Permenaker 21/2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang ditandatangani oleh Menaker Hanif Dakhiri pada 27 Juni 2016 tersebut menandakan bahwa Menaker anti dialog dan arogan.
Apalagi, Permenaker 21/2016 bertentangan dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang bisa menimbulkan ketidakjelasan.
"Seperti di pasal 2 ayat 1 disebutkan, bahwa penetapan upah minimum berdasarkan pada KHL dan produktivitas. Namun di ayat 2-nya, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud berdasarkan formula khusus yakni berdasarkan angka inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi," tegas Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi di Jakarta, Kamis (21/7).
Penetapan KHL pun hanya dilakukan setahun sekali dalam periode lima tahun. Itu pun tidak melalui survei bersama unsur serikat pekerja dalam Dewan Pengupahan, melainkan hanya bersumber dari data BPS saja.
Karena itu, Rusdi menegaskan, Menaker hanya omong kosong ketika sepanjang 2015 melakukan Training of Trainer (TOT) tentang sosial dialog dalam penyelesaikan hubungan industrial, tetapi faktanya dia sendiri tidak membuka ruang dialog ketika hendak mengeluarkan kebijakan.
"Seharusnya Menaker membahas terlebih dahulu permenaker tersebut di LKS Tripnas untuk mendengarkan saran dan pertimbangan dari stokeholder. Perlu dicatat, ini adalah kebijakan kesekian kalinya dari Menaker yang tidak melibatkan kaum buruh dan LKS Tripnas," tandas Rusdi.
Padahal LKS Tripnas merupakan forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang dibentuk oleh Presiden dan bertanggung jawab pada Presiden.
LKS Tripnas yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh ini bertugas untuk memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 107 UU 13/2003 dan PP NO 8/2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi LKS Tripartit.
[zul]
BERITA TERKAIT: