, seorang politisi Golkar.
Dari Salim Said sendiri, mantan Dubes RI untuk Republik Ceko dan penulis berbagai buku bertema kemiliteran, melihat pilihan Presiden Joko Widodo dari perspektif sejarah.
Bahwa di era Presiden Soekarno, lembaga intelejen pernah dipercayakan kepada Dr. Subandrio, seorang politisi sipil. Hanya saja, Subandrio kemudian mendelegasikan jabatan itu kepada seorang jenderal polisi yang dianggapnya cukup kapabel.
Pertanyaan bernada ragu mencuat, sebab selama ini, jabatan Kepala Intelijen dianggap lebih pantas dijabat oleh sosok yang berlatar belakang militer.
Di era Presiden SBY, Jenderal Purnawirawan (Polisi) Sutanto, mantan ajudan Presiden Soeharto, pernah dipercaya memimpin BIN. Tapi hanya sekitar 11 bulan, SBY menggantinya dengan Marciano Norman Sasono, seorang jenderal dari TNI - AD.
Kini Kepala BIN itu mau dipercayakan kepada Budi Gunawan, seorang mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri. Apakah ini berarti Joko Widodo selaku Presiden ingin mengulang apa yang dilakukan ayahnya Megawati Soekarnoputri?
Meminjam pandangan Dr. Connie R. Bakrie, jabatan Kepala Intelijen itu lebih cocok dijabat oleh sosok yang berlatar belak militer ketimbang kepolisian.
Connie seorang analis militer dan pertahanan jebolan institusi Israel dan Taiwan, berpendapat filosofi kerja militer lebih antisipatif. Sementara kepolisian lebih bersikap investigatif. Mencari tahu siapa pelaku, apa penyebab terjadinya sebuah insiden. Artinya, jika polisi yang memimpin BIN dia khawatir lembaga ini akan selalu memberi masukan terlambat. Dan hal itu sebuah kerugian besar.
Saya sendiri yang ikut menjadi pembicara dalam talk show tidak mempedulikan siapa yang menduduki jabatan Kepala BIN tersebut. Sepanjang jabatan dan personalianya tidak menjadi liputan oleh media khususnya media infortainmen. Liputannya heboh hasilnya biasa-biasa saja.
Kinerjanya juga harus bisa membuat publik percaya ataupun kagum. Seperti di era Orde Baru, lembaga intelijen BAKIN ataupun mungkin BAIS berhasil mengungkap sebuah kegiatan jaringan mata-mata di Indonesia.
Diantaranya, seorang Kolonel TNI AD yang bekerja untuk lembaga pemetaan Mabes ABRI, menjual materi rahasia dari lembaga itu kepada agen KGB, Uni Sovyet. Agen rahasia Uni Sovyet ini di Jakarta menyamar sebagai Kepala Perwakilan "Aeroflot", sebuah perusahaan penerbangan milik Uni Sovet. Mitra kerja pejabat "Aeroflot" itu, seorang agen KGB yang diakreditasi sebagai diplomat di Kedutaan Besar Uni Sovyet, Jakarta.
Otoritas Indonesia akhirnya mengusir para agen KGB itu dari Jakarta. Pengusiran yang terjadi di awal tahun 1980-an itu menjadi insiden diplomatik yang senssional. Sebab ketika para agen KGB itu hendak dipulangkan ke Moskow, Uni Sovyet, mereka melakukan perlawanan kepada petugas-petugas intelijen Indonesia yang mengawal mereka hingga di Bandara Halim Perdanahusumah.
Perkalahian pun terjadi antara agen rahasia KGB dengan "mata-mata" dari Indonesia yang notabene merupakan anggota militer terlatih.
Wacana lain yang diudarakan tentang cara-cara agen CIA (Amerika Serikat) dan Mossad (Israel) yang semuanya diyakini beroperasi di Indonesia.
Kendati diperkirkaan bahwa para agen rahasia itu beroperasi secara bebas di Indonesia, tetapi kita sebagai penduduk lokal, tidak merasakan, melihat ataupun mendeteksi kegiatan mereka.
Maunya, cara-cara beroperasi para intelejen atau mata-mata Indonesia itu saat ini atau ke depan, kurang lebih sama dengan yang dilakukan di era Orde Baru. Di era itu hampir tak ada yang mengetahui siapa Kepala Intelijen kita serta apa saja yang mereka kerjakan.
Kalau sekarang, BIN-nya semakin populer tetapi kinerjanya tidak populer. Maaf beribu maaf, kalau untuk yang terakhir ini, tidak ada yang bisa membuat kita manggut-manggut sebagai tanda kagum dan respek kepada para agen rahasia kita termasuk lembaga intelijen itu sendiri.
[***]Penulias adalah wartawan senior